🍁30🍁

30 7 0
                                    

Setibanya di Caffe, kami bertiga sudah memesan apa yang mau dipesan. Kami duduk sambil bercerita. Ceritanya itu ngalir kemana saja.

"Eh, Gas, nyokap lo cakep juga, ya. Kalau beliau itu masih be---"

Belum selesai Jamal meneruskan omongannya, gue melayangkan tatapan setajam elang ke arahnya.

"Sorry, nggak usah liatin gue kek gitu kali. Kayak mau nerkam aja."

Gue hanya memutar kedua bola mata malas, menanggapi.

"Bagas, kenapa mamanya Bagas nggak diajak nginep di kost kita aja? Kenapa harus nginep di rumah Om Arsa? Kan Bagas anaknya." Siti berbicara, sambil sesekali menyedot minumannya.

"Kamu nanyea?" Gue menjawabnya dengan bernada, seperti pemilik asli pencipta itu kata. Yang mana kalimat tanya itu lagi booming sekarang. Nggak di Tiktok, di Twitter, Instagram, Facebook, Whatsapp, pokoknya tiap gue buka sosmed pasti ada muncul 'Kamu Nanyea?

"Kamu bertanya-tanya?" sahut Jamal ikut-ikutan. Kami berdua tertawa, sedangkan Siti langsung memasang ekspresi masam.

"Ish, Siti serius!" ketusnya tak terima, dia bersedikap dada dengan bibir manyun.

"Terserah nyokap gue, lah, mau nginep di mana kek itu urusan dia," jawab gue enteng, sambil membuka kamera.

"Gitu amat jawabannya."

Lewat ekor mata, gue melirik Jamal yang geleng-geleng kepala, bersamaan juga dengan Siti. Gua membalasnya hanya dengan menggidikan bahu sekejap.

"Ti, coba senyum biar gue fotoin. Supaya jadi kenang-kenangan, siapa tau nanti kita bertiga nggak bisa ketemu lagi, ngumpul bareng begini."

"Lo napa, sih, jadi ngomong gitu? Jangan ngada-ngada lo!" Jamal menginjak kaki gue keras. Otomatis, gue jadi mengaduh kesakitan.

"Sakit njir!" sungut gue, sembari mengusap-usap kaki yang jadi bahan santapannya.

"Kita nanti juga akan kesini lagi kok, kenapa Bagas ngomongnya begitu coba?" Siti maupun Jamal pada menitik fokuskan pandangannya ke gue seorang. Seakan-akan gue ini habis ketangkap basah, maling di rumah orang.

"Siapa tau ntar gue meninggal duluan, jadinya kita nggak bisa kumpul bareng lagi."

Untuk yang kedua kalinya, kaki gue diinjak Jamal keras, kali ini kekuatannya dua kali lipat. Denyut bekas tadi aja belum sepenuhnya hilang, sekarang malah makin nambah nyerinya.

"Sekali lagi lo ngomong gitu, gue gebukin!" Kali ini, Jamal ngomongnya diikuti lototan tajam. Bola matanya seperti mau keluar daripada tempatnya. Gue jadi ngeri anjim.

"Bagas, ish, nggak boleh gitu tau! Jangan ngomong kayak tadi lagi, Siti nggak suka. Pokoknya nggak suka!" bentak Siti serius. Cukup dilihat dari raut mukanya.

"Maaf-maaf, tapi, kan, kita ngga tau umur kita sampai kapan."

"BAGAS!"

Bukan cuma gue saja yang tersentak kaget akibat bentakan mereka berdua yang kompak ngomongnya, tapi para pengunjung di sini juga pada refleks noleh ke arah kami bertiga. Gue pun menaruh jari telunjuk ke bibir, memberi kode agar kedua teman gue ini agar mengecilkan suaranya.

"Iya, maaf." Tatapan berapi dari mereka berdua sukses membuat bulu kuduk meremang. Gue menyengir kuda, seraya mengangkat dua jari, membentuk huruf V besar.

"Btw, tadi sore ada nggak abangnya Caca nganterin sup?" tanya gue mengalihkan topik pembicaraan. Akhirnya, mereka berdua pada berhenti dengan sendirinya melemparkan tatapan berapi itu. Gue mengelus dada lega.

"Ah, iya juga, ya, nggak ada, tuh, tadi Mas Bram ke kost nganterin sup. Apa jangan-jangan Caca lupa kali, ya, bikinin kita sup?"

Gue maupun Siti menggidikan bahu tanda tidak tahu-menahu juga.

