Bab 52

529 34 0
                                    

Happy Reading!!!

***

“Kai buruan masak, dong, Papi udah lapar,” teriakan itu terdengar dari luar kamar, membuat Kai yang semua berniat naik kembali ke tempat tidur, urung, dan mencebikkan bibirnya.

“Untung mertua gue,” ujar Kai menyabarkan diri. “Iya Pi, sebentar,” teriaknya kemudian.

“Aku bersyukur nikah sama kamu setelah kamu berubah, Ay,” ucap Laura mengulas senyum lembut.

“Kenapa begitu?” heran Kai.

“Soalnya aku gak bisa bayangin kalau nikah sama kamu di saat sikap kamu masih yang dulu. Aku yakin setiap hari akan ada pertengkaran di rumah ini. Papi yang seenaknya dan kamu yang temperamen gak akan pernah cocok kalau di satukan. Untung-untung cuma adu mulut. Aku serem kalau sampai kalian adu golok,” jelas Laura diakhiri dengan tawanya.

“Aku aja gak yakin bakal di izinin nikah sama kamu kalau masih mempertahankan sikap aku yang dulu,” ucap Kai tersenyum kecil. Kai belum bisa biasa saja jika membahas mengenai sikapnya yang dulu, karena Kai merasa bahwa dirinya di masa lalu begitu buruk.

Laura yang paham pun akhirnya menarik Kai ke dalam pelukannya. “Jangan terbelenggu pada masa lalu, cukup di jadikan pembelajaran dan jadilah pribadi yang lebih baik lagi. Sampai sini juga aku sudah bangga, kamu bisa mengendalikan diri meskipun aku dan Papi tidak jarang bersikap menyebalkan dan menguji kesabaran kamu. Terima kasih, Ay,” ucap tulus Laura.

“Suatu saat nanti, jika aku mulai kembali tidak terkendali tolong peluk aku kayak gini, ya, Yang. Jangan lepasin aku,” pinta Kai yang tentu saja Laura angguki dengan suka cita.

“Kai, Papi lapar,” teriakan itu kembali terdengar, menyadarkan Kai juga Laura yang larut dalam kenangan masa lalu dengan jalan cerita yang menuntun keduanya hingga titik ini.

“Capat ke dapur gih, Ay, Papi akan makin nyebelin kalau kelaparan. Nanti aku nyusul, mau ke toilet dulu.”

Kai mengangguk dan menjatuhkan satu kecupan di kening istrinya itu sebelum meninggalkan kamar menuju dapur untuk segera menyiapkan sarapan.

Leo memang tidak pernah berubah jika sudah berurusan dengan perut. Selalu saja menyebalkannya keluar dan membuat siapa saja kesal. Untung saja Kai ingat statusnya sebagai menantu, jadi harus baik-baik pada mertuanya. Jika tidak, Kai telan Leo hidup-hidup.

“Tuhan ampuni Kai yang berdosa ini,” gumamnya, lalu mulai mengambil bahan-bahan untuk membuat menu sarapan pagi ini.

***

“Kemarin kenapa nangis waktu bidan bilang kamu hamil?” tanya Kai saat mereka baru saja selesai sarapan dan kini duduk di ruang tengah, di depan tungku yang menyala untuk menghangatkan tubuh mereka dari rasa dingin yang menusuk kulit. Sedangkan Leo malah justru pergi bersepeda, ingin menjelajahi sekitar tempat tinggalnya sekaligus mencari teman agar tidak terlalu kesepian berada di negara ini.

Laura meringis pelan mendengar pertanyaan dari suaminya itu. “Kamu pasti mikir yang enggak-enggak, ya?”

Kai mengangguk apa adanya. Karena memang benar bahwa dirinya sempat berpikir yang tidak-tidak tentang istrinya yang tiba-tiba menangis setelah mendengar kabar kehamilannya.

“Sekarang jelasin, biar aku gak berusaha untuk nebak-nebak dan berakhir salah paham,” tuntut Kai meski masih dengan nada yang lembut. “Kamu gak senang dengan kehamilanmu?” tanya Kai memulai. Laura dengan cepat menggelengkan kepala, tidak membenarkan apa yang di tanyakan suaminya. “Lalu?”

“Aku cuma gak menyangka aja bisa hamil secepat ini, di tengah waktu kita yang harus fokus pada kesehatan Papi. Aku takut tidak bisa membagi fokus antara Papi, kamu dan calon anak kita. Ada takut yang menyelimuti saat bidan mengatakan bahwa aku hamil. Jujur aku senang, banget malah. Tapi entah kenapa perasaanku malah jadi gak enak dan berakhir dengan nangis kemarin. Maafin aku, Ay,” sesal Laura menundukan pandangannya.

Married With Ex-BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang