Bab 27

636 36 0
                                    

Happy Reading !!!

***

“Tumben malam banget pulangnya?” tanya Leo begitu Kai dan Laura turun dari mobil.

Leo memang sengaja duduk di teras, menunggu sang putri yang tidak biasanya pulang larut malam, karena biasanya sebelum makan malam, perempuan itu sudah ada di rumah.

“Ela ketiduran di rumah sakit, Pi. Lelah banget, pasien hari ini banyak yang gawat,” cerita Laura berhambur memeluk Leo yang sudah berdiri seolah tengah menunggu putri dan calon menantunya menghampiri.

“Salah siapa pengen jadi dokter,” cibir Leo. “Papi ‘kan sejak awal udah minta kamu kuliah bisnis aja, biar bisa nerusin usaha Papi. Hotel sama Supermarket dan bisnis lainnya mau Papi kasih siapa nanti jika waktunya Papi tiba?”

Laura dengan cepat melepaskan pelukannya dari sang papi, menatap tajam pria paruh baya kesayangannya. Laura tidak suka dengan kalimat yang di ucapkan orang tua tunggalnya itu.

“Nanti Papi yang akan kasih sendiri ke cicit-cicit Papi. Papi sendiri yang akan mengajarkan tentang semua bisnis Papi itu pada anak dan cucu-cucu Ela,” ujar Laura dengan suara tinggi sarat akan kekesalan, diiringi air mata yang begitu saja mengalir tanpa bisa Laura cegah.

Sejak dulu kalimat seperti itu yang tidak Laura sukai para orang tua ucapkan terlebih papinya. Tentu bukan tanpa alasan karena dulu saat maminya masih ada, wanita yang melahirkannya itu selalu berkata bahwa ia harus menjadi perempuan yang kuat, perempuan yang tegar dan tidak cengeng. Maminya selalu berkata, jika suatu saat nanti beliau tidak ada, maka dirinyalah yang harus bisa menjaga sang papi dan juga kakaknya.

Laura masih terlalu kecil untuk mengerti semua yang maminya ucapkan, membuatnya hanya mengangguk saja tanpa bertanya lebih jauh. Namun saat papi dan maminya izin pergi bulan madu Laura merasa berat, merasakan ada sesuatu yang mengganjal sampai malam-malam yang di lewatinya tanpa sosok itu Laura di hantui dengan mimpi-mimpi menyeramkan sekaligus membahagiakan.

Sosok maminya yang selalu memberi nasihat dan memintanya untuk kuat tidak pernah absen dari bunga tidurnya, hingga suatu malam kata pamit terucap dari bidadarinya dan keesokan pagi kabar tentang kepergian sang mami, Laura dengar. Menjawab semua mimpi-mimpinya. Sejak saat itu Laura benci dengan kata ‘jika waktunya tiba’. Terlebih di ucapkan oleh papi, ayah dan bundanya.

“La—”

Stop Pi,” Laura menggeleng lemah, tangannya terulur menyeka kasar air mata yang sudah terlanjur terjatuh. “Ela tahu semua akan pergi, semua akan kembali pada Tuhan. Ela percaya hidup ini tidak akan kekal. Tapi Ela mohon jangan pernah ucapkan kalimat seperti itu lagi, meskipun Papi sudah tua, Papi harus tetap percaya diri bahwa Papi akan berumur panjang. Papi akan terus menemani Ela sampai cucu-cucu Ela memiliki cucu lagi. Ela benci kalimat perpisahan Pi, Ela benci kalimat yang mengarah pada keputusasaan, karena kalimat-kalimat itu mengingatkan Ela sama Mami. Andai saat itu Ela sadar, Ela paham dengan setiap kalimat-kalimat Mami, mungkin saat itu Mami masih bisa di tolong, Mami masih bersama kita sekarang. Tapi—”

Kalimat Laura terhenti begitu sebuah tangan menariknya masuk ke dalam pelukan. Wangi parfum yang tercium di inderanya membuat Laura tahu bahwa Kai lah orang yang memeluknya saat ini.

Air mata yang sebelumnya berhasil dihentikan kembali mengalir dengan derasnya, isak tangis pilu membuat siapa saja yang mendengar merasakan kesedihan itu, termasuk Leo yang kini terduduk lesu di kursi yang semula didudukinya. Air mata pria tua itu sama tidak bisa di bendungnya. Tidak menyangka bahwa malam ini kenangan buruk itu akan kembali dirinya kenang.

 Tadinya niat Leo hanya becanda melontarkan kalimat itu, tidak menyangka bahwa itu akan berakhir seserius ini dan membuat putrinya sedih, pun dengan dirinya yang kembali terkenang sosok sang istri.

Enam belas tahun waktu yang cukup lama dilalui, tapi masih tidak cukup untuk menghilangkan kesedihan yang mereka alami. Meskipun kalimat ikhlas terlontar ribuan kali nyatanya hati tidak pernah sepenuhnya bisa merelakan. Luna terlalu sulit di lupakan, tapi juga sesak untuk terus di kenang. Bukan karena luka yang digoreskan, tapi kepergiaannya yang begitu cepat membuat Leo serta yang lainnya sulit menerima. Belum banyak waktu yang mereka habiskan tapi perpisahan harus lebih dulu mereka lakukan.

Ikhlas. Itu hanya omong kosong, karena nyatanya Leo masih saja terus memeluk foto Luna setiap malamnya. Tangis itu masih sering dirinya lakukan termasuk memohon untuk dipertemukan walaupun itu hanya sekadar dalam mimpi. Tidak ada orang yang tahu bagaimana isi hati Leo dan hancurnya ia setelah di tinggal sang istri hingga saat ini. Semua Leo simpan baik-baik seorang diri karena tidak ingin membuat orang disekelilingnya khawatir.

Tidak ada juga yang tahu seberapa seringnya ia ke psikolog bahkan psikiater untuk berkonsultasi mengenai gangguan tidur dan halusinasinya yang selalu saja terbayang sosok Luna. Luna yang memasakkannya sarapan, mengantarkannya makan siang. Luna yang selalu memeluknya saat tidur dan Luna dengan aktivitas sehari-harinya menyiapkan segala kebutuhannya sebelum berangkat kerja. Semua Leo simpan dengan rapi tanpa ada satu pun orang yang tahu.

Obat-obatan yang ia dapatkan dari dokter menjadi penolong untuk membantunya tidur. Dan hasil dari konsultasi dengan beberapa terapi yang membuatnya hidup dengan normal tanpa memperlihatkan kejiwaannya yang terguncang. Hampir enam belas tahun terakhir ini Leo berhasil menyembunyikan semuanya.

Dan malam ini sepertinya Leo membutuhkan lebih banyak obat itu untuk membantunya tertidur dan tenang. Ia pun butuh segera pergi ke psikologinya untuk menceritakan semua yang kembali mengganggu pikirannya sebelum semuanya di kuasai oleh halusinasi tentang Luna dan membuat semua orang terdekatnya mengetahui keadaan mentalnya yang tidak baik-baik saja.

Tanpa mengatakan apa pun, Leo masuk ke dalam rumah dan mengurung dirinya di kamar. Membiarkan Laura bersama Kai.

Tak lama dari kepergian Leo, Kai mengajak masuk Laura yang masih sesenggukan dalam pelukannya. Laura tidak menjawab, tapi Kai tetap membawa calon istrinya masuk ke dalam rumah, mengantarnya langsung ke kamar perempuan itu agar Laura bisa langsung istirahat.

Kai memilih tidak banyak bertanya karena ia paham bahwa kini Laura sedang berusaha untuk menenangkan dirinya juga hatinya yang terguncang akibat mengenang kembali sosok sang mami. Dan Kai yakin Leo pun melakukan hal yang sama. Kai hanya berharap bahwa anak dan ayah itu akan kembali seperti biasanya saat esok hari.

Yang terjadi antara Laura dan Leo memang bukan pertengkaran, tapi emosi cukup terkuras dalam diri keduanya. Kehilangan adalah hal yang amat sulit di ikhlaskan, terlalu sensitif untuk dibicarakan dan terlalu sesak jika hanya terus di pendam.

Kai paham perasaan Laura, karena sedikit banyaknya ia pun merasakan apa yang tunangannya itu alami. Kai pun paham posisi Leo karena meskipun bukan selamanya, Kai pernah begitu merasa kehilangan saat Laura pergi. Kasus mereka memang berbeda tapi kesedihan itu sedikit banyaknya memiliki kesamaan.

Lelah yang masih tersisa akibat kerja di tambah dengan lelah terus menangis membuat Laura dengan cepat terlelap begitu Kai membaringkan perempuan itu di ranjang. Untuk beberapa saat Kai bertahan di sana, menemani Laura yang tertidur sambil mengusap pipi basahnya. Menatap wajah cantik itu lekat-lekat sebelum memutuskan untuk keluar dan membiarkan Laura istirahat.

Hari sudah semakin malam dan Kai pun butuh istirahat, karena sama dengan Laura, Kai pun cukup lelah dengan pekerjaannya, tapi tidak ingin melewatkan waktu bertemu sang calon istri. Kai bisa tidak tidur semalaman jika tidak bertemu Laura sehari saja.

Terlebih dulu Kai mendatangi kamar Leo yang ada di lantai satu untuk pamit, tapi berkali-kali ia mengetuk pintu tidak juga mendapat sahutan, membuat Kai menyerah pada akhirnya dan memutuskan untuk ke dapur, menemui Asisten Rumah Tangga Leo untuk memintanya tidak lupa mengunci semua pintu dan jendela. Beruntung saja wanita tambun berusia sekitar pertengahan lima puluh tahun itu masih belum tidur jadi Kai bisa sedikit tenang pulang malam ini.

Di depan memang ada satpam tapi tidak menjamin keamanan tetap terjaga. Orang jahat bisa masuk lewat mana saja. Barang-barang berharga di dalam rumah tidak terlalu Kai pedulikan, tapi Laura jelas dirinya khawatirkan, pun dengan Leo yang tidak akan lama lagi menjadi orang yang menjabat tangannya untuk menikahkannya dengan Laura. Bisa bahaya kalau sampai Leo di culik sebelum pria itu menyerahkan anaknya pada Kai dalam status halal.

***

See you next part!!!

Married With Ex-BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang