Kebohongan Yang Menyakiti

575 60 3
                                    


"Jawab saya, kau tadi kemana?" Fadlan bertanya sekali lagi kepada Reina.

Reina terdiam, dia tidak tau harus menjawab apa. Apakah kalau dia menjawab yang sebenarnya, mereka percaya? Reina tidak yakin kalau kalau keluarganya percaya atas apa yang dia beritahu nantinya.

"Jawab, Reina." Kianzee mendesak Reina untuk menjawab pertanyaan Fadlan tadi. Reina diam dan hanya menunduk.

"Jangan hanya menunduk saja, Reina." Salsabila juga ikut berbicara.

"Apakah lantai itu lebih menarik perhatianmu dari pada saya, Reina?" Fadlan berucap tidak suka. Sedari tadi Reina hanya menuduk. Fadlan mengangkat dagu Reina dengan tangannya, agar Reina dapat melihat ke arahnya.

"Saya tanya sekali lagi. Kau, tadi kemana? Kenapa tidak menunggu saya?" ucap Fadlan dingin.

Reina memalingkan wajahnya. "Rein jawab pun, Abang tetap hukum Rein kan?" ucap Reina pelan.

"Itu sudah pasti. Tapi kalau tidak kau jawab, hukumanmu bertambah," jawab Fadlan santai. Reina menghela nafas lelah. Reina mengusap wajahnya.

"Rein tadi ...." Reina menjeda kalimatnya. Semuanya menunggu jawaban Reina.

"Tadi apa?" desak Fadlan.

"Tadi Rein pergi main." Reina berbohong. Semuanya langsung menatapnya tajam.

Reina berpikir, biarlah dirinya dihukum berat kali ini, Reina sudah tidak peduli. Reina tidak ingin jujur , karena dirinya jujur pun percuma, pikir Reina. Reina hanya tidak ingin berdebat. Berdebat sangat merepotkan menurut Reina.

Menghindari perdebatan panjang, jauh lebih baik, daripada menimbulkan pertengkaran. Walaupun akan tersakiti nantinya.

Prok prok prok.

"Bagus." Mahardika menepuk tangannya 3 kali. Dia menatap tajam Reina. "Semua orang khawatir, dan kau bilang hanya pergi main? Sepertinya kau semakin berani," ucap Mahardika dingin.

Plak.

Sekali lagi Reina mendapatkan tamparan keras. Kali ini Olivia yang menamparnya. "Jangan biasakan hal buruk itu Reina, kami tidak suka. Turuti saja peraturan yang ada di rumah ini," ucap Olivia.

Reina tertawa kecil. "Rein tidak terbiasa dengan semua ini. Karena dulu tidak ada aturan seperti ini dalam hidupku. Tidak ada yang marah ketika aku melanggarnya. Lalu? Kenapa sekarang berbeda?" ucap Reina dengan suara parau.

Alden mendekat. "Dulu kami memang salah. Sekarang kami ingin memperbaiki kesalahan itu. Suka tidak suka, rela tidak rela. Kau harus menurutinya mulai sekarang." Alden ikut berbicara.

Reina mengepalkan tangannya. "Tapi sekarang Rein tidak membutuhkannya lagi. Jadi, tidak usah peduli. Rein tidak akan kenapa-napa, tenang saja. Rein bisa menjaga diri di luar sana," ucap Reina.

"Untuk apa kalian baru peduli akhir-akhir ini? Rein jadi bingung," lanjut Reina dengan lirih.

"Kalian takut kalau Rein kenapa-napa? Itu tidak akan terjadi. Selama lima belas tahun ini, Rein tidak pernah terluka walaupun kalian tidak pernah peduli sama Rein." Reina menatap semua anggota keluarganya.

"DIAM REINA!" bentak Mahendra.

Mereka semua tidak suka dengan yang Reina ucapkan. Mahendra mendekati Reina dan mencengkram kuat pergelangan tangan Reina.

"Biar saya saja yang menghukumnya, Fadlan." Mahendra menatap Fadlan. Fadlan mengangguk kecil. "Ikut saya."

Mahendra menarik Reina dengan cepat. Reina yang tidak bisa mengimbangi langkah Mahendra, beberapa kali hampir terjatuh.

"Sakit, Ayah." Reina berucap lirih. Mahendra tidak memperdulikan itu.

Sampailah mereka ke kamar mandi di kamar Mahendra. Mahendra memasukkan Reina ke dalam kamar mandi. "Kau, diam di sini."

"Ya Tuhan. Apa yang akan terjadi kali ini?" batin Reina.

Beberapa detik kemudian, Mahendra kembali dengan membawa tali yang dia ambil dari laci nakas. Wah, benar-benar gila, untuk apa dia menyimpan tali di kamarnya sendiri?

Reina ketakutan melihat kedatangan Mahendra dengan membawa tali di tangannya. Pikiran buruk mulai masuk ke kepala Reina. "Rein mohon, jangan hukum Rein, Ayah. Rein janji gak akan seperti itu lagi." Reina memohon.

Mahendra menatap tajam Reina. "Hanya janji yang terus kau ucapkan, tapi tidak pernah kau tepati," ucapnya.

Reina sangat takut, apa yang akan dilakukan pamannya ini terhadapnya? Reina tidak bisa membayangkannya.

Mahendra mengikat kuat kedua tangan Reina di tiang besi di dekat shower. Posisi Reina dengan keadaan berdiri. "Jangan berani-beraninya untuk keluar dari sini sebelum saya kembali," peringat Mahendra.

"Jangan, Ayah." Reina memohon dengan suara lirih.

Mahendra menghidup shower dengan air dingin. Air dingin itu langsung membasahi tubuh Reina yang masih memakai seragam sekolah. Tubuh Reina sudah basah kuyup.

"Dingin," ucap Reina.

"Ini hukuman untukmu, karena berani melanggar," ucap Mahendra.

Reina sudah menggigil kedinginan. Dia sangat sensitif terhadap rasa dingin, sudah dipastikan nantinya dia akan terserang demam setelah ini. Mahendra benar-benar sangat kejam.

Reina ingin sekali menangis. Tapi itu hanya percuma, dia menahan keinginannya itu. Reina juga tidak ingin terlihat lemah.

Padahal nyatanya, Reina hanya orang yang lemah. Reina itu rapuh, mudah hancur. Mungkin saja hatinya memang sudah lama hancur, maka dari itu Reina menjadi manusia yang tidak terlalu mempermasalahkan sesuatu.

Kalau dibandingan dirinya dengan keluarganya, Reina hanyalah seekor anak kucing di antara para harimau. Seperti itulah Reina.

"Dengar saya." Mahendra menatap Reina. Tatapan yang tadinya dingin, berubah menjadi tatapan lembut. "Jangan pernah berpikir kalau kami tidak menyayangimu. Karena itu salah besar."

"Kami sangat menyayangimu, Reina. Kami hanya takut kau kenapa-napa. Saya menyayangimu, sama seperti saya menyayangi Salsa," ucap Mahendra lembut. "Terserah kalau kau tidak percaya. Tapi itulah kenyataanya, kami semua menyayangimu," lanjut Mahendra.

"Jadilah anak yang penurut. Jangan sampai memancing sisi jahat dalam diri kami," ucap Mahendra lagi.

Cup.

Mahendra mengecup kening Reina. "Sekali lagi, kami sayang padamu. Ingat itu."

Lalu Mahendra meninggalkan Reina yang masih terikat di shower itu. Air dingin itu terus saja mengguyur tubuh Reina. Rasanya Reina seperti ingin mati saja karena kedinginan.

Reina memandang sayu kepergian Mahendra. "Kalian takut kalau aku kenapa-napa. Tapi ... kalian sendiri yang membuatku terluka. Jadi, Bagaimana caranya aku percaya, kalau kalian sayang padaku?"

"Dari dulu sampai sekarang. Kalian tidak pernah berubah. Kalian tidak akan pernah bisa mengerti aku." Reina menelan salivanya, dia memejamkan matanya. "Tidak akan pernah."
.
.
.

"Apa yang Ayah lakukan pada Reina?" Salsabila berdiri dan langsung menghampiri Ayahnya.

"Ayah ikat di shower. Lalu Ayah guyur pakai air dingin," ucap Mahendra santai.

Perasaan Salsabila menjadi khawatir. "Apakah itu tidak apa-apa? Bila tau, Rein itu sensitif terhadap dingin," ucap Salsabila.

"Tak apa. Dia akan demam nantinya. Itu bagus, agar dia tidak berkeliaran." Mahendra berucap seperti tidak ada beban. Hei, dia sudah gilakah? Apakah dia berpikir terlebih dahulu sebelum mengatakannya?

"Ayah hanya akan menghukumnya selama satu jam. Ayah harap setelah ini, dia tidak akan mengulangi perbuatannya lagi," lanjut Mahendra. Salsabila mengangguk.

"Kalau terus dibiarkan. Dia hanya akan semakin membangkang." Fadlan ikut berbicara.

"Hm, kuharap dia baik-baik saja."

Bersambung~~

She Is Rein | EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang