53 - Struggling

3.7K 472 138
                                    

LISA POV

"Sudahlah, chagiya! Jangan memaksanya. Lisa sangat sibuk. Mana mungkin dia mau ikut dengan kita berdua." Jisoo Unnie berkata pada Chaeyoung sambil memasang wajah sinisnya padaku. Aku tahu dia mengatakan itu bukan dalam konteks yang sebenarnya. Dia hanya sarkas dan menyindirku karena beberapa bulan terakhir aku sangat sibuk. Lebih tepatnya menyibukan diriku lebih dari sebelumnya.

"Maafkan aku, Chaeyoungie. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja." aku tersenyum miring pada Chaeyoung.

"Lisa, hanya lima hari." Chaeyoung masih bersikukuh di depan mejaku. Meja kantorku.

Apa kalian terkejut? Tentu saja. Aku juga terkejut dengan apa yang terjadi selama lima tahun terakhir ini.

Waktu terasa sangat cepat tapi tidak memiliki arti apa-apa. Semuanya hampa. Ini lebih hampa dibandingkan masa kecilku dulu.

Berat menjalaninya sendirian. Sangat rapuh bahkan terkadang aku bisa menangis setiap malam hanya untuk meratapi kesedihanku.

Tapi beberapa bulan terakhir ini aku benar-benar sengaja menyibukan diriku di kantorku agar malam-malamku yang sama tidak dipenuhi lagi airmata.

Setelah hari dimana Jennie memutuskan untuk melepas cincin itu dan menutup pintu rumahnya, aku tidak menyangka bahwa itu adalah pertemuan terakhir kami. Aku menunggunya keluar hingga tengah malam, tapi dia tidak menampakan lagi batang hidungnya. Dirasa mulai melemah aku berniat untuk pulang dan kembali lagi keesokannya. Namun sesampainya di rumah, kondisiku tidak stabil. Aku pingsan tepat setelah aku membuka pintu rumahku. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi karena aku baru menyadarkan diriku 2 hari setelah aku pingsan. Bahkan aku harus masuk ICU karena tanda-tanda vitalku menurun.

Hari ketiga dimana aku bisa dipindahkan ke ruang keperawatan biasa, aku memaksakan diriku untuk kembali ke rumah Jennie. Aku harus memperjuangkannya. Tapi karena kondisiku yang masih tidak memungkinkan, akhirnya membuat Jisoo Unnie dan Chaeyoung untuk menemui Jennie. Namun sepertinya ini semua sudah dirancang oleh yang Maha Kuasa. Sekembalinya mereka dari sana, mereka mengatakan bahwa rumah Jennie sudah kosong. Beberapa tetangga mereka bilang bahwa rumah tersebut sudah dijual pada orang lain.

Secepat itukah? Hanya dalam waktu tiga hari aku bukan hanya kehilangan Jennie, namun kehilangan semua kesempatan yang masih bisa aku perjuangkan.

Saat itu aku harus membuktikannya dengan mata kepalaku sendiri. Tengah malam aku membuka paksa infusanku dan selang oksigenku. Aku menggunakan taksi hanya untuk melihatnya sendiri.

Dan sakitnya berkali lipat menjadi dua karena melihat bahwa ini semua nyata. Jennie ternyata bersungguh-sungguh ketika dia mengatakan tidak ingin melihatku lagi.

Aku terpukul saat itu juga. Jatuh tersungkur, menangis sekeras kerasnya di depan rumah Jennie yang kini kosong dan gelap. Rumah dimana kenangan kami tertawa ada di dalamnya.

Berhari-hari aku tidak makan sehingga aku harus dilarikan lagi ke rumah sakit. Tubuhku makin mengurus namun aku tidak peduli. Yang aku tahu kini adalah hidupku sudah tidak ada artinya lagi tanpa Jennie.

Aku menyesal malam hari itu aku pulang. Andai saja aku bertahan lebih lama disana, mungkin aku masih bisa melihat Jennie. Mungkin dia terketuk pintu hatinya dan membuka lebar-lebar kesempatan pada kami lagi. Tapi aku sekarang benar-benar kehilangannya.

Aku terkadang mengamuk, sampai-sampai aku harus dikonsulkan pada dokter kejiwaan. Saat konseling dokter tersebut membantuku. Dia membantuku untuk bangkit kembali. Dia bukan dokter yang selalu memberikan kata-kata motivasi. Tapi hanya dengan kalimatnya "Biarkan saat ini Jennie menghilang dari pandanganmu, mungkin itu yang dia butuhkan. Kau hanya perlu membuat dirimu lebih baik lagi dari sebelumnya. Aku yakin, waktu akan mempertemukan kalian berdua suatu saat nanti."

BEST FRIEND - JENLISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang