"Hm, biasalah kalau gue kecapean ya emang gini, bibir suka pucat." Gue mengembangkan senyum paksa, berusaha menutupi semuanya dari Ray. Nampak Ray tidak menampilkan senyum sedikitpun, malahan dia menatap gue begitu intens, seakan-akan mencurigai sesuatu. Sebelum dia bertanya lebih lanjut, secepat mungkin gue kembali buka suara.
"Kenapa lo liat-liat gue kek gitu, jangan-jangan lo naksir ya sama gue?" Pertanyaan barusan sukses membuat kedua bola mata Ray melebar total, seperti mau keluar dari tempatnya.
"Najis, aku masih normal, kalau pun di dunia ini tidak ada wanita aku juga tetap nggak mau sama cowok aneh sepertimu ini."
Gue menanggapinya dengan senyuman lebar. "Halah, nggak usah malu Ray, bilang aja kalau lo itu demen sama gue." Kedua alis saling naik-turun bersamaan, bermaksud menggodanya. Lantaran gue suka melihatnya kesal.
"Ck! Kau nyuruh aku kesini cuma mau membuatku marah?"
Gue menggelengkan kepala kecil, menjawab pertanyaannya tanpa suara. Terdengar Ray menghempaskan nafas panjang, mungkin lagi menahan sabar menghadapi gue. Bukannya takut, yang ada gue makin suka melihat ekspresi kesalnya itu.
"Terus, kau mau apa?"
Sebelum menjawab, gue mengalihkan pandang ke pancuran air yang berada tepat di hadapan kami berdua. "Gue mau nanya, kemarin lo jadi ada di rumah sakit karena ada yang menyuruh lo datang kesitu atau ada hal lain?" Kembali gue menatap Ray yang juga melabuhkan pandangnya ke gue.
"Tidak ada yang menyuruhku untuk kesana, kemarin aku mau ziarah ke makam mamaku, tapi dijalan tiba-tiba aja hujan deras. Kebetulan juga pas sekali jalan yang ku lewati itu ada rumah sakit yasudah aku neduh disana. Tanpa sengaja aku melihatmu hujan-hujanan sambil nangis-nangis."
Gue merasakan kedua pipi agak panas, kemungkinan besar pipi gue jadi memerah. Malu. "Jangan diungkit lagi soal itu."
"Kau yang mulai."
"Iya-iya gue salah! Btw, maaf kalau pertanyaan kali ini lancang, nyokap lo meninggal gara-gara apa?" tanya gue hati-hati, takut melukai perasaannya. Ray membuang nafas berat, lalu dia mengalihkan pandangannya ke depan, sama seperti yang gue lakukan sebelumnya.
"Dia meninggal karena serangan jantung."
Gue menatapnya iba, pasti sakit rasanya kehilangan orang yang paling kita sayang. Terlihat kedua mata Ray berlinang air mata, tetapi dia cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tangannya itu. "Maaf karena sudah bikin lo jadi sedih," ucap gue merasa bersalah.
"Nggak, kau tidak perlu minta maaf." Ray balik memandang gue.
"Sekarang aku yang mau nanya sama kamu, kenapa di rumah sakit kemarin kau kelihatan sedih sekali, apa yang terjadi?" sambungnya diakhiri akan pertanyaan yang mengolah gue terdiam sesaat.
"Tidak ada," jawab gue cepat, tentunya dibumbui kebohongan.
"Kalau tidak ada kenapa kamu sampai segitunya kemarin? Tolong Bagas, mulai sekarang terbuka sama aku, bukannya kamu yang bilang kalau kita sudah bukan orang asing lagi, iya 'kan?" tanyanya memastikan.
"Memang benar kita sudah jadi teman, tapi gue serius Ray gue itu tidak apa-apa. Kemarin gue terbawa suasana karena masalah pribadi gue," ucap gue dengan tampang serius, berusaha meyakinkan Ray bahwa ucapan gue memang benar adanya.