"Siti seharian ini diem di kost aja, tapi nggak ada kedatangan Mas Bram."

"Mungkin Caca memang lupa, pasti dia juga kecapean melayani tamu-tamu di rumah. Sudahlah, kalau mau sup kita tinggal beli bahannya terus masak bareng. Zaman sekarang, kan, sudah canggih, bisa liat tutor di youtube," usul gue bijak, bagaikan titisan Profesor. Buset, keren beut gue.

"Oleh uga."

"Jamal alay banget ngomong kayak gitu." Siti memasang ekspresi jijik.

"Emang ngapa, sih, nggak boleh?" Jamal bertanya seperti Mandra di film si Dul anak betawi. Gue membuang nafas kasar, sudah ketebak aroma perdebatan akan dimulai.

"Siti nggak suka aja!"

"Yaudah, copot aja tuh telinga."

"Ih Jamal ngeselin banget, sih!"

"Lo yang mulai!"

"Jamal duluan!"

"Lo tuh, kok gue, sih?!"

"Cewek itu selalu benar!"

"Ciwik iti silili binir, kalau cewek itu selalu benar, kenapa waktu ulangan nilai lo anjlok daripada gue?"

Nah, kan, apa gue bilang, sudah bisa ditebak, pertarungan adu mulut pasti terjadi. Baik dimanapun itu. Gue juga yakin, ntar ujung-ujungnya mereka pada saling suka. Kebanyakan di novel ataupun di film awalnya benci, berubah jadi cinta. Ya walaupun gue nggak pernah sih ketemu orang yang awalnya pada saling benci jadi berubah pada saling cinta. Tapi bisa saja, mereka berdua pada saling suka nanti. Kita lihat saja.

"Nah, diam, kan, lo."

"Apasih? !"

"Apa-apa?!"

"Sudah-sudah, kalian ini, ya, benar-benar. Nggak malu apa jadi bahan tontonan orang-orang?" Gue mengasih kode ke mereka berdua lewat pergerakan mata.

Sebagian ada yang saling bisik-bisik ataupun menunjuk ke arah kami bertiga, karena hanya kami yang daritadi pada ribut. Sesudahnya, Siti dan Jamal langsung diam seribu bahasa.

"Jangan diam kayak gini juga njir! Ya udah sini Ti, liat ke kamera," pinta gue yang diturutinya segera. Siti memegang minumannya, lalu agak memiringkan kepala. Heran, kenapa kebanyakan para cewek-cewek kalau lagi foto kepalanya pasti dimiringin. Mau nanya, tapi males, ntar malah nggak jadi foto.

"Okey, siap ya? Satu, dua, tiga..."

'Ckrek!

"Wih, cakep juga lo," puji gue jujur. Dilihat-lihar Siti ini emang cakep, sudah itu manis lagi. Pantesan Jamal meradang kalau Siti cerita soal cowok lain.

"Mana-mana, Siti mau lihat?!" Dikit lagi dia merampas HP gue, dengan cekatan gue meaikkan tangan ke atas, jadinya dia gagal ngambil.

"No! Nanti aja lo liatnya, tapi bukan sekarang," tolak gue, yang di sambutnya dengan bibir melengkung ke bawah.

"Mal, pinjem HP lo dong."

"Buat apa?"

"Pinjem doang bentar, janji kok gue nggak macem-macem."

Jamal mengambil HP nya di kantong hoodie yang dia pakai, lalu benda itu beralih tangan ke gue. Gue membuka whatsapp, dan memencet nomor gue. Jamal menyipitkan matanya ke arah gue.

"Nih, thanks!" Gue mengembalikan ponselnya. Jamal pun menceknya sebentar, lalu menatap gue.

"Lo ngapain tadi?"

"Bukan apa-apa, udah tenang aja, gue udah janji tadi nggak macem-macem," ujar gue menenangkan, kelihatan banget mimik wajahnya berubah takut, jikalau gue memasukkan virus seks ke ponselnya, mungkin.

Tanpa sengaja, gue melihat seseorang yang familiar rasanya. Tak sampai bermenit-menit lamanya untuk memastikan orang itu siapa, gue sudah kenal siapa orang itu. Bergegas gue rubah posisi berdiri, ingin mendatanginya.

"Eh kalian berdua, kalau mau pulang, duluan aja, ya. Bye!" Gue langsung cabut meninggalkan mereka berdua, tanpa menunggu balasan.

"BYE-BYE NDASMU, BAYAR ASU!"

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang