🍁11🍁

49 15 4
                                    

Gak kerasa, ya, hari ini, tuh, udah lebaran aja, perasaan baru kemarin mulai puasa. Dan sekarang gue, Siti, sama Jamal siap-siap pergi ke rumah Azam, mau silaturahmi, sehabis sholat Ied, sekalian juga liat babu barunya.

Huh, jadi keinget babu gue di Bogor. Kira-kira dia kangen nggak, ya, sama abangnya yang kece badai ini? Terakhir, waktu ditinggal pergi gue ke Jakarta. Tuh, babu gue, si Joni, di patuk ular di kaki. Entah gimana nasibnya sekarang, semoga aja dia meninggal. Eh, astagfirullah, maksudnya semoga dia baik-baik saja.

Ketika tepat berada di depan gang, masuk ke rumah Azam. Ini mata dengan lincahnya ngeliat cewek yang baru saja lewat, sambil bawa semangkok soto. Duh gusti, cantiknya nggak ketolongan, ditambah lagi pinggulnya lenggak-lenggok. Karena nggak mau buang-buang kesempatan, gue sedikit berlari kecil mengejar cewek bekerudung pertamina, alias pashmina itu. Mengabaikan panggilan lebay dari Siti sama pasangan gilanya.

"Hi cewek boleh kenalan nggak?"

" ... "

"Namanya siapa, ya?"

" ... "

Buset, nih, cewek, sok jual mahal. Masa iya cowok modelan pangeran kayak gue ini di acuhkan. Untung, tuh, muka cakep. Kayaknya ini cewek matanya perlu di kucek rinso dulu.

"Ekhem, ayah lo pengacara, ya?"

" ... "

"Ayah lo guru, ya?"

" ... "

"Ayah lo tukang sate, ya?"

" ... "

"Ayah lo ..."

"Hei! Gue yatim, kalau mau gelud bilang. Fakyu!" Jari tengah terangkat tepat di depan wajah gue. Kira-kira berjarak 5 centi saking dekatnya. Jarinya yang bau terasi itu menyeruak ke dalam lubang hidung. Sampai bulu-bulu hidung gue menari-nari. Gini amat nasib, padahal niat gue baik. Mau gombalin dia.

Cewek galak kayak kak Ros di film Upin Ipin itu meninju perut gue. Tanpa bersalah, dia pergi gitu aja. Mana pantatnya kayak buah semangka. Gede. Palingan itu di sumpelin popok. Dasar cewek berbibir besar. Gue, kan, nggak tau kalau ayahnya sudah jadi alumni dunia manusia.

Gue menoleh ke belakang, dimana si pasangan gila pada mentertawakan gue. Ciri-ciri minta ditendang bokongnya, apalagi, tuh, si Jamal, nggak tau apa gigi kuning gitu ketawanya lebar amat. Ini, nih, definisi, tetap tertawa meski gigi kuning.

***

"Assalamualaikum, Azam, main yuk!"

'Plak!

Tamparan maut dari Siti membuat gue mencibikkan bibir. Memainkan peran seperti di film Indosari, 'Suara hati istri'.  "Oh Siti, teganya kamu ... hiks ..."

"Lebay!"

Gue memutar kedua bola mata malas. Siti nggak asik, nggak bisa dibawa bercanda. Tanpa sengaja, hidung gue menghirup aroma mematikan. Refleks, langsung nyari bau busuk itu.

"Eh, kalian berdua nyium bau busuk nggak?" Jamal bertanya ke kami, sambil menutup hidung. Begitu juga dengan Siti.

Sama halnya dengan Siti, gue cuma menggidikan bahu. Tanda tidak tahu-menahu. Lagian ini baunya nggak ngotak. Bau busuk campur bau kaos kaki, yang nggak dicuci bertahun-tahun.

"Kalian, coba liat tuh sendal! Ada tai-nya!" Gue sama Jamal menoleh ke sendal jepit yang ditunjuk Siti. Di situ ada pemandangan yang sangat menawan, yaitu tai kucing.

"Uuuu tai ..." Gue menjongkokkan diri, sambil mengamati itu tai. Wow, gue takjub liatnya. Bentuknya beda dari yang lain, ini tai ada jambulnya. Hebat.

Gue menoleh ke mana Jamal sama Siti memasang ekspresi jijik. "Mal, fotoin gue dong sama, nih, tai. Tai langka ini," pinta gue, di balas dengan jitakan keras bak miras dari Jamal.

"Iiii ... Bagas, tutor jadi gila dong." Siti juga ikutan jongkok, sambil mengelus-elus bidang dada gue. Gila nih cewek, nyari kesempatan dalam kesempitan.

"Uuuu ... Dadanya bidang, ya ..."

"AAAAAAAA ... SITI ... GUE TERNODAI!"

"Uuuu ... Bagas muach muach muach ...!"

"Ah ah ah ..."

"Eh, Bagas kok mendesah?! Siti jadi terangsang nih. Ah ah ah ..."

"Gini amat punya teman, gila sejak tahun 1990."

Beberapa menit kemudian ...

Setelah menjenguk adiknya Azam di kamar. Gue, Jamal, Siti, Alvin, Hendra, Azam sama Adit lagi nongkrong di ruang tamu. Dimana kami semua duduk di atas triplek, sedangkan sofa disingkirkan dulu sementara. Kalau mantan singkirkan aja jauh-jauh.

Di hadapan, ada banyak sekali kue raya yang mengunggah selera. Bisa aja, nih, Azam nyiapin cemilannya. Dari tadi gue nggak henti-henti curi-curi pandang ke mereka semua yang belum mengambil kue kering. Pasti mereka juga pada malu-malu kucing. Dilihat dari Adit yang air liurnya menetes.

"Permisi, ini minumannya." Bi Sukma selaku pembantu rumah Azam, setiap kami bertamu, beliau selalu menyambut kami dengan ramah.

Tujuh cangkir berisikan sirup jeruk, serta sekaleng Khong Guan. Yang mana waktu gue buka, isinya rengginang. Melihatnya hanya bisa tersenyum penuh ketabahan.

"Wah, makasih, ya, Bi. Ini, mah, sirup kesukaan saya." Cangkir berisikan sirup tadi di teguk Alvin dengan sok bergaya cool.

"Halah, boong dia, Bi. Dia sebenarnya suka minum gedang klutuk." Perkataan gue sukses mendapat gelak tawa dari mereka semua. Termasuk Bi Sukma juga. Gue juga ikutan ketawa disaat minuman yang barusan masuk ke dalam mulut Alvin kembali keluar mengenai wajah Siti.

"KYAAAA ALVIN, BAU JIGONG!"

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang