"Sudah berapa kali aku bilang Ra! Aku udah punya tunangan, jangan mengejar aku lagi." Dandi teman Alfino, sedang memarahi orang yang bernama Lara.Lara adalah teman masa kecil Dandi, karena kedekatan mereka berdua, memunculkan perasaan menyukai dari Lara dan berakhir cinta. Sedangkan Dandi, dia hanya menganggap Lara sebatas teman masa kecil, tidak lebih.
"Aku tau, kamu dengan perempuan itu karena dijodohkan. Kamu gausah pura-pura menyukai perempuan itu," ucap Lara sambil menunjuk-nunjuk Dandi.
"Memang, tapi aku gabisa nolak permintaan Mama. Mama minta aku buat nikah sama dia, terus aku harus apa?" ucap Dandi frustasi, wajahnya menunjukkan kesedihan.
"Aku udah suka sama kamu sejak lama, Dan. Kamu gapernah peka sama perasaan aku, lalu kamu berakhir tunangan sama dia?" Lara berucap lirih, Dandi menatap Lara lamat.
"Maafin aku, aku dulu gak tau. Tapi semuanya udah terlanjur Ra, aku gabisa nolak perjodohan ini." Dandi membawa Lara kepelukannya. "Maafin aku yang selama ini nyakitin kamu, itu karena aku gamau kamu semakin jatuh terlalu dalam."
"Aku sayang sama kamu Dan, sangat sulit untuk menghapus perasaan ini. Aku harus bagaimana?" Lara memeluk Dandi dengan erat.
"Aku juga sayang sama kamu, Ra. Maaf aku gabisa, semoga kamu menemukan orang yang lebih baik dari aku," ucap Dandi membalas perkataan Lara.
Mereka saling menenangkan satu sama lain. Dandi meyakinkan Lara kalau mereka tidak bisa untuk bersama, Lara pun mencoba untuk mengikhlaskan. Setelah beberapa menit, mereka pergi dari tempat itu.
Tanpa mereka berdua sadari, sedari tadi ada seseorang yang tidak sengaja menguping perdebatan itu. Berdebatan yang cukup dramatis dan mengharukan.
Orang itu adalah Reina, awalnya dia hanya ingin mengindari ketiga saudaranya yang selalu saja merecoki dirinya. Dia bersembunyi di suatu bagian gedung sekolah, dengan bersandar pada salah satu pilar. Dandi dan Lara berdebat di balik pilar, sehingga tidak menyadari kehadiran Reina.
"Heh, percintaan yang sangat rumit." Reina masih bersender di tempat itu, sambil menikmati permen. "Bisa-bisanya mereka memainkan drama yang sangat emosional itu."
Reina tersenyum miris menatap kepergian dua sejoli itu. Dia sedikit merasa kasihan. "Hidup ini penuh dengan drama. Kenapa aku selalu tidak sengaja menonton drama orang lain?" Reina merasa heran dengan dirinya sendiri.
Di detik berikutnya Reina tertawa kecil. Reina merasa geli dengan masalah percintaan orang-orang di sekitarnya. Lalu bel masuk berbunyi, Reina segera menuju ke perpustakaan untuk menjalankan hukuman dari pak Adi.
.
.
."Ngapain kita di sini, anjir! Ini hukuman paling gak jelas yang pernah aku alamin." Alea berteriak frustasi sambil mengitari rak-rak buku yang ada di perpustakaan itu. "Aku gatau lagi harus apa."
"Ya baca buku lah, yakali jualan somay," ucap Reina yang sudah jengah mendengar ocehan Alea sedari tadi. Reina mencari buku yang bisa dia baca, tapi masih belum menemukannya.
"Apa? Baca? Jangankan baca, ngeliat buku sebanyak ini aja udah mual aku." Alea menunjuk semua rak buku di ruangan itu.
"Bacot mulu Le. Nih, kau baca aja nih." Reina melemparkan buku yang lumayan tebal ke arah Alea. Untung saja Alea langsung menangkapnya, kalau tidak, buku itu sudah mengenai kepalanya.
"Buku sejarah? Yang benar saja!" Alea mengangkat buku tebal itu dengan satu tangannya.
"Dari pada kau ngebacot gajelas di situ, mending ngebacot baca buku. Tuh buku bisa kau bacotin sampe puas," ucap Reina datar. Telinganya sudah muak mendengar bacotan Alea.
Reina memang suka membaca, tapi dia hanya suka membaca buku fiksi. Kalau membaca buku non fiksi pun, Reina hanya membaca untuk kebutuhannya, misalnya mencari reffrensi.
