Hari ini adalah hari ketujuh, atau sudah seminggu lamanya kami magang di toko ciput. Susah senang kami lalui bersama disini dan sekarang kami bertiga lagi istirahat. Habisnya, kami kewalahan melayani pembeli yang ribetnya minta ampun. Mana kering banget lagi tenggorokan, butuh minum es sekarang juga. Tapi bentar lagi mau buka puasa, harus sabar.
"Aduh capek banget, haus juga, ih!" Siti mengambil alih kipas yang barusan gue ambil di kost. Nggak terima, gue langsung rebut kembali kipas Barbie kesayangan gue.
"Lo punya duit 'kan? Ya udah sana beli!" Si Siti memasang wajah masam, emang kadarnya mukanya itu dari dulu udah masam ngalahin lemon.
"Ih Bagas ngeselin, deh, pinjam bentar doang, pelit banget!" gerutunya, sambil menarik bantal dari Jamal. Yang gue lihat kepala Jamal terhentak ke lantai, ih, pasti benjol tuh nanti. Ngilu gue liatnya.
"SITI! LO INI MAU NGAJAK GELUD?!" Nah ini, nih, gue suka orang yang ngegas. Ayo Jamal tunjukkan kejantanan lo ke Siti.
"Yah, maaf sengaja enggak."
"Nggak usah dibalik-balik tuh kata-kata! Dasar burit!"
Gue tertawa terpingkal-pingkal, habisnya Jamal sama gue itu asli orang Kalimantan. Jadi, buat kalian yang nggak ngerti arti burit, ekhem artinya itu pantat. Ya nggak salah, sih, si Siti punya burit gede.
"Ya maaf, Siti nggak sengaja."
"Yi miif sici nggi singiji." Cukup sudah, gue nggak kuat nahan bengek. Lihat saja, gue tertawa puas sampai-sampai ini perut terasa kram.
"Kalian bertiga kalau mau pulang, pulang aja. Katanya mau pergi ke mall buat belanja bukan?" Bu Puput menghentikan tawa gue. Iya, yah, kok bisa-bisanya gue lupa, gini, nih, kalau nimbrung sama kedua bocah ini.
"Oh iya, ayo Gas kita pulang siap-siap! Jamal nggak usah dibawa!" Gue mencium bau-bau aroma api membara di sekitar sini. Karena tau yang terjadi selanjutnya, gue bergegas pergi ke depan toko. Tak lupa membawa balik kipas tadi.
"MUSNAHKAN YANG NAMANYA SITI!"
Gue niatnya mau lari terbirit-birit ingin pulang ke kost-an kami. tapi ada satu bocah ingusan asal-asalan menarik-narik ujung baju kaos gue. Heh, Dek, ini kaos mudah robek!
"Bang mau beli susu milo, bukain, dong!"
Mau tidak mau gue membukakan pintu freezer, lagian tinggi tuh ke atas bukan kesamping. Ingin rasanya berkata demikian.
Setelah dibuka, suhu dalam freezer mendinginkan wajah ketampanan ini. Gue tergoda dengan minuman didalamnya yang pasti bisa menghancurkan dahaga. Ah, tahan Bagas, tahan, nggak boleh tergoda. Gue geleng-geleng kepala menepis niat buruk.
"Abang kok geleng-geleng kepala? Sakit, ya? Kalau sakit kata mama guncang aja kepalanya." Gue cuma menanggapi perkataan ini bocah dengan senyuman, beruntung banget ya dia dapat melihat senyuman gue yang manisnya tiada obat.
Sruuupp ...
'Glek!
Apalah daya, gue hanya bisa meneguk liur dalam-dalam. Bayangkan saja kalian menahan rasa haus waktu puasa, terus didepan kalian ada orang yang secara terang-terangan minum di depan kita. Gimana, tuh, rasanya? Pengen banget nampol mukanya bukan?
"Sruuupp .... Ah, mantap, Bang. Mau?"
Anak bangsat!
Gue menjongkokkan diri sambil meremas ujung rambut bocil perempuan ini. "Dek, jangan kayak anak titisan Dajjal oke? Ya udah bayar sana, abang kesel liat muka adek." Sebisa mungkin gue tetap tersenyum. Lihat, baik sekali gue, kan? Cocok banget jadi cowok impian para cewek.
"Gas, ayok pulang!" Teriakan Jamal mengharuskan gue langsung berlari meninggalkan bocil meresahkan. Liat aja mukanya, gue tandai, biar dia malu nanti kalau udah dewasa.
Sesampainya di kost, gue ambil spons buat cuci piring kotor. Gini amat punya teman pemalas tingkat dewa, bukannya bantuin ini malah main taruh aja cangkir kotor di hadapan gue. Gini, sih, kesannya kayak pembantu dua anak iblis.
"Dasar Jamal biadab!" ucap gue makin kesal. Jamal ya Jamal, dia malah menyengir kuda. Nggak tau apa itu gigi kuning.
"Yeee ... Semoga pahalanya makin bertambah." Jamal menepuk-nepuk pundak gue seakan-akan gue ini lagi menangis. Benar-benar, dah, cocok banget dia sama Siti. Jodohin aja sudah, ntar gue ajukan ke orang tua mereka.
Sebelum gue mau bicara, Jamal main masuk aja kedalam kamar.
"Pucek naaa ... Pucek!" Jari tengah terangkat, sebagai bukti bahwa gue itu sudah jengah akan kelakuannya.
"Gas lagi ngapain?" Gue terkaget-kaget, si Siti tiba-tiba aja ada di belakang.
Sebelum menjawab, gue melanjutkan kembali acara cuci-mencuci piring. "Lagi berusaha membersihkan sisa mulut busuk lo." Dari ekor mata, gue bisa menangkap bahwa Siti sedang cemberut.
Ah bodo, nggak peduli.
"Cepetan cucinya Gas, bentar lagi jam lima sore nih. Ntar telat masaknya lagi, kan ngeri kalau kita buka puasa nggak makan cuma minum doang." Si Siti sudah berhasil membuat kesabaran gue makin menipis. Oke Ti, benar apa kata Jamal, lo itu sudah resmi buat dimusnahkan.
"Kalau mau cepat bantuin Siti Markonah!"
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
JugendliteraturStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️