"Saya tidak mengijinkan kalian pergi malam ini."Seperti yang dikatakan Alfino, dia benar-benar menjemput Reina langsung ke mansion Aflastar. Sungguh besar sekali nyalinya, berhadapan langsung dengan ayah Reina.
Sedangkan Reina? Dia hanya diam melihat Alfino berinteraksi dengan ayahnya. Terlihat di wajah Alfino tidak ada sedikitpun rasa takut, yang ada hanya ekspresi datar, padahal seluruh keluarga Reina sedang menatapnya dingin.
"Saya tidak minta ijin Om, saya hanya memberitahu," jawab Alfino enteng, membuat Mahardika dan Mahendra menatap tajam Alfino.
"Woah, hebat jugak ni cowok." Reina berdecak kagum dalam hatinya, ekspresi Alfino masih tetap sama.
"Berani sekali, kau," ucap Mahardika dingin. "Apa yang akan kau lakukan, kalau saya tetap melarangmu?" tanya Mahardika.
"Saya akan tetap membawa anak, om. Saya akan menjaganya dan tidak akan membiarkannya terluka sedikitpun," ucap Alfino mantap, terlihat keseriusan di wajahnya.
Mahardika menatap Alfino dari atas sampai bawah. Dia terdiam sejenak. "Bagaimana kalau sampai dia terluka?" Mahardika masih tetap tidak yakin.
"Aduh Pa, lagian aku tidak selemah itu." Reina membatin, ayahnya ini terlalu ribet menurutnya.
"Itu tidak akan terjadi. Om tenang aja. Saya akan menjaganya dengan nyawa saya," ucap Alfino mantap. Reina manatap Alfino dengan tatapan rumit.
Mahardika mengangguk. "Oke, kalian saya ijinkan untuk keluar malam ini. Tapi ingat, tidak lebih dari jam sepuluh." Mahardika memperingatkan.
"Gitu dong dari tadi, bacot aja." Reina menggerutu dalam hati.
Alfino mengangguk, lalu dia berjalan mendekati Reina dan menggenggam lembut tangan Reina. Alfino menarik Reina mendekat ke arahnya.
"Baiklah, kalau begitu kami pergi." Alfino dan Reina melangkahkan kaki pergi keluar mansion.
Di luar mansion.
Sesampainya di depan motor Alfino, Alfino menunduk memegang dadanya. Ekspresi wajahnya seketika berubah total. Kaki dan tanyannya terlihat gemetar.
Reina menaikkan alisnya. "Kenapa kau? Tanganmu jugak dingin kali, kau habis megang es? Tapi daritadi kau gadak megang es," tanya Reina bingung.
"Lemes aku, njir." Alfino masih memegang dadapanya. "Bapakmu serem kali oi. Gila, kayak berhadapan sama malaikat maut." Alfino menatap Reina.
"Pffft."
"HAHAHA." Reina tertawa keras melihat wajah Alfino. "Halah halah, tadi aja sok-sok cool depan si bapak. Ternyata takut jugaknya kau, sok-sok an ngelawan perkataan beliau pulak tuh." Reina menepuk-nepuk bahu Alfino.
"Kan biar keliatan keren aja. Mana lah aku tau bapakmu semenakutkan itu. Baru tau aku, tuan Aflastar wujudnya begitu," ucap Alfino yang sudah sedikit tenang.
"Tuh lah mangkanya. Mukak kau jugak sok-sok dingin. Kukira kau betolan gak takut," ucap Reina yang sudah menghentikan tawanya.
"Tapi makasih lah. Gara-gara kau, aku bisa keluar malem," ucap Reina lagi.
"Iya."
"Udah yok, pigi. Udah jam tujuh lewat nih. Nanti gak bisa lama kita," ucap Reina. Alfino mengangguk sambil tersenyum.
Alfino mengambil satu helm dan memasangkan ke kepala Reina. Lalu dia mengambil satu lagi untuk dipasangkan ke kepalanya sendiri. Alfino menaiki motornya dan juga Reina duduk di boncengan. Alfino mulai menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
She Is Rein | End
Teen FictionFollow sebelum membaca. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Kalau ada yang bertanya, siapa yang hidupnya paling santai? Jawabannya adalah Reina. Yang sikapnya selalu berubah-ubah? Jawabannya adalah Reina. Siapa yang pecinta kopi? Jawabannya adalah Reina? Selalu...