Reina dan Alea mulai fokus membaca, walaupun mereka tidak benar-benar membaca. Alea hanya membalik-balikkan buku, membaca judul-judul awal saja. Reina hanya membaca sedikit-sedikit.
Tap tap tap.
Saking fokusnya membalik-balikkan buku, Reina dan Alea sampai tidak sadar kalau ada pak Adi yang datang mendekat.
"Ekhem."
Pak Adi berdehem cukup keras. Reina hanya menatap sekilas, lalu kembali fokus ke arah buku yang dia baca. "Ngapain Pak? Ini kami lagi baca loh, takut kali kayaknya kami kabur," ucap Reina sinis, sambil menunjukkan buku yang dia baca.
"Tau tuh. Ntah apa temanya kami di sini," ucap Alea juga cukup sinis.
"Saya kesini bukan mau mantau kalian. Kurang kerjaan kali saya mantau kalian. Kalo kalian kabur pun saya tambah lah hukumannya," ucap pak Adi tak kalah sinis.
Reina menaikkan sebelah alisnya. "Terus? Mau ngapain Bapak kesini?" tanya Reina.
"Kalian berdua dipanggil kepala sekolah ke ruangannya."
Reina dan Alea sedikit terkejut. "Yaampun Pak, kami gak ada buat masalah kok, hari ini. Mau ngapain manggil kami," ucap Alea memelas.
Pak Adi tidak memperdulikan perkataan Alea. Dia langsung menarik dasi kedua anak muridnya itu. Mau tak mau, Reina dan Alea mengikuti pak Adi sampai ke ruang kepala sekolah.
"Pak! Main tarik-tarik aja! Dikira kambing apa!" ucap Reina kesal.
"Ini saya sudah bawa kedua murid ini Pak." Pak Adi mendorong Reina dan Alea maju ke depan.
"Yaudah, suruh mereka duduk," perintah kepala sekolah itu. Dia duduk membelakangi Reina dan Alea. Lalu pak Adi pamit undur diri.
Dia adalah kepala sekolah yang baru, mungkin saja yang lama sudah pensiun, lalu digantikan olehnya. Nama kepala sekolah itu adalah Dewata.
Dia baru saja dilantik beberapa hari lalu, oleh ayah Reina sendiri. Banyak murid yang belum pernah melihatnya secara langsung, termasuk Reina dan Alea.
Suasananya cukup menegangkan. Walapun Reina anak pemilik sekolah, tapi tetap saja dia tidak bisa semena-mena, lagian hanya segelintir orang yang tau kalau dia anak pemilik sekolah.
Kepala sekolah itu berbalik memutar kursinya, Reina dan Alea tercengang. "Buset, Rein. Ini Bapakmu nemu di mana kepala sekolah modelan gini? Ganteng banget anjir, udah kayak idol korea tuh mukak." Alea berbisik pada Reina.
"Aku juga gak tau, si Bapak nemu di mana." Reina juga berbisik pada Alea.
"Ekhem." Dewata berdehem. "Jadi kalian berdua yang bernama Reina dan Alea?" tanyanya.
Reina dan Alea mengangguk. "Iya pak."
Dewata mengangguk, dia melepaskan kacamatanya. "Kamu," tunjuk Dewata pada Reina.
"Saya?" Reina menunjuk dirinya sendiri.
"Kamu anak tuan Aflastar kan?" ucap Dewata santai.
Reina cukup terkejut, darimana orang di depannya ini tau kalau dia salah satu bagian dari Aflastar? "Kok tau? Tau darimana?" tanya Reina bingung, begitu juga dengan Alea.
"Sudah pasti saya tau. Saya ini bawahan Papa kamu. Kamu tidak ingat saya?" Dewata bertanya balik.
Reina berusaha mengingat, Reina tidak pernah mengingat ada orang bernama Dewata dalam hidupnya? Tapi memang wajah itu cukup familiar bagi Reina.
"Kamu gak ingat?" tanya Dewata lagi. Reina hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Kamu tidak ingat pengawalmu waktu kecil? Om Ata?" Dewata memberitahukan identitasnya.
Reina terdiam sejenak, otaknya berusaha mencerna kata-kata Dewata. Di detik berikutnya Reina membulatkan matanya, menatap terkejut ke arah Dewata.
"OM ATA?"
Bersambung~~
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is Rein | End
Teen FictionFollow sebelum membaca. ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Kalau ada yang bertanya, siapa yang hidupnya paling santai? Jawabannya adalah Reina. Yang sikapnya selalu berubah-ubah? Jawabannya adalah Reina. Siapa yang pecinta kopi? Jawabannya adalah Reina? Selalu...