"Memangnya berat banget?"
"Banget," balas gue singkat, tapi serius.
"Kalau kamu tidak sudah sanggup lagi menahan beban itu yang entah masalahnya apa, kamu datang saja kepadaku, aku akan membantumu sebisa mungkin."
Tuturannya beberapa detik lalu berhasil membuat gue terharu. "Makasih, nanti pasti akan ada waktunya itu tiba."
"Bagas."
"Hm?"
"Coba liat aku."
Gue menuruti permintaannya, yang awalnya gue fokus melihat dua angsa lagi berenang di kolam air itu, langsung pindah ke manik-manik mata Ray, dengan alis terangkat sebelah. Seolah bertanya 'apa?
Ray menunjuk ke arah hidungnya sendiri, sontak saja hal itu membuat gue bingung. "Kenapa? Apa hidung lo sakit?"
"Hidungmu berdarah."
Refleks gue memegang hidung, dan benar saja di jari-jari tangan gue terdapat darah kental yang asalnya dari hidung. Gue menatap Ray yang kelihatan jelas gerik tubuhnya menandakan cemas campur khawatir.
"Tunggu sebentar disini, aku akan membeli tisu!"
Belum sempat gue membalasnya, Ray sudah berlari terburu-buru, menuju ke arah toko swalayan yang berada di sebrang taman. Gue mencoba menahan darah agar tidak keluar lagi dengan menggunakan telapak tangan, disaat seperti ini sakit kepala kembali datang menyerang. Sakit, sungguh sakit. Rasanya gue tidak mampu lagi. Kepala gue bagaikan ditusuk-tusuk beribu jarum tajam tiada henti. Gue meringis kesakitan, sampai air mata keluar saking pedihnya.
"Eh Dek, kamu kenapa?"
Gue menggelengkan kepala sambil menundukkan kepala ke bawah, menutupi hidung yang mengeluarkan darah ini. Perempuan asing di depan gue menjongkokan dirinya. "Yakin dek nggak kenapa-kenapa, ini kamu kayak kesakitan banget. Dimana rumahmu? Biar saya antar," ucapnya lembut, lagi dan lagi gue menggeleng. Menolak ajakannya itu.
"Dia kenapa?" Terdengar suara laki-laki yang bertanya juga, dimana dari bawah gue bisa melihat kedua kakinya.
"Nggak tau, dia ku tanya kenapa tapi cuma geleng kepala."
"Kepalamu pusing?" tanya laki-laki itu untuk kedua kalinya.
Kali ini gue mengangguk mengiyakan, rasa sakit di kepala makin menjadi-jadi, sampai gue tidak bisa menahannya lagi. "Argh sakit!" Gue memukul-mukul kepala, ingin secepatnya menyingkirkan sakit mematikan ini.
"Eh jangan pukul kepalamu, nanti makin sakit!" Tangan gue di tahan oleh laki-laki itu.
"Sakit!" Gue makin memberontak, tapi tenaganya lebih besar ketimbang gue saat ini.
"Ya ampun, hidungmu berdarah!" Perempuan itu menutup mulutnya dikala melihat ada darah yang keluar dari hidung.
"Cepat belikan tisu!"
"Tidak usah beli, ini aku sudah membelinya!" Ray sudah datang kembali dengan membawa tisu, dia ikut jongkok, lalu membantu menghapuskan darah di hidung gue.
Gue makin merasa sakit, sehingga tidak bisa di pendam lagi. "Sakit banget tolongin gue argh!" ricau gue meminta pertolongan.
"Kalian berdua, tolong bantu bawa dia ke rumah sakit sekarang!" titah Ray.
Tak lama kemudian pandangan gue mulai berubah jadi menghitam, dan saat itu juga gue sudah tidak bisa melihat apa-apa lagi.
Bersambung...
![](https://img.wattpad.com/cover/316035956-288-k357788.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Fiksi RemajaStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️