Brak."Arrgghh."
Sena mengamuk sendiri di toilet sekolah. Dia memukul pintu toilet saking kesalnya. Reina sukses membuatnya sekacau itu.
"Sekali lagi aku gagal! Kenapa susah sekali membuat Fino agar benci padanya?! Sialan!" Sena berteriak di kamar mandi.
Sudah beberapa kali dia gagal untuk melukai Reina ataupun memfitnahnya. Reina selalu selamat dari itu semua entah bagaimana caranya. Seperti ada seseorang yang selalu melindungi Reina.
"Tunggu saja, Reina. Aku pasti bisa untuk menghancurkanmu." Sena menatap cermin dengan tatapan berapi-api.
Tanpa dia sadari, sedari tadi Sari sudah memperhatikan Sena yang berteriak. Dia hanya menatap datar Sena, tanpa ada niatan untuk menghampirinya.
Setelah Sena terlihat sedikit tenang, barulah Sari menghampiri Sena dengan berjalan santai. Tangannya dia masukkan ke saku rok sekolahnya.
"Bodoh." Sari menghina Sena yang terlihat bodoh.
Sena menatap nyalang kedatangan Sari. "Apa maksudmu? Dan sejak kapan kau berada di sini?" tanya Sena.
"Lo itu terlalu bodoh. Ingin menjatuhkan orang tapi dengan cara klasik, dasar tolol!" Sari merasa tidak tahan atas kebodohan Sena karena cinta buta.
"Kau tidak tau apapun. Tidak usah ikut campur!" ucap Sena kesal. Ucapan Sari berusan cukup menohok hatinya. Apakah dirinya memang sebodoh itu? Pikir Sena.
"Gue tau semuanya. Lo mau menjatuhkan Reina karena telah merebut kekasih lo, 'kan? Bukan begitu caranya bodoh! Bahkan bocah pun ketawa karena rencana bodoh lo itu." Sari seperti tidak henti-hentinya menghina Sena, membuat perasaan Sena tersakiti.
"Jangan bacot doang kau bisanya. Kasih tau aku lah, caranya. Bacot doang, bantuin nggak," ucap Sena yang tidak terima dikatain bodoh.
Sari tersenyum penuh Arti. Dia melempar sebuah flashdisk ke tangan Sena. Lalu dia mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Sena.
"Yakin kau, itu bakalan berhasil?" tanya Sena ragu.
"Sembilan puluh persen pasti berhasil, mereka semua akan menjauhinya nanti. Setelah itu dia akan hancur dengan sendirinya," ucap Sari, Sena mengangguk.
"Tapi inget, tunggu aba-aba dari gue. Kalo timingnya gak pas, nanti kurang seru lah." Sari mengetuk-ngetuk arloji yang ada di tangannya.
"Oke, kalau begitu aku pergi." Sena pamit undur diri dari hadapan Sari.
"Besok kita akan melakukan apa yang tadi gue suruh," ucap Sari. Sena hanya bisa mengangguk lalu pergi dari hadapan Sari.
"Hm."
Sari menatap kepergian Sena dengan senyuman miring. "Kita lihat, seberapa besar kepercayaan orang-orang itu buat lo."
"Mereka yang lo sayangi, apakah mereka tetap menyayangi lo setelah ini?" Sari memandang foto seseorang yang ada di ponselnya. "Tapi tenang aja, gue gak akan biarin lo jatuh sejatuh jatuhnya."
.
.
.Saat ini Alfino dan Reina sedang berduaan di pasar kuliner yang pernah mereka kunjungi. Reina dan Alfino sama-sama suka makan, mereka mencoba berbagai macam makanan yang ada di sana.
"Enak?" tanya Alfino yang sedang melihat Reina menikmati jajanannya. Melihat Reina makan lebih menarik daripada makanan yang ada di tangannya.
"Enak," jawab Reina. Dia menyodorkan jajanan bakso bakar ke arah Alfino. "Nih, cobain deh," ucap Reina sambil menyuapi.
Dengan senang hati Alfino menerimanya. "Makasih sayang." Alfino tersenyum membuat Reina juga ikut tersenyum.
"Aku tadi beli es krim, mau nyoba? Rasa kopi loh es krimnya." Alfino menyendokkan es krimnya. Reina yang mendengarnya lalu mengangguk lucu.
"Aaaaa." Alfino menyuapi Reina. "Iiih, makannya kayak anak kecil gini belepotan. Tengok nih, saos sampe ke pipi." Alfino membersihka bekas makanan di mulut Reina menggunakan tisu.
"Makan yang banyak ya, sayangku. Biar makin gede," ucap Alfino dengan kekehan kecil.
"Memangnya aku belum gede?" tanya Reina polos.
"Ya belum lah, badannya aja kecil gini, pendek lagi." Alfino memegang kepala Reina. Reina menatap cemberut ke arah Alfino, membuatnya sangat menggemaskan di mata Alfino.
"Ya Allah, dosa gak sih nyulik nih bocah," batin Alfino.
"Bukan pendek tau, Alfin. Kamunya aja yang ketinggian kek tiang." Reina mendongak agar bisa menatap.
"Iya iya, kamu gak pendek. Cuman kurang tinggi aja."
"Nah, tuh tau."
Lalu keadaan hening diantara mereka berdua karena lebih memilih menikmati makanan yang ada di tangan mereka.
"Oh iya sayang. Aku besok mau pergi, seminggu aja keluar kota. Gak papa kan kalo aku pergi?" ucap Alfino bertanya.
"Ya gak papa sih, memangnya mau ngapain?" tanya Reina.
"Ya gak tau sih, Papa aku yang ngajak. Aku disuruh ikut, ya mau gak mau gak mau harus ikut," jelas Alfino.
"Hm, baik-baik ya kamu di sana. Jangan sampe lupa makan, nanti sakit loh. Kalo sakit, akunya gak ada di deket kamu." Ucapan Reina membuat Alfino tersenyum senang.
"Uh, perhatian banget sih pacar aku." Alfino mencubit kedua pipi Reina karena gemas.
"Jangan dicubit woi! Sakit!" Reina melepaskan tangan Alfino dari pipinya.
"Haha, abisnya gemesin gini." Alfino terkekeh. "Yaudah ayok pulang, kata Papa kamu tadi cuman boleh sampe jam lima sore. Ini udah mau jam lima." Alfino menggenggam lembut tangan Reina. Reina mengangguk.
.
.
.Keesokan harinya seperti biasanya. Manusia kembali melakukan aktifitas seperti biasanya. Bersekolah, berkuliah ataupun bekerja. Atau bahkan ada yang menganggur? Ya, itu pasti terjadi di setiap negara.
Reina sudah rapi dengan seragam sekolahnya, tapi tidak dengan hatinya. Entah kenapa perasaan Reina terasa berantakan hari ini, apa mungkin karena Alfino pergi?
Tidak tidak, pasti bukan karena itu. Mungkin saja ada sesuatu yang akan terjadi kedepannya, tapi apa? Ah ya, itu menganggu pikiran Reina pagi ini.
Reina menghela nafas pasrah, firasatnya selalu benar. Kalau dia merasa tidak tenang, pasti sesuatu akan terjadi sebentar lagi. Reina menyiapkan dirinya untuk hal itu, semoga bukan masalah yang terlalu besar.
Mungkin saja Reina akan bertemu rivalnya lagi kali ini?
"Eh lo, sini dulu bentar."
Benar saja, Reina bertemu lagi dengan si menyebalkan Sari. Reina menatap Sari dengan tatapan begitu datar. "Mimpi apa sih semalem? Pagi-pagi udah ketemu si bangsat," batin Reina.
"Ck, kau lagi kau lagi. Enggak bosen apa gangguin aku mulu, aku aja sampe eneg. Setiap hari ketemu sama monyet modelan kau," ucap Reina dengan nada malas.
"Gue lebih eneg ngeliat lo," balas Sari enteng.
"Ya kaunya ngapain jumpai aku terus, bajingan!" Reina tersulut emosi, gampang sekali Reina emosi hanya karena Sari.
Sari tidak menghiraukan ucapan Reina, dan malah berjalan mendekat. Sari tersenyum miring. "Bersiaplah untuk merasa sakit lebih dari yang sebelumnya lo rasain," bisik Sari di telinga Reina.
"Apa maksudmu?" tanya Reina dingin.
"Kita lihat, seberapa pentingnya lo buat mereka. Seberapa besar kepercayaan mereka buat lo."
Reina semakin tidak mengerti dengan yang Sari ucapkan. Apa maksudnya? "Haha, siapa yang kau maksud? Kepercayaan? Dari dulu banyak yang tidak percaya padaku, siapa orang-orang yang kau maksud?"
"Sebentar lagi lo akan tau. Jadi, siapin aja mental lo," ucap Sari sekali lagi. Lalu Sari pergi dari hadapan Reina, meninggalkan tanda tanya di benak Reina
Bersambung~~
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is Rein | End
Teen FictionFollow sebelum membaca. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Kalau ada yang bertanya, siapa yang hidupnya paling santai? Jawabannya adalah Reina. Yang sikapnya selalu berubah-ubah? Jawabannya adalah Reina. Siapa yang pecinta kopi? Jawabannya adalah Reina? Selalu...