🍁Bab 32🍁

22 7 0
                                    

"Apa-apaan ini?" Ray bangkit dari kursinya, nampak jelas ia merasa kesal. Ini semua gara-gara dua kecebong yang tiba-tiba datang, menghancurkan momen. Ya, siapa lagi kalau bukan Jamal sama partnernya.

Gue melepaskan tangan dari mulut Jamal, tak peduli sama kondisi dia yang mangap-mangap kekurangan oksigen. Gue melayangkan tatapan berapi ke arah Siti. Bukannya tunduk, dia malah melotot balik. Dari bawah, gue mengacungkan jari tengah untuk dia. Fakyu.

"Gini Ray biar gue jelasin, sebelum itu duduk dulu," pinta gue, disertai senyum penuh tertekan. Beruntung, Ray mau juga duduk. Gue pun turut duduk, sebelum itu, gue menatap Jamal maupun Siti bergantian. Memberi kode, agar mereka pergi saja. Kerjaannya disini cuma memperkeruh suasana.

"Ayo Mal, biarkan Bagas sama pacarnya berduaan."

Bola mata gue melebar total, tatkala Siti menyemburkan kalimat yang membuat gue darah tinggi. Dia pikir gue gay apa? Ingin sekali gue menarik bibirnya, tapi itu tidak mungkin dilakukan sekarang. Mengingat ada Ray disini. Bukannya membantah ucapan Siti, Jamal malah mengompori.

"Cie pacaran ... batang versus batang." Jamal mendekatkan jari telunjuk kanan sama jari telunjuk kirinya. Gue makin geram sama mereka yang terkikik mentertawakan gue.

"Pergi kalian! Ngomong sembarangan, gue lem juga tuh mulut!" Habis berkata demikian, dua kecebong berangsur pergi juga. Dari belakang, punggung mereka terlihat bergetar. Rupanya, mereka suka sekali mentertawakan gue.

Kembali lagi ke masa sekarang, gue mendapati Ray yang mana mimik wajahnya tercetak dingin. Gue meneguk saliva bersusah payah, habisnya, gue berasa lagi di sidang studio.

"Ekhem, nggak usah dipikirin omongan mereka berdua tadi. Mereka memang kayak gitu orangnya, ngomong suka ngaco."

"Kenapa mereka mengenalku? Padahal aku baru bertemu mereka. Dan tadi juga, temanmu yang cewek bilang fotomu. Bisa kamu jelaskan?!" Dari intonasi suaranya yang terbilang ketus, makin mengolah gue ketar-ketir di tempat. Mengerikan.

"Tenang Bruh, kalem. Lo punya instagram 'kan?" tanya gue memulai pembelaan. Ray mengangkat salah satu alisnya, cepat-cepat gue menyambungkan kalimat.

"Pasti punya, iya 'kan? Nggak mungkinlah nggak punya, dilihat-lihat dari muka. Lo ini seperti selebgram, banyak followers. Kenapa gue bilang begitu? Kemarin gue nggak sengaja liat postingan foto lo di Instagram, terus gue kasih tau ke mereka berdua kalau gue kenal sama lo, begitu bro. Nah sekarang sudah jelas 'kan?" jelas gue, diakhiri akan pertanyaan. Ingin rasanya gue kabur dari kenyataan. Lancar banget gue boongnya, moga-moga aja dia percaya.

"Satu kata buatmu," ucapnya datar, tanpa senyuman. Ini nih, ini, yang bikin menambah gue panas dingin.

"Apa?"

"Ngaco." Setelah berucap demikian, Ray mengubah posisi jadi berdiri. Dia pergi meninggalkan gue sendirian tanpa permisi. Sebelum dia benar-benar pergi, secepat mungkin gue mengejarnya. Lalu menahan pintu, supaya dia tidak bisa keluar.

"Minggir!"

"Nggak! Please dong, katanya kita sudah jadi temenan, kok gini sih?"

"Aku bilang minggir dengar nggak sih? Apa kamu budeg? Perlu di bawa ke dokter buat diperiksa telinganya?"

"Ya perlu, lo yang temenin gue kesana tapi," balas gue tak kalah ketus. Dia pikir dia doang yang bisa ngegas, gue juga kali.

Ray menghembuskan nafas berat, dia berusaha menyingkirkan tubuh gue yang menghalangi jalannya untuk keluar. Namun, dengan tenaga tinggi, Ray tidak bisa menyingkirkannya.

"Mau sekuat apapun, tenaga lo itu kalah banding sama gue," ucap gue berbangga diri. Dilihat dari postur tubuhnya sama gue aja udah jelas siapa yang lebih kuat.  

Kalian tau ikan buntal? Nah, kira-kira seperti itulah Ray. Badan berisi, sudah itu pendek lagi kayak toples.

'Krit!

Ray menerobos badan gue, dia bisa keluar akibat bantuan dari orang yang mau keluar juga. Gue baru sadar ketika badan gue di senggol olehnya. Ini akibat dari membanggakan diri, sampai melamun.

Sebelum dia benar-benar pergi dari caffe, gue bergerak cepat mencari keberadaanya. Dia ingin mengendarai motornya, namun dengan cekatan gue mencegatnya.

"Tunggu dong! Gue belum selesai ngomongnya, lo asal main pergi gitu aja!" Gue merentangkan kedua tangan. Berdiri di hadapan motornya yang sudah menyala.

"Apa lagi sih?!"

Gue mendekati dia, dan melepaskan helm-nya. Hingga dia melotot tajam. "Bajingan! Kembalikan!"

"Nggak, sebelum lo itu mau jadi teman gue. Titik nggak pakai koma!" kata gue tegas, bersungguh-sungguh.

"Banyak orang lain yang bisa diajak jadi teman gilamu, dan orang itu bukan aku. Buat apa aku berteman dengan orang aneh sepertimu?!"

Gue terdiam sesaat, kata-kata pedasnya betul-betul menusuk hati. Omongannya barusan, jadi membuat gue teringat masa lalu. Masa-masa SD.

Dulu waktu kelas 1 SD, gue adalah anak yang cengeng. Banyak teman-teman sekelas yang ilfeel sama gue, dan nggak mau jadi teman gue. Oleh sebab itu, gue jadi dikucilkan. Ke mana-mana juga sendirian, bahkan kerja kelompok pun tidak ada satupun yang mau mengajak gue bergabung. Untuk menguatkan mental, gue ngomong sama diri sendiri untuk lebih kuat. Tapi mereka malah mentertawakan gue, sambil tunjuk-tunjuk.

"Lihat, anak aneh hahahaha ...!"

"Iya aneh ih ngomong sendiri, jangan ada yang mau jadi teman dia hahahaha ..!"

"Hahahahah dasar aneh, aneh, aneh, aneh uuu ... !"

"Huuu ... anak gila!"

Tiba-tiba saja gue merasakan ada air yang jatuh mengenai pipi. Cepat-cepat gue geleng-geleng kepala, menepis ingatan buruk itu. Sudah lama ingin menghapus bullyan itu, tapi tidak bisa.

Gue menghapus kasar air mata tadi, lalu menatap Ray yang memandangi gue dengan ekspresi yang tidak bisa lagi gue tebak. Gue menaruh helm-nya ke kaca spion motornya, lalu pergi tanpa berkata-kata lagi.

Sungguh sakit rasanya.

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang