🍁Bab 48🍁

12 8 0
                                    

Sebenarnya gue disuruh dokter untuk diam di rumah sakit dulu sampai kondisi gue lebih membaik, tapi gue bersikeras mau pulang saja dengan alasan bisa istirahat di kost lebih leluasa. Padahal alasan utamanya, gue trauma bermalam di rumah sakit, takutnya ada hantu yang mengerjai gue lagi seperti di rumah sakit Ray di rawat dulu.

"Eh itu ada ibunya Bagas, TANTE KINAN!" Siti berteriak nyaring, gue melihat ada sosok perempuan yang lagi duduk di kursi teras kost kami. Siapa lagi kalau bukan nyokap gue, dari jauh aja sudah kelihatan jelas siapa yang disana.

Siti berlari meninggalkan kami berdua yang lagi saling bertukar pandang, Jamal menganggukkan kepalanya kecil, memberikan tanda bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi tidak bagi gue, tidak mungkin nyokap kesini tanpa adu mulut sama gue. Gue lihat nyokap memberikan senyuman ke arah Siti, mereka saling berpelukan sebentar, nampak ibu dan anak yang lagi melepas rindu. Melihatnya rada-rada malas.

"Kebetulan ada nyokap lo disini, kasih tau sekalian tentang penyakit lo." Sekejap gue melirik ke arah Jamal yang begitu meyakinkan gue agar tidak ada rahasia-rahasian.

Gue maupun Jamal mendekati nyokap sama Siti, lagi pada melempar senyum simpul. Senyuman nyokap dalam hitungan detik memudar seketika saat melihat gue. Bahkan gue juga tidak sama sekali mengembangkan senyum. "Mama mau ngapain kesini? Mau tanya soal papa?" tanya gue langsung ke inti.

"Siti kok bingung sama Bagas, biasanya manggilnya ayah, sekarang malah manggilnya papa. Jadi yang benar yang mana, ayah atau papa?" Pertanyaan unfaedah Siti mengharuskan Jamal membekap mulut ember Siti. Jamal menarik tangan Siti, membawanya masuk ke dalam. Hingga kini tinggalah gue sama nyokap berdua.

"Ya, apa kamu mengadu sama ayah tentang mama yang ada disini?"

"Tidak," jawab gue singkat.

"Jangan bohong, ayah kamu tadi nelpon mama, katanya mau kesini. Itu sudah jelas membuktikan kalau kamu yang mengasih tau ke ayah, karena tidak mungkin Joni kasih tau, jelas-jelas mama pergi tanpa sepengetahuan dia!"

"Aku bilang tidak ya tidak, papa tau mama ada disini dari teman mama!" Lantaran capek sudah malah dihadapkan dengan adu debat membuat emosi gue meluap. Tak peduli gue dikatain anak durhaka sekarang karena berani membentak orang tua. Lagipula nyokap duluan yang cari masalah, suka menuduh anak sendiri, mana pakai acara bentak-bentak lagi. Nggak bisa apa bicaranya santai?

"Sudah cukup! Biarkan saja ayah kamu kesini, biar lebih cepat cerainya. Ayah kamu itu juga sudah bosenin, tidak peduli lagi sama mama. Buat apalagi dipertahankan rumah tangga ini? Biar lebih cepat, kamu milih tinggal sama mama atau ayah?"

Gue akui ini pertanyaan sulit. Jujur, gue sangat sayang sama kedua orang tua gue. Disuruh memilih antara dua membuat gue bingung, mereka sama-sama orang yang paling gue cintai di dunia ini, gue nggak mau kehilangan satu dari mereka.

"Jawab Bagas, kamu mau pilih tinggal sama mama atau ayah?!" Gue memandang nyokap yang nampak sangat serius.

"Kalau perceraian ujungnya, ngapain nikah Ma? Mending aku sama Joni nggak usah dilahirkan kedunia ini daripada harus menghadapi pertengkaran orang tuanya yang berujung perceraian. Pertanyaan mama barusan sulit untuk dijawab, karena apa? Karena aku sayang sama mama dan papa, aku nggak mau kalian pisah begitu juga dengan Joni. Kami maunya keluarga kita kembali harmonis seperti dulu, tidak bisakkah menyelesaikan masalah secara kekeluargaan? Sikap mama seperti ini layaknya bocah!" ucap gue terang-terangan, berharap nyokap bisa berfikir jernih bahwa perceraian bukanlah hal yang baik untuk menyelesaikan permasalahan.

"Dan kalian berdua bisa bicara empat mata, bicaranya dari hati ke hati. Aku yakin kalau kalian saling berfikir jernih dengan kepala dingin, keluarga kita akan kembali harmonis," sambung gue, dimana kedua mata nyokap terlihat berkaca-kaca.

"Maaf Bagas, tapi ini sudah keputusan bulat dari mama, ingin bercerai dari ayah kamu. Tolong pahami perasaan mama, please."

"Mama selalu minta aku untuk terus memahami perasaan mama, tapi sedikitpun mama tidak pernah memahami perasaan aku!" Air mata meluruh begitu saja, membasahi kedua pipi gue. Terbayang keceriaan kami sekeluarga dulu yang tidak bisa ditebak akan berakhir seperti ini.

Sedikit lagi tangan nyokap menyentuh pipi gue, dengan cepat gue menghindari. Terlihat nyokap mulai menangis, kian mengolah hati gue terasa teriris pisau.

"Maafin mama Bagas."

Gue geleng-geleng kepala menanggapi. "Mending mama pergi sekarang, aku mau istirahat!" Tanpa bicara lagi, gue langsung masuk ke dalam kost dan mengunci pintu dari dalam. Tak membiarkan nyokap menyusul. Gue menghapus kasar air mata, lalu memilih untuk pergi ke kamar. Menenangkan suasana hati gue yang terbilang terpuruk.

Gue berdiri di hadapan kaca memanjang yang melekat di lemari. Terlihat jelas muka gue sangat pucat, bagaikan tidak ada darah di dalam diri. Rambut gue juga amburadul, layaknya di acak-acak beribu kali. Gue duduk di tepi kasur, berusaha menghilangkan perkara tadi.

Alhasil gue jadi kepikiran di rumah sakit tadi, kenapa bisa ada Ray disana? Apa sebuah kebetulan atau ada yang menyuruh dia kesana? Gue mengambil HP, dan mengecek Whatsapp, membuka chat dengan nama Ray. Kosong melontong. Karena gue belum pernah mengirimkan dia pesan. Apa gue chat dia kali ya?

Ray

Online

Melihat ada tulisan online di bawah nama Ray, nyali gue buat mengirimkan pesan ke dia jadi menciut. Takutnya nanti chat gue cuma di read, parahnya lagi tidak di read sama sekali, dibiarkan chat gue begitu saja sampai berdebu. Ah bodo amat, gue mulai mengetikkan sesuatu.

Anda

P

Sudah lima menit gue menunggu namun tidak ada balasan juga, cuma di read doang. Sudah gue duga bakal di cuekin, lagian sudah tau nggak bakal dibalas malah kirim chat ke dia. Ya gini nih definisi goblok. Saat gue mau mematikan daya HP buat di ces, Ray membalas pesan gue tadi.

Ray

Ada apa?

Anda

Besok ketemuan di taman jam 9 pagi.

Gue kira Ray bakal balas pesan gue pakai tanda tanya doang, tau-taunya enggak. Gue tersenyum sumringah.

Ray

Ngapain?

Anda

Ada yang mau gue bicarakan.

Ray

Oh.

Anda

Mau ya?

Ray

Oke.

Anda

Sip, gue tunggu, jangan sampai tidak datang. Karena ini penting, enaknya dibicarakan langsung daripada lewat chat begini.

(Read)

Melihat dua ceklis berwarna biru di pesan yang barusan gue kirim, gue tetap tersenyum. "Anjir di read."

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang