Koma

1K 86 5
                                    


"Pasien koma."

Degh.

Bagai ditusuk ribuan jarum, begitulah rasanya perasaan orang-orang yang saat ini berada di rumah sakit. Di depan ruang operasi Reina, sudah ada keluarga Aflastar, bratasena, dan Sari. Kianzee yang saat itu sangat panik, dengan cepat menelpon keluarganya.

Semuanya langsung datang ke rumah sakit Hernandez. Jangan ditanya keadaan mereka saat ini. Sangat kacau, bahkan mereka tidak memperdulikan lagi penampilan.

"Keadaanya kritis karena kehilangan banyak darah. Untung saja kalian tidak terlambat membawanya, kalau terlambat sedikit saja tadi ... mungkin saja nyawanya tidak selamat. Dan untungnya juga, pisau itu tidak mengenai alat vitalnya." Dokter itu menjelaskan keadaan Reina saat ini.

"Berdoa saja pasien bisa melewati masa kritisnya," ucap dokter itu. "Pasien akan kami pindahkan ke ruang ICU."

"Apa kami bisa melihatnya, Dok?" tanya Fadly dengan nada khawatir.

"Bisa, tapi hanya boleh bergantian," ucap dokter itu.

"Terimakasih, Dok."

"Kalau begitu saya akan mengurus pemindahan pasien sekarang, saya pamit." Dokter itu undur diri.

Coba tebak? Siapa dokter yang menangani Reina? Dia adalah dokter Faris, dokter yang sama yang juga pernah menangani Reina. Dia juga anak dari pemilik rumah sakit itu.

Setelah kepergian dokter Faris, tubuh mereka semua melemas. Rasanya kaki mereka benar-benar tidak bisa menopang tubuh mereka. Mereka merasa sangat takut.

Bagaimana kalau kesayangan mereka itu tidak bisa bangun lagi? Bagaimana kalau dia menyerah akan hidupnya? Kemungkinan itu terus saja bersarang di kepala mereka.

Sari terduduk di kursi tunggu. Seluruh tubuhnya terasa lemas. "Aku mohon padamu, ya Allah. Rein orang baik."

"Orang sebaik dia pantas mendapatkan kebahagiaan di bumi. Aku janji akan membahagiakannya, tidak akan membiarkannya terluka lagi," ucap Sari lirih. Dia tertunduk dan menangis.

"Aku tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya. Sudah cukup adikku saja yang meninggalkanku, tapi jangan dia juga. Ku mohon ...." Tubuh Sari terlihat gemetar.

Takut, dia merasa sangat takut. Bagaimana kalau dia kehilangan lagi untuk kedua kalinya? Sudah pasti dia tidak akan sanggup untuk hidup lagi.

Keluarga Aflastar dan Bratasena sama kacaunya seperti Sari. Mereka sudah lelah menangis sampai tidak bisa mengeluarkan air mata lagi.

Alden menatap sendu brankar Reina yang keluar dari ruang operasi. "Ini mungkin hukuman atas perbuatan kami selama ini. Tapi hukuman ini terlalu menyakitkan," batin Alden.
.
.
.

3 bulan kemudian

Sudah 3 bulan Reina koma. Dia sudah melewati masa kritisnya, tapi tetap saja tidak ingin bangun. Semua orang masih tetap menunggunya untuk bangun.

Dari mulai teman-teman Reina, Alfino, Sari, serta keluarga Reina. Semuanya menunggunya untuk bangun. Mereka bergantian untuk menjaga Reina.

"Bangun dong sayang, sekarang  tidak akan ada lagi yang mengganggumu. Aku sudah memenjarakan dua orang bajingan itu." Alfino menatap sendu ke arah Reina yang belum juga sadarkan diri.

Ya, Alfino berhasil memenjarakan Sena dan Ayahnya berkat bantuan Sari dan pria asing itu. Alfino tidak ingin memenjarakan pria itu karena dia rasa pria itu tidak bersalah. Tapi pria itu tetap menyerahkan dirinya ke polisi atas percobaan pembunuhan, akhirnya dia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Rasa bersalahnya pada Reina terlalu besar.

Selama Reina tidak sadarkan diri, tidak ada sedikitpun keceriaan di dalam diri orang-orang terdekatnya. Bagaikan awan mendung, begitulah perasaan mereka semua. Entah kapan keadaannya akan berubah.

Orang-orang yang cerewet menjadi pendiam, yang bersikap dingin jadi semakin dingin. Mereka hanya berharap akan satu hal, semoga Reina cepat bangun dari tidur panjangnya.

Keysa menggenggam lembut tangan Reina. "Kau marah pada kami ya, Rein? Haha, bodohnya aku masih menanyakan ini. Sudah pasti kau marah sama kami," ucapnya yang tidak bisa lagi menahan air matanya.

"Rasa bersalah ini gak pernah hilang, Rein. Malah rasanya semakin besar." Keysa menunduk. "Key rindu sama Rein. Key cuman memohon satu hal, berharap Rein cepet bangun."

"Iya Rein, jangan lama-lama tidurnya. Aku rinduuu kali sama kau. Rindu jahilin kau, rindu ngeliat mukakmu klo lagi marah. Rindu adu bacot sama kau. Ah, kenapa aku serindu ini pada rivalku sendiri?" ucap Rana yang mengungkapkan kerinduannya.

Ya, semuanya amat sangat rindu pada Reina. Kerinduan mereka semakin hari semakin besar, juga rasa bersalah dan penyesalan. Sungguh hukuman yang sangat menyiksa.

Sari, dia selalu berada di ruang rawat Reina ketika pulang sekolah. Tidak-tidak, Sari selalu di sana. Dia sangat sering membolos selama Reina koma hanya demi menjaga Reina. Satu bulan dia hanya bersekolah selama seminggu.

Sari tidak memiliki semangat hidup. Melupakan jam makannya, jarang mandi, dan tidak mengurus dirinya sendiri. Sungguh sangat prihatin.

Memangnya siapa yang masih baik-baik saja ketika orang yang dijaga selama ini tiba-tiba harus sekarat di depan mata? Sudah pasti Sari merasa hancur.

"Kamu tidak kasihan sama Kakak, Dek? Sama mereka? Lihat, kami semua kacau karena kamu Dek. Kakak mohon, bangunlah." Sari mengelus-elus kepala Reina.

"Kamu gak cape apa tidur terus? Kakak aja capek nungguin kamu bangun. Kamu gak kasihan sama Kakak?" ucap Sari lembut.

"Ah ya, tidak ada gunanya berbicara padamu. Tapi kenapa Kakak tetep mau bicara sama kamu. Haha, sepertinya gue udah mulai gak waras." Sari terkekeh kecil, matanya tetap tidak lepas dari Reina.

Cup.

Mahardika mengecup sekilas kening anaknya. Mata indah itu belum juga terbuka. "Sayangnya Papa bangun yuk. Nanti kalo Rein bangun, Papa akan turutin semua yang Rein mau."

"Dulu kamu bilang pengen lihat Kakakmu sembuh kan? Dia udah sembuh, dia sudah selesai dioperasi. Dan dia sedih karena bukan kamu yang dilihatnya pertama kali ketika dia sudah sadar." Mahardika berucap pelan, lalu dia memejamkan matanya sejenak. Dia ingat di mana saat-saat Reina tidak pernah bosan menanyakan kapan Salsabila akan sembuh.

"Kapan Kakak akan sembuh? Papa, Kakak bisa sembuh Kan?" tanya Reina kecil pada Mahardika dan Salsabila.

Mahardika tersenyum tipis dan mendekat, dia menggendong Reina kecil. "Kakakmu pasti sembuh, Ayahmu masih berusaha mencari pendonornya. Sabar dong," ucap Mahardika lembut.

Reina kecil memasang wajah cemberut. "Kapan Ayah nemuin pendonornya? Rein kan pengen lihat Kakak sembuh."

Salsabila tertawa lalu mendekat. Dia mencubit kedua pipi Reina. "Haha, sabar dong adik manis. Kakak pasti sembuh kok," ucapnya.

Reina kecil turun dari gendongan Mahardika lalu mendekat ke arah Salsabila. "Apa ini sakit?" Reina kecil menyentuh dada kiri Salsabila.

"Enggak, karena hari ini dia gak bermasalah."

Reina kecil mengangguk. "Kamu jangan bikin Kakakku sakit ya? Cepet sembuh, biar Rein bisa main sama Kakak," ucap Reina kecil polos.

Bayangan itu hinggap di kepala Mahardika. Betapa lucunya Reina kecil yang selalu antusias menanyakan kapan Salsabila sembuh. Sekarang keinginan Reina terkabul, tapi malah dia yang harus berakhir di rumah sakit sekarang.

Bersambung~~

She Is Rein | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang