Bab 46

539 28 0
                                    

Happy Reading!!!

***

“Papi mau ‘kan ikut Ela sama Kai? Kita mulai hidup baru,” mohon Laura pada sang papi yang sejak bangun dari tidur pagi tadi belum juga mengeluarkan suara, bahkan bergerak saja tidak.

Leo benar-benar tidak lagi menyembunyikan keadaannya yang memang menyedihkan. Leo sudah tidak sanggup dan membiarkan semua orang melihat sisi rapuhnya, dan itu membuat semua orang bersedih. Bahkan Rapa yang biasanya selalu datang untuk mencari masalah sekarang menatap prihatin mertuanya itu.

Sedih? Jangan di tanya. Terpukul? Tentu saja. Dan Rapa merutuki dirinya yang tidak bisa membuat Leo benar-benar merasa bahagia, padahal selama ini Rapa rela di maki-maki mertuanya itu, di siksa Leo membersihkan kolam renang, bahkan rela di jahili dan di tindas. Semua yang Leo lakukan kepadanya Rapa terima dengan lapang dada, demi untuk membuat mertuanya itu teralihkan dari sedih yang dirasakannya.

Rapa sadar dirinya menyebalkan, tapi alasan mengapa Leo yang selalu mendapat bagian paling banyak adalah agar pria itu kesal dan marah, Rapa ingin Leo terus mengumpat, memakinya dan mengomelinya, karena Rapa ingin tidak ada yang pria itu pendam. Rapa ingin beban yang selama ini Leo simpan di keluarkan lewat kekesalannya yang selalu Rapa timbulkan. Tapi ternyata semua itu tidak cukup. Kesedihan Leo terlalu dalam. Dan sekarang untuk pertama kalinya Rapa melihat pria yang begitu menyebalkan bagi hidupnya itu tidak berdaya seperti sekarang ini.

Tatapannya kosong, mulutnya yang selalu melontarkan cibiran dan gerutuan penuh kekesalan itu bungkam, matanya yang selalu menyorot jahil tidak lagi nampak dan senyum penuh muslihat yang biasa tersungging setiap kali melihatnya kini tidak lebih hanya gurat lurus. Tidak ada semangat, tidak ada gairah, dan tidak ada juga rona apa pun. Leo sudah lebih mirip dengan mayat, meskipun napasnya masih bergerak dengan teratur.

“Papi mau pergi sama Mami, La. Kasian Mami kamu gak ada yang nemenin, Mami pasti kedinginan di luar sana.”

Laura membuang napasnya palan mendengar kalimat papinya yang sarat akan keputusasaan. Laura tidak tahu apa yang membuat pria kesayangannya itu jadi seperti ini, hilang kendali dan kewarasan.

Selama ini Laura merasa bahwa Leo baik-baik saja, tidak pernah melantur seperti ini, apalagi membawa-bawa nama sang mami.

Leo terlihat normal meski kesedihan selalu membayang. Tapi sekarang … Leo seakan kehilangan jiwanya, lupa pada kenyataan sang istri yang telah berpulang dan lupa pada tekadnya untuk mencari kesembuhan.

Jika pada akhirnya malah membuat papinya semakin kehilangan akal sehat, lalu untuk apa pria tua itu terus datang berkunjung memeriksakan keadaannya pada seorang psikiater? Untuk apa papinya itu berkonsultasi dan melakukan berbagai macam terapi jika keadaannya malah semakin memburuk?

“Papi tahu Mami ada di mana?” tanya Laura berusaha selembut mungkin. Sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di kamar Leo, menemani pria paruh baya itu. Sementara Kai pergi bekerja begitu pun dengan Rapa dan Pandu. Lyra memasak di dapur dan Queen menjemput anak-anaknya di sekolah.

Laura memutuskan untuk langsung berhenti dari pekerjaannya, padahal seharusnya cutilah yang Laura lakukan, itu pun satu minggu lagi. Tapi beruntung yang memiliki rumah sakit tempatnya bekerja teman baik dari orang tuanya, dan Amel serta Dimas mau memahami alasan Laura yang memilih mengundurkan diri dengan mendadak seperti itu.

“Mami selalu nunggu Papi, La. Mami mau Papi ikut dia,” ucapnya masih menatap lurus ke depan dengan sorot kosong dan kesepian.

“Iya, Ela percaya. Tapi Papi harus tahu, bahwa bukan sekarang waktunya Papi ikut Mami,”

“Ta—”

“Papi sayang sama mami ‘kan?” Laura memotong kalimat sang Papi, dan itu berhasil mengalihkan pandangan Leo. “Mami juga sayang sama Papi. Mami pergi bukan karena meninggalkan Papi, tapi Tuhan lebih menyayangi Mami. Tuhan gak mau Mami terus kesakitan, Tuhan juga gak mau Papi terus bersedih karena menyaksikan Mami yang sakit-sakitan. Sekarang Mami sudah bahagia, berada di tempat yang seharusnya tanpa berniat meninggalkan dan melupakan Papi. Mami sedih melihat Papi seperti ini, jiwanya tidak tenang, dan kepergiannya terasa berat. Papi gak mau ikhlasin Mami pergi?”

Married With Ex-BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang