🍁Bab 66🍁

36 8 0
                                    

Pertama kali yang di rasakan ialah indra penciuman ku menangkap bau obat-obatan yang lumayan menusuk. Di punggung tangan kiriku juga seperti ada sesuatu yang menempel. Bukan hanya itu saja, di dada ku ada banyak sesuatu yang menempel entah apa-apa saja itu. Di hidung juga terdapat selang oksigen pastinya, sebab membuatku lebih mudah bernafas. Perlahan-lahan aku membuka kedua mata, namun saat dibuka hanya kegelapan ku temui, seperti menutup mata tadi. Berusaha mungkin aku menggerakan pergerakan mata dengan beberapa kali mengedipkan mata atau mengucek-uceknya, tapi hasilnya tetap saja gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Takut? Tentu saja, aku langsung mengubah posisi jadi duduk, mengindahkan nyeri di kepala.

"Tolong nyalakan lampunya!" teriakku sambil melirik kesana-kemari. Aku benar-benar ketakutan setengah mati, apa mungkin aku sudah mati? Dan sekarang adalah waktunya penyiksaan? Ya Tuhan, aku masih ingin hidup, dosaku masih terlalu banyak.

"Ray lo sudah lama bangun?"

Aku mencari-cari pemilik suara itu, suara yang amat familir. Pemilik itu tidak lain dan tidak bukan hanya Bagas seorang. Karena tidak bisa melihat, aku menggunakan tangan untuk meraba-raba, sampai tanganku dipegang oleh seseorang.

"Ray lo jangan panik, ada gue disini, sebentar gue panggilkan dokter."

"Jangan! Jangan tinggalkan aku sendiri, disini terlalu gelap. Apa sekarang lagi mati lampu?" Aku bertanya, namun dia tidak langsung menjawabnya.

"Lo aman, gue panggilkan dokter biar mencek keadaan lo."

Tangannya ingin melepaskan genggaman dari tanganku, tetapi dengan lekas aku menggenggamnya lebih erat. Tidak membiarkan dirinya meninggalkan ku sendirian di tempat gelap gulita seperti ini. Aku terus memegang tangannya yang mengalirkan rasa kehangatan.

"Oke, gue tidak akan ninggalin lo," final-nya, mungkin tidak tega denganku.

"Sebenarnya ini kenapa? Kenapa aku tidak bisa melihat? Apa aku buta?" cecarku akan pertanyaan.

"Maaf Ray, tapi lo benar, lo buta. Tapi gue janji akan membuat lo bisa melihat dalam jangka waktu sebentar lagi, dan gue cuma minta sama lo jangan panik, lo harus sabar hingga menunggu waktu itu tiba," ucapnya berupaya menenangkan diriku yang panas dingin. Air mataku mengalir, hingga membasahi kedua pipi. Kenyataan ini seakan mengunci mulutku, tak sanggup mau bicara apalagi. Dunia ku runtuh mendengarnya. Sekarang aku hanya bisa menangis meratapi nasib, mau marah juga tidak ada gunanya, hasilnya akan sama saja. Menerima kenyataan bahwa aku buta. Dadaku terasa sesak, batin dalam diri seperti menolak kenyataan pahit ini mentah-mentah.

"Sudah lo jangan nangis, yang terpenting sekarang lo baik-baik saja," katanya lagi, sambil menyeka air mataku.

Tragedi kecelakaan yang ku alami sampai berakhir berada disini terbayang-bayang dalam pikiran, memori buruk itu mau ku hilangkan secepat mungkin, namun tidak bisa dalam jangka waktu dekat. Otakku kembali berputar tentang kecelakaan itu, kenyataan kalau aku tidak hanya sendiri di dalam mobil itu, melainkan ada adikku juga, sekarang dimana dia?

"Dimana Dafis?!" Aku menggerakan tangan, meraba-raba tubuh Bagas yang ada di samping kiriku, dan berakhirlah di bahunya. "jawab dimana dia?! Dia tidak kenapa-kenapa 'kan?!" tanyaku, kali ini sambil menggoyangkan tubuhnya agar segera menjawab.

"Dengarkan gue dulu, gue akan ceritakan semuanya, tapi lo jangan panik seperti ini, dia baik-baik saja."

Mendengar katanya kalau Dafis baik-baik saja membuatku bisa bernafas lega. Ku harap ucapannya itu benar adanya, bukan hanya mengada-ada agar aku tenang.

"Sebenarnya lo sudah koma selama satu tahun."

"Apa katamu? Aku koma selama itu? Apa kamu bercanda?" cecarku, tidak mungkin aku tidur selama itu, karena aku merasa kejadian kecelakaan itu terjadi kemarin.

"Gue tidak bercanda, lo memang koma selama itu, bahkan bokap lo sudah pasrah, segala upaya cara dia lakukan untuk membuat lo sadar lagi. Karena saat itu keadaan lo memang benar-benar parah Ray. Adik lo enam bulan yang lalu juga baru sadar dari masa kritisnya, setelah sadar dia mengalami trauma berat. Melihat poster mobil saja dia ketakutan setengah mati, makanya bokap lo membawanya ke psikiater habis keluar dari rumah sakit. Dan sekarang dia baik-baik saja, meski sekarang ini dia jadi lebih banyak bengong sendiri, tatapannya juga kosong, dia hidup seperti tidak punya raga. Saat ini dia ada di rumah, gue yakin kok dia tidak akan selamanya begitu, namanya juga masih dalam masa pemulihan. Makanya bokap lo tidak membiarkan Dafis kesini menjenguk lo," jelasnya panjang lebar. Aku terdiam sesaat, ini semua gara-gara ku. Kalau bukan karena aku membawanya rencana jalan-jalan saat itu, hal ini tidak mungkin terjadi. Aku tidak bisa memaafkan diri sendiri, Dafis jadi tidak ceria seperti dulu lagi. Masa-masa mudanya sudah mengalami hal berat ini, karena apa? Karena aku!

"INI SEMUA GARA-GARA KU, AKU TIDAK AKAN MEMAAFKAN DIRIKU SENDIRI SIALAN!" Betapa marahnya sekarang, berulang kali aku memukul-mukul dada begitu kencang, mengabaikan rasa sakit yang menjalar.

"Ray hentikan! Lo tidak boleh menyalahkan diri sendiri, ingat, ini semua sudah takdir. Tidak ada seorang manusia pun yang tahu takdirnya seperti apa!"

Aku tidak berbuat banyak lagi, lantaran Bagas menahan tanganku. Pasrah, aku melemahkan tanganku. Lagi dan lagi cairan bening dari pelupuk mata turun kembali. Kedua pipiku merasakan hangat akibatnya. Rasanya aku ingin berteriak nyaring sekuat mungkin, melampiaskan amarah membara dalam diri. Baru kali ini aku menangis di hadapan orang lain, saat ini impian yang dulu seakan tidak ada harganya lagi. Tidak ada juga gunanya hidup.

"Bagas, kenapa aku tidak mati saja? Kenapa aku masih hidup?"

"Pssttt, lo nggak boleh ngomong begitu. Lo harus percaya sama gue, lo akan bisa melihat lagi, karena ada orang yang sudah bersedia lebih dulu mendonorkan matanya untuk orang yang membutuhkannya, jadi lo nggak usah berkecil hati lagi."

Aku menghadap tepat ke arahnya mungkin, entahlah aku tidak bisa melihat wajahnya. "Siapa orang itu?"

"Lo akan tahu nanti, oh ya, video kita di taman itu sudah gue salin ke memori HP lo. Ya walaupun HP lo sudah rusak, tapi memorinya masih bagus, makanya gue ambil, maaf kalau lancang. Tapi gue sama sekali tidak membuka hal yang aneh-aneh kok, gue cuma menyalin video dari memori gue ke memori HP lo, habis itu gue serahkan ke bokap lo. Nanti ketika lo bisa melihat lagi, buka videonya, karena gue sudah menyuruh buka. Btw, gue mau nelpon bokap lo, ngasih tahu kalau lo sudah siuman. Dia pasti senang dengar kabar baik ini."

"Tunggu, kenapa malah kamu yang menjagaku disini?"

"Gue kasihan sama bokap lo, karena dia pasti sangat kecapean, terus-terusan menjaga lo, apalagi sambilan kerja, jadi gue menyuruhnya pulang buat istirahat dan gantian jaga lo."

"Kenapa kamu mau melakukannya?"

"Karena gue peduli sama lo."

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang