Dalam Bahaya?

399 50 2
                                    

Drrrt.

Ponsel Reina yang berada di dekatnya berbunyi, menandakan panggilan masuk. "Siapa sih yang nelpon! Ganggu orang lagi fokus aja!" Reina menggerutu.

Dilihatnya nomor si penelpon, nomor itu adalah nomor tidak dikenal. Akhirnya Reina mengabaikan panggilan tidak jelas itu.

"Paling juga orang iseng atau salah sambung," gumam Reina.

Tapi ponselnya terus saja berdering sampai beberapa kali. Reina mengabaikan panggilan itu sampai beberapa kali juga. Lama-lama Reina merasa sangat terganggu. Dia menatap lamat ponselnya sebentar, sampai pada akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.

"APA!" Reina membentak si penelpon

"Re-Reina, tolong aku ...." Suara lirihan seseorang terdengar, membuat sebelah alis Reina terangkat.

"Siapa kau?" tanya Reina dingin.

"A-aku Rasi. Tolong aku aku ... dikejar penjahat. Tolong aku Reina.

Ternyata si penelpon dengan nomor asing itu adalah rasi, pikir Reina. Dia membulatkan matanya, langsung merasa panik. "Dimana? Kau di mana?" tanya Reina panik. Tanpa sadar dia meremas ponselnya

"Ak-aku di jalan xx." Orang yang diketahui Rasi itu menyebutkan alamat dia berada.

Reina langsung memutuskan panggilan dan bersiap-siap untuk menuju ke alamat itu. Tapi dirinya kembali diganggu.

Tok tok tok.

Seseorang mengetuk pintu kamar Reina. Reina berdecak kesal, karena dia sedang ingin bersiap-siap. Tadinya Reina sedang mengerjakan program website terbaru.

"Siapa lagi ini!"

Ceklek.

"Ada apa?" tanya Reina tanpa memandang orang-orang di depannya. Reina hanya sedang merapikan pakaiannya yang sedikit kusut.

Tanpa Reina sadari satu orang masuk ke kamar Reina dan berada di belakang Reina. Dia menyembunyikan sesuatu di tangannya.

"Cepat beritahu aku, maksud kalian datang kemari. Aku sedang buru-buru."

Reina mendongak, ternyata orang-orang yang mengetuk pintunya tadi adalah bodyguard-bodyguard keluarganya. Mereka berjumlah sekitar 5 orang. Tapi tunggu, untuk apa mereka ke kamarnya? Apakah ayahnya yang memerintahkan?

"Kenapa kalian ada di sini?" tanya Reina bingung. Seharusnya maid yang menemuinya, bukannya bodyguard.

Bodyguard-bodyguard itu bukannya menjawab, mereka malah masuk ke kamar Reina membuat Reina mundur beberapa langkah. "Maaf Nona," ucap salah satu dari mereka.

"Hei, kenapa kalian malah masuk? Aku belum mengizinkannya." Reina mulai merasa marah atas ketidak sopanan mereka.

Reina memperhatikan wajah mereka lagi. Reina memicingkan matanya, dia merasa tidak pernah melihat wajah-wajah mereka? Reina memang sulit mengingat seseorang, tapi dia bisa langsung merasa familiar ketika sudah pernah melihat orang tersebut.

"Papa belum merekrut bawahan baru kan?" batin Reina.

"Siapa kalian?" Reina mulai merasa waspada. Ada yang tidak beres disini. Pasti ada sesuatu yang sedang terjadi, batin Reina. "Kalian bukan bawahan Papa. Mau apa kalian kemari."

Mereka melirik satu sama lain saling memberikan kode. "Ayo kita lakukan tugas kita," ucap salah satu dari mereka.

"Oh, tidak." Reina mencoba mundur bersiap-siap untuk menyerang mereka. Tapi Reina kalah cepat, orang yang dibelakang Reina dengan cepat membekap mulut Reina dengan kain yang sudah di beri obat bius.

Sudah pasti Reina memberontak. Tenaga mereka sangat kuat, Reina tidak bisa melepaskan diri. Setelah berapa menit Reina akhirnya menyerah, kesadarannya menghilang.

"Benar yang bos bilang, gadis ini sangat pemberontak."

Orang-orang itu membungkus Reina dengan goni yang besar. Tubuh Reina itu kecil, mudah saja untuk memasukkannya ke dalam goni besar itu.

Yang jadi pertanyaannya adalah, siapakah orang-orang ini? Kenapa mereka menculik Reina? Memangnya se hebat apa Reina sampai memiliki musuh.
.
.
.

"Uggh." Reina terbangun dari pingsannya. Kepalanya terasa sangat sakit. Lalu dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dia berada di sebuah ruangan kosong.

Reina menyadari dirinya terikat di sebuah kursi. Tangannya terikat ke belakang dan kedua kakinya juga terikat. Tubuhnya juga terlilit tali yang terikat sangat kuat. Mulutnya tertutup lakban hitam.

"Sialan," batin Reina. Dia menghela nafas. "Sekarang apa lagi?" lanjutnya dalam hati.

Ceklek.

Seseorang gadis membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Reina membulatkan matanya melihat siapa yang masuk, ingin rasanya dia memukul orang itu sekarang juga.

"Halo Reina   sayang. Tau gak? Gue sayang banget loh, sama lo." Orang itu tersenyum miring. Sementara Reina menatapnya penuh amarah.

"Kenapa? Mau mukul gue? Coba aja kalo bisa. Lo itu kan lemah." Gadis itu mengangkat dagu Reina, menatap Reina dengan senyum mengejek.

"Hmmpp."

"Mau ngomong apa sih? Ga jelas banget." Gadis itu berpura-pura tidak tau. "Kalo ngomong itu jangan kumur-kumur," lanjut gadis itu.

"Hmmpp." Sekali lagi Reina ingin memaki gadis yang ada di depannya. Tapi tidak bisa karena lakban sialan itu.

"Oh iya gue lupa, pantes lo gabisa ngomong. Gue belum lepas ini ya? Maaf ya?" Gadis itu menampilkan wajah seolah-olah merasa bersalah. Dia melepaskan lakban yang ada di mulut Reina.

"Sari Sialan! Babi kau! Apa maumu?! Lepaskan aku!" Reina langsung saja memaki Sari. Ya, orang itu adalah Sari, dalang dari penculikan Reina. Entah apa maksudnya.

Mungkin saja satu-satunya musuh Reina adalah Sari. Sari adalah musuh abadi bagi Reina, dia tidak pernah kehabisan akal untuk menganggu Reina.

"Gak mau, gue kan masih pengen main sama lo. Nanti ajalah gue lepasin," ucap Sari santai. "Susah banget loh, biar bisa berdua aja sama lo. Ya mau gak mau, gue lakuin cara ini lah," lanjut Sari seperti tidak ada beban.

"Sar, tolong. Kali ini aja, jangan ganggu aku dulu. Temanku dalam bahaya, aku harus menyelamatkannya." Reina mencoba memohon kepada Sari.

Sari terkekeh kecil. "Ngelepasin lo? Mimpi aja sana," ucapnya. "Lagian ngapain juga lo nyelametin dia? Gak guna juga."

Ucapan Sari membuat amarah Reina marah. "Dia temanku! Bagaimana mungkin aku bisa diam saja mendengar temanku dalam bahaya? Kau sudah gila?" ucap Reina kesal.

"Kenapa kau tidak pernah puas untuk mengangguku? Sebenarnya kesalahan besar apa yang sudah aku lakukan padamu?" Reina menatap Sari dengan tatapan sendu.

Wajah Sari tidak berubah, dia tetap tidak peduli. "Huh, hanya teman kan? Untuk apa kau sepeduli itu?"

"Lo mau tau? Kenapa suka suka sekali gangguin lo? Itu karena, entah kenapa gue gak sukak aja sama lo, mangkanya gue selalu ganggu lo," jelas Sari enteng.

"Memang babi kau." Reina sudah lelah dengan sikap Sari. Reina meminta maaf dalam hati kepada Rasi, kalau dia gagal menyelamatkan temannya itu.

"Pergi saja kau dari dunia ini," ucap Reina.

"Ya sayangnya aku gak mau sih. Orang kaunya aja masih ada di dunia ini. Enak aja aku biarin kau tenang," ucap Sari dengan senyuman seperti seorang psikopat.

"Udah gila kau."

"Memang."

"Lepasin aku, Sari."

"Tenang aja, gue bakal ngelepasin lo kok. Tapi ga sekarang."

Reina sudah malas berdebat dengan Sari, akhirnya dia memilih diam. Reina memalingkan wajahnya melihat ke arah lain.

"Haha, rencana busukmu itu gagal," ucap Sari memandang Reina.

Reina mengerutkan alisnya, dia tidak merasa memiliki rencana apapun. Untuk apa juga Reina repot-repot menyusun rencana.

"Beneran dah gila nih orang."

Bersambung~~

She Is Rein | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang