🍁3🍁

148 25 4
                                    

Saat ini kami bertiga lagi ada di Mall, ya biasalah mau belanja buat buka puasa. Di sini gue dari tadi selalu ketawa-ketiwi karena ulah Jamal sama Siti. Untung banget muka gue ini tampan paripurna, jadi nggak ada malu, malahan kalau gue lagi ketawa damage-nya makin nambah. Asal tau, kami bertiga lagi berhadapan sama beberapa manequin di sini. Lucu saja, sih, gaya-gayanya itu lho, bikin gue makin tertawa keras aja.

"Eneng cantik mau nggak nganu sama akang Bagas?" tanya gue ke salah satu manequin yang memakai jilbab. Makin buat gue tergoda mau jadi imam sholat buat dia.

"Jangan mau Neng, punya Bagas bau." Dengan senang hati gue menampol Jamal yang seenaknya ngatain benda pustaka gue bau. Sembarangan ngomong!

"Bilang aja lo iri, kan, karena punya gue lebih besar daripada lo. Secara kasarnya, punya lo kecil kayak biji salak." Sekali omongan pedas, kelar deh si Jamal. Buktinya dia langsung kicep, emang sih gue itu orangnya nggak suka berbohong. Bukannya bulan puasa itu tidak boleh bohong iya, kan? Nah, jadi jujur saja sesuai kenyataan.

"Kok pada membahas burung kalian, sih? Nggak kasian apa sama Siti, Siti nggak punya burung. Cuma ada burung Bapak." Sialan si Siti, sudah tau itu suara kayak tukang bakso borax masih aja bicaranya nyaring banget. Tuh, kan orang-orang pada noleh ke kami, duh malunya.

"Ti, mending lo itu di refresh dulu otaknya atau disikat sampai kinclong," saran gue yang ditanggapinya dengan muka konyol. Emang ngeselin jadi cewek.

"Iya, gini, nih, Gas, dasar burit! Sudah, ah, Gas, mending beli detergen, baru pulang." Perkataan Jamal benar, gue hampir lupa mau beli detergen. Habisnya di kost-an udah habis bekas Siti main sabun. Biasalah itu anak meresahkan, kadang heran juga kok bisa-bisanya dia hidup di bumi.

Tanpa mempedulikan Siti yang cemberut, kami berdua langsung berjalan ke tempat tata letak detergen. Sesampainya di tempat, gue sama Jamal berpencar mencari detergen yang lagi promo. Lumayan ngirit uang waktu merantau begini.

"Gas, nggak sekalian nih beli sabun buat coli?"

Astagfirullah Jamal istighfar!

"Coli itu apa kak?"

Skakmat! Gue pura-pura nggak dengar pertanyaan bocah laki-laki yang lagi makan ice cream ini. Nggak tau kapan nih bocah tau-taunya ada disini, mana sendirian lagi.

Gue melirik Jamal yang meminta bantuan. Ah, tau, ah, tanggung sendiri, siapa suruh ngomong kata-kata rahasia itu di tempat umum seperti ini.

"Owh jadi gini, coli itu artinya choki-choki. Nanti kalau kamu udah besar pasti ketagihan."

Emang benar-benar dah si Jamaludin, hampir saja bikin tawa gue meledak sekarang juga. Kok bisa-bisanya, ya, kepikiran kalau coli itu artinya choki-choki. Kalau nanti, nih, bocah minta coli ke orang tuanya gimana? Gue nggak bisa bayangin ekspresi mak-nya.

"Sayang, kamu kenapa bisa ada disini? Mama itu dari tadi nyariin kamu kesana-kemari!" Mbak yang berbody seksi menatap gue dengan tatapan mematikan. Fiks, pasti nyalahin gue.

"Kamu, ya, yang nyulik anak saya?! Cepat bilang!"

Cobaan apalagi ini miskah?! Gue cuma diem dari tadi juga. Siapa juga yang tertarik mau nyulik bocah ingusan ini? Mending buat sendiri lebih mantap.

"Ya ampun Mbak, saya itu nggak ngelakuin apa-apa! Jangan asal tuduh, anak Mbak ini yang mendatangi kami! Lagian siapa juga yang mau nyulik, nih, bocah?! Nggak guna!" jawab gue ngegas juga. Rasa takut tidak ada di dalam diri, lagian nggak tau faktanya gimana main asal tuduh aja.

"Benar apa kata teman saya Mbak, anak Mbak ini yang datang kesini sendirian. Seharusnya Mbak sebagai ibunya harus lebih perhatikan anaknya, jangan cuma bisa memperhatikan diri sendiri." Entah kesambet apa si Jamal sampai bisa ngomong bijak seperti itu. Tapi gue bersyukur Jamal terkadang memiliki kewarasan walaupun nantinya bakal kembali lagi ke sifat asli Jamal sebenarnya.

"Iya maaf. Sayang ayo kita pulang." Mbak berbaju kekurangan bahan ini menarik lengan anaknya. Tapi bocah yang nggak gue mau tau namanya ini malah merengek.

"Jangan pulang! Randi mau beli coli"

Diam, sudah diam aja. Anggap angin lalu, iya angin lalu.

"Choki-choki maksudnya?"

"Iya, Randi mau beli choki-choki baru pulang."

Fyuh! Gue membuang nafas lega setelah kepergian kedua orang tadi. Hebat juga si mbak nggak menanggapi ucapan anaknya, ini, nih, ciri-ciri ibu nggak patut di contoh. Bukannya ditanyain juga darimana tau kata coli itu, eh, ini malah dibiarin begitu saja. Tapi ada untungnya juga, sih, dia nggak nanya, jadi gue nggak ikut bermasalah.

Gue lihat Jamal menyengir ke mana mbak-mbak sama anaknya tadi yang lagi menaiki eskalator.

"Kenapa nggak sekalian aja, ya, kasih tau tuh bocah arti Grepe tadi, iya, kan Gas?" Pertanyaan unfaedah Jamal gue tanggapi dengan merolling eyes. Sebetulnya gue itu mau taubat, tapi lihat saja kelakuan teman biadab kayak Jamal nih contohnya, kurang lebih kayak titisan titan.

"AWAS BOM!"

"MANA BOM MANA?!"

"ASTAGHFIRULLAH YA ALLAH!"

"BWAHAHAHAHAHA ...! Ekspresi kalian lucu banget BWAHAHAHAHA  ...!"

Seusai terkejut setengah mati, gue maupun Jamal menoleh ke bawah dan menemui sabun cuci baju merek BOM yang diletakkan Siti pastinya.

Buka cuma gue yang mengepal tangan kuat-kuat, Jamal juga nggak ada duanya sama gue Habis sudah kesabaran gue.

"SITI MARKONAH!"

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang