Belajar Bersama

881 103 0
                                    


Jam pulang sudah tiba, seperti yang Reina bicarakan sebelumnya dengan Alea, mereka akan belajar bersama untuk mempersiapkan lomba cerdas-cermat. Setelah Reina selesai melaksanakan piket kelas yang memang jadwalnya, dia langsung menarik Alea yang sudah berdiri menunggunya di depan pintu kelas.

"Ayok."

"Lama gak Rein?"

"Gak lama, cuman sejam aja kok. Ini masik jam satu lewat tiga puluh menit." Reina melirik arloji hitam yang ada di tangannya.

"Tapi aku ada kelas bernyanyi tiga puluh menit lagi." Alea tampak cemas, dia melihat jam yang ada di layar ponselnya.

Reina memandang datar Alea. "Bisa gak? sehari aja loh Ale-Ale, sehari bolos kan gak bisa bikin kau bodoh. Bapakmu ribet kali sih jadi orang. Nanti kalo beliau nelpon, biar aku yang ngomong," ucap Reina kesal. Sepertinya orang tua Alea ini terlalu otoriter terhadap anaknya.

Alea menghela nafas lalu dia mengikuti langkah Reina menuju perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah mereka itu cukup besar, buku-bukunya juga cukup lengkap. Sudah disediakan sofa-sofa serta meja-meja untuk membaca, dilengkapi juga dengan AC dan wifi. Siapa saja betah membaca untuk waktu yang lama di perpustakaan itu.

Ketika mereka berdua masuk, agak banyak murid yang sedang membaca buku. Sepertinya sebagian dari mereka juga belajar untuk persiapan cerdas cermat.

"Kita belajar bahasa Indonesia sama PKN dulu ya." Rein membawa beberapa buku ke hadapan Alea. Alea melihatnya tanpa minat.

"Aku kalok gak karena harga diri kelas dipertaruhkan, gamau aku ikut lomba ini. Buang-buang waktu aja," ucap Alea tanpa minat.

"Kau tau sendirikan kelas kita itu kayak anak tiri. Kelas kita itu kayak beda sendiri, gak terlalu diperhatikan kepala sekolah."

"Hm, aku tau."

Memang kelas 10 RPL 1 tidak terlalu diperdulikan, dalam artian selalu dilupain. Seperti beberapa waktu lalu, saat panggilan untuk berkumpul ke aula sekolah. Semua kelas dipanggil kecuali kelas 10 RPL 1, apa guru itu lupa kalau ada kelas itu di SMK Afla Star? Wali kelas hanya bisa tersenyum pahit dan menuntun muridnya untuk ke aula sekolah. Mungkin karena murid di kelas mereka yang paling sedikit.

"Udahlah, hitung-hitung belajar buat ujian UH nanti. Lagian kalau koar-koar biar gak ikut cuman buat mulut capek, mending turuti aja. Lagian cerdas cermat kayak udah mau ujian aja." Reina membalik-balikkan halaman buku yang dipegangnya sambil nyerocos.

"Nih, kita belajar tentang cerita rakyat sama debat dulu, kayaknya masuk. Nanti PKN belajar integrasi nasional" Reina menunjuk judul besar bab yang ingin dipelajari, Alea membaca halaman itu.

"Inget ya Ale, jangan dihafal, tapi dipahami." Alea menatap Reina yang memberitahukan sesuatu. "Kalau dihafal bakalan cepet lupa hanya karena satu kata saja lupa. Kalau paham dengan mendengar namanya saja kau sudah bisa menjelaskannya dengan bahasamu sendiri," jelas Reina, Alea mengangguk paham.

Mereka berdua memfokuskan diri ke buku yang sedang mereka pelajari. Reina dan Alea berusaha memahami apa yang ada di halaman demi halaman.

Lalu tak lama kemudian ponsel Alea berdering, tertera nama si pemanggil adalah My Father. Sudah dipastikan itu ayahnya Alea yang menelpon.

"Rein, bapakku nelpon. Gimana nih?" Alea menunjukkan ponselnya, Reina menatap datar ponsel itu.

"Angkat, loud speaker," perintah Reina. Alea pun mengiyakan.

"Kemana kamu Alea? Kenapa jam segini belum sampai di rumah? Guru kamu sudah sampai sedari tadi."

"Kamu jangan membolos lagi Alea! Papa akan menyita ponsel kamu dan memotong uang jajan kamu nanti."

"Dengar tidak kamu!"

"Dengar Pa," ucap Alea pelan. Sudah dia duga, pasti ayahnya bakalan merepet janda seperti itu.

"Sebelum itu maafkan saya ya Om. Saya temannya Alea, hari ini Alea minta izin untuk tidak masuk les hari ini. Dikarenakan kami berdua sedang belajar untuk mempersiapkan lomba, dimohon untuk Om mengizinkan." Reina berbicara dengan suara datar.

"Belajar? Kenapa kamu tidak bilang Alea? Kalau kamu memang belajar Papa izinkan, tapi pas pulang kamu harus tetap latihan taekwondo, hari ini kamu tidak usah latihan nyanyi."

"Iya, makasih Pa."

Tuut tuut.

Alea menghela nafas, lalu pandangannya terlihat tidak bersemangat. Terlihat jelas kelelahan di matanya, Alea melanjutkan acara membacanya.

Reina menghentikan sejenak acara membacanya itu, dia memilih menatap mata Alea yang terlihat kelelahan dengan tatapan datar. Reina bisa membaca kalau Alea sedang kelelahan secara batin, bukan fisik.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?" Alea bingung dengan pertanyaan Reina yang tiba-tiba.

"Capek? Ngapain cobak kau ikut banyak kali kegiatan kayak gitu? Buat apa? Bikin kaya juga enggak."

"Kau tidak mengerti Rein."

"Apa yang tidak aku mengerti, hm?" Reina masih tetap memandang Alea datar.

Alea menghela nafas panjang, lalu dia menatap Reina dengan sendu. "Bapakku kepengen aku sempurna seperti anak-anak Abang atau Kakaknya. Keluarga aku itu gak ada yang bodoh, jadi dia mau aku juga tidak bodoh seperti yang lain, agar tidak mempermalukannya." Terdengar nada lirih di kalimat yang Alea ucapkan.

"Dia nyuruh aku ikut bela diri biar bisa masuk polwan. Karena Abangku masuk TNI. Padahal aku pengen ngejar cita-citaku sendiri."

"Seharusnya kau gak usah ikutin apa yang mereka mau. Hidupmu yang milikmu, kau yang nentukan. Sekali-sekali nentang orang tua yang modelan begitu juga gak dosa," ucap Reina dengan matanya kembali tertuju kepada buku.

"Capek pasti hidup selalu diatur begitu, selalu dituntut untuk menjadi sempurna. Padahal manusia ini gak ada yang sempurna. Sekali-sekali lawanlah mereka, perjuangkan hakmu untuk Memilih."

"Kalau terlalu menuruti apa kata orang, maka selama-lamanya kau gak akan menemukan jati diri. Terlalu bergantung pada orang lain." Reina berbicara tanpa melihat Alea sambil membalik-balikkan buku.

Alea termenung mendengar mencerna perkataan Reina. Apakah Alea bisa memperjuangkan haknya?
.
.
.

"ABANG FADLY?"

Reina sedikit terkejut melihat Fadly beserta ayah dan ibunya yang sudah sampai di mansion. Fadly tersenyum manis melihat kedatangan Reina.

"Halo Reina sayang." Fadly merentangkan tangannya berharap Reina mau memeluknya. Tapi dasarnya Reina tetap Reina, bukannya memeluk dia malah memukul kencang lengan Fadly.

"Ad-duh," ringgis Fadly.

"Dasar Adik laknat kau! Awas ya kalo berak malem gak Abang kawanin," ucap Fadly.

"Abang kapan sampe! Kenapa gak bilang-bilang sama Rein?! mana gak bawah oleh-oleh lagi." Reina berucap ngegas.

Pletak.

Karena terlampau gemas, Fadly menyentil kening Reina sampai Reina mengaduh. Keningnya jadi nyut-nyutan.

"Kamu yang salah jugak! Siapa suruh ganti nomor! Selama tiga tahun gabisa dihubungin! Udah lupa sama Abang?!"

Reina kicep ketika Fadly berbicara seperti itu. Dia hanya bisa tersenyum bodoh sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal.

"Hehe, jadi gini ...."

Reina mendekat membisikkan sesuatu. "Hari itu kartunya ...." Ucapan Reina terhenti.

"Kartunya apa?"

"REIN BUANG!"

Setelah mengatakan itu, Reina ngacir ke kamarnya. Fadly masih ngeleg sedikit, ketika dia tersadar dia mengejar Reina dengan perasaan jengkel.

"Awas kamu ya Dek, kalau Abang tangkep. Abang gelitikin sampe mampus! REINAA!"

Bersambung~~

She Is Rein | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang