Setelah memarkirkan motor ke garasi, aku masuk ke rumah, ingin segera menaruh bokong ke atas kasur yang empuk. Buru-buru aku berjalan, sampai sesekali berlari kecil. Salah juga dulu memilih kamar di lantai dua, mau pindah ke lantai satu rasanya nggak mungkin. Hal utamanya karena males memindahkan barang-barang, sebenarnya bisa saja minta bantuan pak Kasim sama bi Rumi. Tapi rada nggak enak juga, mereka pasti lelah sama pekerjaannya. Jika ku suruh, malah membuat mereka makin kelelahan. Kan kasian. Mau nyuruh orang lain juga takut, siapa tau orang itu orang yang tidak baik-baik. Sedangkan kita tidak kenal sama mereka. Penyebab kedua, aku sudah terlanjur sayang sama itu kamar.
"Iya, kamu tidurnya yang nyenyak ya."
Saat ingin menaiki tangga, kupingku menangkap suara papa dari dalam kamarnya. Aku bisa mendengarnya dengan jelas, sebab tangga berada tepat disamping kamar papa. Niat ingin bergelayut manja di kamar harus di pause. Apalagi selain penasaran, aku pun lebih memilih menguping, caranya dengan menempelkan telinga ke daun pintu.
Sama siapa papa telponan? Apa mungkin papa punya wanita baru? Kalau iya, kenapa malah disembunyikan? Berbagai pertanyaan terlintas di otak, dan pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh papa seorang. Takutnya, papa benar-benar punya pasangan. Itu berarti, aku akan punya mama baru.
Tidak!
Aku tidak mau punya mama tiri, tidak akan kubiarkan papa menikah lagi. Mama kandungku saja tidak mau menerimaku, apalagi mama tiri. Lagian juga aku tidak butuh kasih sayang seorang ibu, aku sudah terbiasa hidup tanpa kasih sayang itu. Cukup sudah punya papa.
'Cklek!
"Ray? Ke-kenapa kamu ada disini?"
Akibat pergerakan pintu yang mendadak, hampir saja membuatku oleng di tempat. Beruntung, bisa menahannya. Ku lihat ekspresi wajah papa nampak gugup, tak seperti biasa. Hal itu makin mengolah kecurigaan makin besar.
"Papa tadi telponan sama siapa?" Tak mau berbasa-basi, langsung saja ku tanyakan the to point. Daripada menyakiti kepala, tidak bertanya sama sekali.
"I-tu ..."
Papa lebih gusar ketimbang tadi, sampai ku jumpai ada beberapa tetesan keringat yang mengalir di dahi. Padahal cuaca malam ini cukup dingin. "Itu apa? Papa mau kawin lagi?" Pertanyaanku yang terbilang menyengat itu sukses membuat papa tak bisa berkata-kata. Sikapnya yang sekarang ini sudah jelas mengatakan bahwa dugaan ku benar. Bahwa papa punya pasangan.
"Kamu ini ngomong apasih Ray?"
Papa tertawa, entah apa yang lucu dari pertanyaan ku tadi. Melihat tak ada reaksi sedikitpun dariku, papa memberhentikan tawanya. Kali ini dia lebih rileks ketimbang tadi. Tapi siapa tau, itu hanya gimik semata. Buat mengelabui ku.
"Kamu itu pasti pikirannya mengarah ke hal yang tidak-tidak. Berfikir kalau papa punya pasangan, padahal kenyataannya tadi itu papa sedang telponan dengan anak teman papa. Itu lho si Om Davin, besok kami mau ketemuan. Anaknya pengen ketemu sama papa, sudah lama sekali nggak ketemuan. Rindu juga papa sama si Kayla, anak segemoy itu memang benar-benar ngangenin." Papa tersenyum lebar. Dilihat-lihat seperti tidak ada yang disembunyikan. Bisa saja aku yang terlalu overthinking, jadi merasa bersalah, menduga yang tidak-tidak.
"Ouh kirain, aku mau ikut bes---"
"Jangan!"
Dahiku seketika mengernyit total, tidak seperti biasanya papa memotong pembicaraan ku.
"Ma-maksud papa, kamu masih belum benar-benar sehat dari kecelakaan. Jadi kamu perlu banyak istirahat, sebentar lagi 'kan mau turun kembali ke sekolah. Nggak usah ikut ya, nanti kapan-kapan papa bakal ajak kamu buat ketemuan sama Kayla. Untuk sementara, kamu diam aja di rumah, jaga kesehatan."
"Tapi aku sudah benar-benar sehat, papa bisa lihat sendiri," belaku, sambil mengangkat bahu pelan sekejap. Papa tersenyum, lalu memegang kedua bahuku dengan kedua tangannya. Dia menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan tubuhku.
"Papa benar-benar sayang sama kamu Ray, kamu adalah satu-satunya hal yang berharga di dalam hidup papa. Cukup sudah kehilangan mamamu, jangan kamu. Papa tidak ingin kamu sakit, itu bikin papa sedih. Benar-benar takut sekali kehilangan kamu, jadi papa mohon sebesar-besarnya harus nurut oke? Kamu istirahat total di rumah, jangan pergi ke mana-mana lagi untuk sementara ini. Setelah benar-benar sehat, kamu bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Papa yakin, kamu masih merasa pusing dan merasa tidak enak badan bukan?" Manik-manik papa mengatakan yang sesungguhnya. Dia menatap lurus ke dalam kedua pupil mataku, mengakibatkan pandangan cuma terpaku padanya. Tatapan papa yang bisa dikatakan sorotan dingin itu membuatku tidak bisa berkata-kata lagi.
Memang, sejujurnya aku masih merasa agak pusing dan lemas. Mau tidak mau aku tidak akan membantah, memaksanya agar aku ikut besok. "Hm, ya sudah aku akan istirahat saja." Terpencar senyum cerah di bibir papa. Seperti biasa, dari kecil sampai sekarang dia mengacak-acak rambutku sampai berantakan. Aku hanya bisa mengembangkan senyum kecil.
"Bagus, kamu memang anak yang penurut. Baiklah, sekarang pergi ke kamar dan tidur. Ini sudah lumayan larut malam." Ekor mata papa mengarah ke tangga. Aku mengangguk mengiyakan perintahnya. Sebelum benar-benar naik ke atas, aku kembali memutar badan ke belakang.
Papa masih menatapku, dia menaikkan salah satu alisnya. Seolah bertanya 'apa?
"Besok papa mau ketemuan di mana?"
"Oh itu, sekarang belum tahu. Tadi Om Davin mau sharelok lokasinya."
Aku hanya mangut-mangut saja, lalu kemudian melanjutkan langkah yang tertunda. Setelah mengucapkan selamat tidur, ku lihat dari atas papa pergi ke arah ruang kerjanya.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️