🍁Bab 65🍁

39 8 0
                                    

Beruntung tadi ada seseorang yang mau menolong Bagas waktu di taman, entah siapa namanya, tapi yang pasti dia sepertinya mengenal Bagas. Sebab tadi dia menyebut Bagas dengan panggilan kacang, seolah-olah sudah pernah saling bertemu.

"Woi tuh orang kenapa?!"

Aku mendongakkan kepala, menatap seorang laki-laki yang hanya memakai kaos biasa warna hitam dan celana pendek berwarna abu-abu. "Dia pingsan, apa kamu bisa membantuku membawanya ke rumah sakit?" pintaku yang tidak langsung disetujuinya.

Dia menjongkokkan diri, lalu mengangkat dagu Bagas sehingga wajahnya jadi terangkat. Saat itu juga, laki-laki tersebut tersentak kaget. Kemudian dia menoleh kearahku. "Si kacang ini teman lo?" tanyanya, aku hanya mangut-mangut saja, walaupun merasa heran kenapa orang ini memanggil Bagas dengan sebutan kacang.

Habis itu dia kembali menatap Bagas. "Anjir lemah banget si kacang, ya udah pakai mobil gue," final-nya, tanpa bicara lagi, dia mengangkat Bagas begitu entengnya. Mulutku menganga lebar melihat dirinya seperti tidak keberatan sama sekali, seakan-akan Bagas itu hanya selembar kertas baginya. Tak mau ketinggalan, aku segera menyusulnya sembari berlari kecil.

Ketika sampai di rumah sakit, aku menelpon Jamal dan memintanya agar memberitahu orang tuanya bahwa Bagas kumat lagi, kali ini lebih parah. Baru kali ini aku melihatnya kejang-kejang dengan mata melotot ke atas, mengingatnya bikin merinding sendiri. Setibanya orang tua Bagas datang bersama Jamal serta Siti, aku pamit pulang karena sudah ada janji sama Dafis, kalau aku akan membawanya jalan-jalan. Meskipun jauh dalam lubuk hati, aku ingin menemani Bagas di rumah sakit sampai dia siuman, namun bagaimanapun juga janji harus ditepati. Orang tuanya beberapa kali mengucapkan kata terima kasih kepadaku dan kepada orang yang menolong kami. Ternyata laki-laki asing di taman tadi namanya Faris, hal itu ku ketahui saat Siti memanggilnya begitu.

"Kita mau kemana?" Dafis bertanya sambil memasang sabuk pengaman.

"Kalau dikasih tahu sekarang, namanya bukan rahasia lagi," sahutku diikuti senyuman tipis, ku lihat Dafis memoncongkan bibirnya.

"Tapi tempatnya seru 'kan? Awas saja membawaku ke tempat pemakaman."

"Hahahaha ... kamu ini lucu sekali, mana mungkin aku membawamu ke situ, bukannya hari ini kita akan bersenang-senang?"

"Yayaya, terserah kakak aja deh, yang penting tempatnya seru."

Aku hanya menerbitkan senyum lebar, lalu menancapkan gas. Mobil pun mulai berjalan membelah jalan perkotaan, diiringi gumpalan awan gelap yang memenuhi langit, dan melindungi matahari. Tak lama kemudian rintik-rintik hujan mulai berjatuhan, suara rintikannya terdengar berdenting dari atap mobil. Aku kian melajukan mobil agar tidak terjebak hujan. Meskipun di dalam mobil, semisal hujan turun begitu lebatnya, maka akan membuat pandangan jadi buram. Biasanya kalau terjadi begitu, aku langsung menepikan mobil, menunggu hujan sedikit reda.

Rencananya hari ini aku mau membawa Dafis ke wisata kuliner di jalan Pandan Harum. Alasan aku ingin membawanya kesana, karena Dafis sangat suka makan, terlebih lagi dia juga menyukai makanan baru. Aku sangat yakin dia pertama kalinya ke situ nanti, pasalnya dia belum pernah ke jalan Pandan Harum. Aku tidak sabar menunggu reaksinya bagaimana, sebentar ku lirik ke arahnya yang lagi bermain ponsel.

"Kayak ada yang ngechat aja," sindirku yang ternyata ditanggapinya langsung.

"Bodo amat."

Aku geleng-geleng kepala, karena sekilas melihat dirinya hanya membuka status whatsapp orang-orang di kontaknya. Bukannya masalah, namun dia mengulangi hal yang sama, SW yang barusan dia buka di buka lagi sampai tidak bisa ku hitung beberapa kali.

"Daripada begitu, kenapa tidak buka reels instagram atau youtube gitu?" usulku, namun Dafis malah meletakkan ponselnya dashboard.

"Kuota sisa 149 mb." Dafis mencibikkan bibirnya, aku pun tertawa melihatnya.

"Malah ketawa, jadi ini lama lagi atau nggak baru sampai?"

"Sebentar lagi," balasku tanpa memandangnya.

"Oh ayolah kita ini mau kemana? Jangan membuatku penasaran!" Dafis berulang kali menggoyangkan tubuhku.

"Dafis duduklah yang benar, dikit lagi kita akan sampai." Sekejap aku menoleh ke arahnya, tapi Dafis tidak menghiraukan ucapanku, yang ada dia makin gesit.

"Ayolah kak, kasih tau! Ayo ayo!"

Akibat ulahnya, aku jadi tidak fokus menatap jalanan. "Oke-oke, aku akan memberitahumu!" pasrahku pada akhirnya. Dalam hitungan detik, Dafis berhenti menggoyangkan tubuhku, dia tersenyum lebar tanpa ada kata bersalah.

Aku membuang nafas kasar sebentar, gagal sudah memberinya surprise. Aku menoleh ke arahnya, mau tidak mau kasih tahu saja  daripada dia terus menggangguku menyetir saja. "Jadi kita akan pergi ke wi---"

"KAK AWAS DI DEPAN!"

Dafis berteriak nyaring, sambil mengarahkan jari telunjuknya ke depan, refleks aku mengikuti arah tunjuknya itu. Sorot lampu dari mobil di depan itu makin lama makin dekat dan menyilaukan mata. Kedua bola mataku membulat sempurna, bahkan mulutku terasa kaku. Bunyi klakson mobil terdengar bersahutan. Secepat kilat aku berusaha menghindarinya dengan membanting stir ke kiri, namun ternyata aku salah perkiraan.

Mobil yang ditumpangiku dan juga Dafis meluncur begitu keras ke dasar jurang. Kurasakan tubuh bertabrakan dengan benda-benda keras, entah apa-apa saja itu. Aku memberanikan diri dengan membuka mata, menatap ke arah dasar jurang yang makin dalam, aku sudah berusaha menginjak pedal rem, namun sia-sia. Tanpa diduga, kaca mobil depan langsung pecah berkeping-keping karena saling bertubrukan dengan dahan-dahan pohon, pecahan kaca itu melayang, dan menusuk kedua mataku. Spontan aku menjerit, merasakan sakit teramat dalam. Kurasakan juga darah mengalir deras di kedua mata.

"ARGHHHHH!!!!"

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang