Curiga

88.5K 10.7K 224
                                    


Raya keluar dari mersy hitam nya saat kuda besi itu sampai di depan halaman rumah, Albirru tadi sempat memaksa untuk mengantarkan nya pulang, namun berbekal akal kancil nya, Raya bisa pulang tanpa Albirru yang mengambilkan tas nya--padahal sebelum nya, ia sudah meminta Tata untuk membawakan nya lebih dulu. Beruntung, kunci mobil dan ponsel berada di almameter nya.

Raya bahkan bisa membayangkan bagaimana geram nya wajah Albirru saat melihat Ia sudah tak ada di brankar UKS. Sungguh mengerjai Albirru adalah kegiatan yang amat sangat menyenangkan bagi Raya, yang pasti itu bagi raya seorang, jika orang lain, pasti akan lebih memilih untuk patuh saja, berhadapan dengan kemarahan Albirru sama saja seperti menantang seorang malaikat maut yang tengah mengacungkan tongkat nya.

Raya memicingkan mata, heran dengan keberadaan Zidan yang tengah bersandar di kusen pintu dengan tangan bersedekap. Astaga.. padahal Raya sedang tak mood untuk berdebat sekarang.

Ia berjalan dengan santai tanpa merasa berbuat salah apapun, namun langkah nya terhenti saat satu tangan Zidan terulur menghalangi pintu, ia melirik sekilas, tangan nya turut bersedekap dan menatap kedepan tanpa ekspresi, datar.

"Apa yang lu rencanain kali ini? Setelah Stella, sekarang Zevan?"

Raya memicingkan mata, ingin rasa nya menyumpal mulut Zidan yang jika bicara asal keluar begitu saja, memang nya apa yang ia lakukan? Hal seperti ini yang membuat Raya tak tanggung tanggung memberi tindakan. Masalah nya, ia tak melakukan apapun saja di tuduh melakukan, lalu kenapa tak ia lakukan saja seperti yang mereka fikirkan?

"Jawab.Letta." tekanan Zidan pada setiap kata nya membuat Raya mendengus sinis, seingat Raya, Zidan itu lebih tua dari nya loh, lalu mengapa kegoblokan lelaki itu terlihat luar biasa sekali, memang nya tadi Zidan bertanya hingga ia perlu menjawab? Dari pada bertanya, Zidan lebih terlihat seperti seseorang yang tengah menuduh tanpa bukti.

"Lu ngomong udah kek orang cuci piring, gak ada aturan nya, kalau mau ngomong sama gue harus pakek bahasa manusia, soal nya bahasa makhluk astral macem lu gue gak ngerti."

manik Zidan bergetar dengan gigi bergemelatuk menahan amarah, lancang sekali gadis itu berkata demikian. sudah merasa hebat kah Letta hanya karna perubahan lebih buruk nya ini? dari pada menjadi lebih baik, Letta lebih terlihat seperti gadis yang tak punya sopan santun dan etika bicara.

"jangan mancing amarah gue, sialan. Sekarang jawab pertanyaan Gue, lu bilang apa ke temen--ah, lebih tepat nya ke cowok lu itu, sampai sampai dia bikin Zevan babak belur?"

kali ini Raya mengerutkan kening, ia benar benar tak mengerti dengan ucapan Zidan, tak mungkin juga kan jika Zidan hanya ingin bermain main dengan nya? Namun dari pada bertanya pada Zidan, Raya lebih memilih untuk menerobos tangan Zidan dan melangkah menuju kamar Zevan yang berada di lantai satu.

Jika di tanya mengapa kamar Zidan dan Raya berada di lantai dua namun Zevan berada di bawah, alasan nya karna Zevan tak terlalu suka kebisingan, apalagi Zidan jika tengah bermain game atau memutar musik, ramai nya bahkan akan mengalahkan suara sound system orang hajatan. Lagi pula di lantai dua juga sudah banyak ruangan, ruang kerja Xander, bioskop mini, ruang tamu, kamar Zidan dan juga kamar Letta.

Raya mengetuk dua kali pintu kamar Zevan sebelum tanpa permisi ia masuk begitu saja. Zevan yang tengah duduk setengah berbaring dengan  manik memejam pada sofa panjang di pojok kamar nya membuat Raya mendekat. Tak luput ia menutup pintu agar orang luar layak nya Zidan tak mencampuri urusan mereka.

Raya berdehum saat langkah nya berada tepat di hadapan Zevan, sontak saja lelaki itu membuka mata. Melakukan kesalahan yang sama dua kali dengan menegak kan tubuh nya cepat hingga erang kesakitan nya tak mampu ia tahan.

Melihat itu Raya meringis tipis, Ia dulu memang sering pula menerima luka sedemikian rupa, bahkan ia pernah beberapa kali mengalami luka tusuk, namun tetap saja, melihat Zevan seperti menahan nyeri di perut nya membuat Raya samar samar turut merasakan ngilu.

Ia yakin, siapapun orang yang melakukan itu pada Zevan, menghajar lelaki dengan brutal dan sepenuh tenaga.

poor Zevan.

"Dek?" Kali ini Zevan menegak kan badan nya dengan hati hati. Merasa miris dengan keadaan Zevan, Raya memilih duduk di sebelah pemuda itu, membuat Zevan yang sudah berdiri meneguk ludah suaah, sedang Raya memicingkan mata, merasa tak bersalah sedikitpun.

"Lu gak papa kan?" Tanya Zevan saat sudah mempernyaman posisi, Ia memilih kembali duduk dengan menghadap Raya agar lebih leluasa bertanya pada gadis di depan nya itu.

"Kalah sama siapa lu?" Zevan meringis mendengar ucapan terlewat santai dari Letta, dari pada khawatir tentang keadaan nya, entah mengapa Zevan merasa jika Letta tengah bertanya meremehkan, seperti 'segitu doank lu kalah?' padahal Zevan yakin, Letta saja yang tak tau bagaimana brutal nya seorang Albirru saat menghajar nya tadi.

"Lu belum jawab pertanyaan Abang Ta." Raya mengendik kan bahu nya acuh, bukan Raya nama nya jika memilih mengalah untuk menjawab lebih dulu.

"Temen lu, dia ngehajar gue tiba tiba, kata nya karna gue ngasih sesuatu ke lu, emang sebener nya kenapa dek? Gue beneran gak ngerti sampe sekarang."

Raya terdiam sejenak, harus nya jika itu Zevan, lelaki itu sudah menyadari kesalahan nya. bibir nya tersenyum sinis, nampak nya memang ada yang ingin bermain main dengan nya, dan seperti nya, Raya juga bisa menebak siapa dalang sebenar nya. Fine, dia yang memulai, maka akan Raya layani orang itu dengan sepenuh hati.

"Dek?"

Raya berdehum malas, tubuh nya beranjak, tanpa memperdulikan Zevan yang masih memandang nya dengan pandangan bertanya.

"Ada yang ngasih gue Chesse burger, kata nya dari lu--"

"Mana ada gue ngasih chesse burger padahal gue tau kalau lu alergi keju."

"Bisa aja kan selama ini lu cuman pura pura." Zevan memandang Letta tak percaya, raut wajah nya pias. bagaimana bisa Letta berfikir seperti itu, padahal setelah Zevan memutuskan untuk tak lagi menghalau rasa sayang nya pada Letta, ia sudah tak terlalu dekat dengan Alex dan teman teman nya. Sekarang Letta menuduh nya begitu saja? Jadi selama ini Letta tak benar benar percaya pada nya.

"Lu ngeraguin gue Dek?"

"Berapa tahun lu ngehindarin Gue? Dan berapa tahun juga rasa sakit karna lu dan Zidan gue rasain? Lu berharap kalau gue percaya sama lu gitu aja?"

jlep.

Zevan terperangah, manik nya bergetar menatap manik tajam yang menyorot dingin pada nya. Ada rasa kecewa bercampur rasa sakit yang menciptakan nyeri dalam rongga dada nya, namun tak ayal, logika nya membenarkan apa yang Letta katakan. Tak adil rasa nya, rasa sakit yang adik nya rasakan bertahun tahun dan semua nya terlupakan dalam satu kata maaf saja hari itu.

Hahahha...

Sampai sebuah tawa menggelegar itu membuat Zevan tersadar, Ia menatap bertanya ke arah Letta yang gadis itu jawab dengan gelengan kepala.

"Lu percaya sama Gue?"

Alih alih turut tertawa, Zevan masih dalam ekspresi sebelum nya, menatap Raya dengan pandangan rumit yang kentara.

"Gue tau siapa pelaku nya, yang tadi bercanda"

Hingga tubuh Raya hilang di balik pintu kamar nya, Zevan masih dalam pandangan yang sama, mungkin Letta menyangkal, namun tidak dengan Zevan yang merasa Letta memang belum sepenuh nya percaya.

Gue tau, hati lu masih belum sepenuh nya percaya dek.

💢💢💢💢💢

😪😪😪😪

Ngantuk banget ih..

Maap kalau ada typo ya guys, mata Vee tinggal 5 watt nih waktu ngetik.

Disini hujan, cuaca nya lagi ngerayu buat vee tidur ih...

TOLONG PROMOIN CERITA INI DONG GUYSSS😭😭😭

VEE MINTA TOLONG NIH😢😢😢😢

Bubay

Salam Sayang
uVi❤❤

Violet Or Feraya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang