Keterlaluan

592 60 0
                                    


Klek.

Mahardika memasuki kamar mandi di kamar Mahendra. Kali ini dia yang masuk, karena Mahendra bilang hukuman Reina sudah berakhir. Mahardika bilang, biar dia saja yang melepaskan Reina.

Saat Mahardika masuk, keadaan di dalam hanya terdengar suara gemercik air mengalir. Mahardika liat Reina masih dengan keadaan terikat. Reina sudah tidak berdiri lagi, tapi sudah terduduk di lantai kamar mandi yang dingin.

Tubuh Reina sudah memucat, nafasnya tidak beraturan, mata Reina terpejam. Keadaanya benar-benar memperihatinkan, Mahardika merasa sangat bersalah dan menyesal. Kali ini mereka menghukum Reina keterlaluan.

Reina benar-benar terlihat sangat berantakan. Sudah dipastikan dia akan jatuh sakit.

Mahardika mematikan air shower itu, dia menyentuh tangan Reina yang juga sudah memucat. Tangan Reina terasa sangat dingin, tubuh Reina bergetar karena kedinginan. Mahardika mengepalkan tangannya, dia benar-benar merasa menyesal.

Amarah memang membutakan segalanya. Mereka tadinya hanya sangat marah, sehingga membuat sisi kemanusiaan mereka tertutup, sampai Reina yang menjadi korban kemarahan mereka. Kali ini pasti mereka sangat menyesal.

Dengan tangan yang bergetar, Mahardika membuka ikatan yang mengikat Reina di tiang besi. Dia membawa putrinya kepelukannya. Mahardika juga mengecup singkat kening putrinya.

Cup.

"Sayang, bangun. Maaf, kami keterlaluan."

Ya, sebut saja Mahardika bajingan. Sepertinya dia bukan manusia. Bagaimana mungkin ada orang yang berlaku seperti itu ketika membiarkan anggota keluarganya membuat anaknya hampir mati. Apakah dia sudah tidak waras?

Reina sebenarnya tidak pingsan. Dia hanya memejamkan matanya menikmati rasa dingin yang menyerang. Dia juga tau kalau ada seseorang yang masuk, tapi tidak tau siapa itu. Di detik-detik itu, Reina seperti ingin mati saja.

Mati mati mati, hanya itulah yang ada di pikiran Reina. Reina berusaha sekeras mungkin untuk menyangkal pikiran-pikiran buruk itu. Dirinya masih ingin hidup, dosanya masih banyak, pikir Reina. Mati tidak akan menyelesaikan apapun, Reina tidak ingin mati.

Mahardika mengelus lembut pipi Reina yang terasa dingin. "Papa mohon padamu, jangan pernah memancing emosi kami lagi. Kami tidak ingin menyakitimu lagi." Mahardika berucap lirih.

"Kita akan segera ke rumah sakit."

Mahardika langsung mengangkat Reina dan membawanya menuju kamar Reina. Dia melihat beberapa maid yang ingin melintas. "Kalian, cepat keringkan putri saya. Ganti bajunya dengan baju yang hangat," perintah Mahardika pada beberapa maid itu. Mereka langsung melaksanakan perintah Mahardika.

Semua aggota keluarga yang mendengar suara Mahardika langsung menghampiri. Beberapa diantara mereka, menampilkan ekspresi khawatir.

"Bagaimana keadaanya tadi?" tanya Riko. Waktu Reina dihukum, dia dan istrinya sedang tidak berada di mansion. Mahendra memberitahunya, kalau dia menghukum Reina atas kesalahannya.

"Kalian menghukumnya sangat keterlaluan. Jangan hukum Reina sekeras itu, dia masih kecil." Anesa berucap datar, tadi dia sudah memarahi semua orang. Karena Anesa juga hukuman Reina hanya sampai 45 menit.

Yang benar saja dia membiarkan cucu kesayangannya kedinginan selama satu jam? Itu tidak dapat dibayangkan.

Semua orang merasa bersalah dan menyesal. Kenapa baru sekarang mereka menyesal? Di saat Reina sudah dalam keadaan seperti itu.

Salsabila juga sering mendapatkan hukuman berat, tapi tidak seberat Reina. Karena mungkin saja Salsabila mempunyai penyakit, bisa-bisa dia mati di tempat kalau mendapat hukuman seperti itu.

"Maaf Ayah. Keadaanya mungkin parah. Dia sangat pucat, tubuhnya bergetar hebat, nafasnya tidak beraturan, juga dia tidak sadarkan diri," jelas Mahardika. Tubuh mereka melemas mendengarnya, mereka menghukumnya separah itu.

Fadlan mengepalkan tangannya, dia marah pada dirinya sendiri. Fadlan berpikir ini juga salahnya, coba saja dia datang lebih cepat, mungkin saja Reina tidak kabur dan berakhir dihukum.

Diantara mereka semua, Mahendra yang paling merasa bersalah. Dia penyebab utamanya kenapa Reina bisa seperti itu.

"Tuan, kami sudah selesai mengeringkan nona dan mengganti pakaiannya." Salah satu maid melapor dengan kepala menunduk.

"Hm, kalian boleh pergi," ucap Mahardika. Semua maid itu pun meninggalkan kamar Reina.

Setelah para maid itu pergi, semua anggota keluarga memasuki kamar Reina. Hati mereka seperti tertusuk ribuan jarum saat melihat keadaan Reina yang memperihatinkan.

"Saya akan membawanya ke rumah sakit." Mahardika menggendong Reina ala bridal style.

"Kami semua ikut," ucap Riko. Mahardika mengangguk. Akhirnya semua anggota keluarga ikut mengantarkan Reina.

Mereka menuju rumah sakit Hernandez, rumah sakit terbesar dan paling berukualitas di kota Medan. Banyak sekali mobil-mobil para bodyguard mengikuti mobil-mobil anggota keluarga.

Hal itu membuat suasana malam sangat ramai. Orang-orang sampai heran, kenapa mobil-mobil itu sampai dikawal segitunya?

"Dingin." Reina bergumam kecil. Reina masih setengah sadar.

Di dalam mobil ada supir, Ayah ibu Reina dan kedua saudara Reina yaitu Kianzee dan Zehan. Posisinya, Mahardika memangku Reina. Sontak pandangan mereka mengarah ke Reina.

"Ada Papa, sini Papa peluk biar gak kedinginan lagi." Mahardika membawa Reina kepelukannya. Olivia menggenggam jari-jari kecil Reina yang terasa sangat dingin.

"Rein minta maaf. Rein mohon, jangan bunuh Rein."

"Dingin. Keluarin Reina, Ayah. Papa, Rein takut, jangan hukum Rein."

"Sakit. Di sini sakit, Rein sesak." Reina menyentuh dadanya dengan tangan kiri.

Reina terus meracau dengan suara lirih, membuat orang yang mendengarnya merasakan kesedihan yang mendalam. Suara itu begitu menyayat hati.

Sesampainya di rumah sakit Hernandez, dokter langsung sigap menangani Reina. Setelah beberapa lama, dokter keluar.

"Pasien sangat sensitif terhadap dingin. Jadi tolong, sebisa mungkin jangan biarkan dia kedinginan. Bisa saja dia kehilangan nyawa karena kedinginan." Dokter itu memberikan penjelasan.

"Berikan obat ini ketika dia sadar nanti. Kemungkinan besar dia akan demam tinggi." Dokter itu memberikan resep obat yang sudah dia tulis.

"Terima kasih dokter." Mahardika mengangguk. "Tolong pindahkan dia ke ruang VVIP," perintah Mahardika, langsung diangguki para perawat itu.

Dokter itu mendekat ke arah keluarga Aflastar. "Saya tahu dia bisa seperti itu karena kalian menghukumnya kan?" ucap Dokter itu dengan senyuman miring.

"Jangan terlalu keras padanya, tuan. Atau, kau akan menyesal suatu saat nanti," ucap dokter itu.

Semuanya mengernyitkan kening. Darimana dokter di depan mereka ini tau? Apakah dia cenayang? "Kau, darimana kau tau?" Bukan Mahardika yang berbicara, tapi Mahendra. Mahendra menatap tajam dokter itu.

"Saya adalah dokter Faris. Muhammad Faris Hernandez, panggil saya dokter Faris," ucap dokter itu.

"Haha, keluarga Hernandez," ucap Alden.

"Saya tau, karena mungkin keluarga kita sama. Saya hanya mau bilang, sayangi dia sewajarnya, jangan terlalu berlebihan," ucap dokter Faris. "Kalau begitu saya pamit pergi." Setelah mengatakan itu, dokter Faris pergi dari tempat itu.

"Heh, tidak perlu kau beritahupun, kami akan menyayanginya sewajarnya. Kami sudah memperlakukannya seperti yang seharusnya." Keluarga Aflastar dan Bratasena menatap rumit kepergian dokter Faris.

Bersambung~~

She Is Rein | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang