Waktu jam 8 malam, aku kembali pulang ke rumah. Orang tuaku begitu khawatir, dan bisa bernafas lega saat melihatku datang. Kini aku berada di kamar, ditemani suara air hujan dan detak jam dinding. Aku membuka jendela, lalu menaruh kedua tangan. Membiarkan terpaan angin bercampur air mengenai wajah. Langit-langit di atas sepenuhnya gelap, serta ada beberapa kilatan yang muncul. Lagi, aku bersedih. Bayangan Bagas selalu muncul dalam pikiran, dimana dia tersenyum dan selalu membuat lelucon agar aku bisa tertawa. Tapi sekarang semuanya sudah lenyap, dia sudah pergi untuk selama-lamanya, tidak ada lagi yang datang dan menghiburku.
'Puk!
Akibat melamun, aku tersentak kaget lantaran ada seseorang yang menepuk pundak dari belakang. Sontak saja aku memutar badan, menjumpai papa tengah tersenyum, dimana di tangan kanannya lagi memegang sebuah ponsel.
"Ini buatmu, papa membelikan yang baru. Dan memori kamu yang lama, sudah papa masukkan ke dalam situ." Ponsel yang ada digenggaman papa tadi diserahkan padaku.
"Sewaktu Bagas mengasih memori itu ke papa, katanya kalau kamu sudah bisa melihat langsung cek rekaman yang kemarin. Kalau boleh tahu, rekaman apa?" tanyanya penasaran. Aku hanya menggidikan bahu tanda tidak tahu, sebetulnya aku tahu rekaman apa yang dimaksud oleh Bagas.
"Ya sudah, papa keluar dulu. Ingat, jangan berlarut-larut dalam kesedihan." Sebentar papa mengusap rambutku, lalu beranjak pergi, dan pintu sudah tertutup sempurna seperti ke sedia kala.
Aku duduk di tepi ranjang, terus membuka ponsel itu. Cepat-cepat membuka album, untuk melihat soal rekaman di taman lalu. Baru di klik, aku sudah menemukannya. Jariku nampak sedikit bergetar. Tidak. Aku tidak boleh terus menangis, aku sangat yakin dia pasti membencinya, apalagi disaat aku membuka video kami berdua.
Sebentar aku menarik nafas panjang, kemudian dihembuskan secara perlahan. Video berdurasi 40 menitan tersebut ku buka, dan menampilkan tentang kebahagiaan kami saat itu. Di dalam video tersebut Bagas berlari-lari memutari taman begitu gembira, layaknya anak-anak. Selain itu juga, kami bermain ayunan, dan dia memberikan sebuah kotak. Tunggu! Ah iya, aku belum membuka isi kotak itu apa. Ku letakkan ponsel ke atas meja, lalu mencari dimana aku menaruh kotak pemberiannya itu.
"Dimana sih? Dasar pelupa!" sungutku, meruntuki diri sendiri. Tak lama kemudian, saat membuka lemari pakaian mataku menangkap benda berbentuk kotak yang sedikit menonjol di selipan baju yang menggantung. Langsung saja benda itu ku ambil, ternyata itu adalah yang kucari sedari tadi. Sebuah kotak kecil biasa, aku kembali duduk di tepi ranjang, membuka apa isi kotak tersebut. Aku pun mengeluarkan isi di dalamnya yang ternyata ada satu buah foto beserta satu kertas terlipat.
Foto itu ialah foto Bagas sendiri, dimana dia lagi berdiri di samping pohon dengan memakai seragam sekolah. Penasaran apa isi dari kertas itu, aku segera membukanya. Membaca kata per kata yang dia tulis sendiri.
Sebelumnya gue minta maaf karena tidak bisa mengatakannya secara langsung. Gue senang berteman sama lo Ray, walaupun kadang-kadang lo jutek, tapi sebenarnya lo itu peduli sama gue. Waktu sakit gue kambuh, lo nemenin gue di rumah sakit sampai ketiduran, sumpah gue bahagia banget.
Gue juga mau mengucapkan terimakasih, berkat lo, gue berusaha makin kuat menghadapi penyakit ini. Meskipun gue tahu umur gue hanya sebentar lagi, entah kapan Tuhan akan memanggil gue kembali kepadanya. Ngomong-ngomong maaf soal foto yang ada di dalam kotak ini. Sengaja gue meletakkan foto gue yang tampan itu hahahaha, biar kalau lo kangen bia liat muka gue terus.
Semisal gue sudah tiada, lo jangan sedih ya, gue nggak mau orang-orang terdekat gue menangisi kepergian gue. Gue maunya kalian tetap bahagia, jangan ada air mata di makam gue. Maaf kalau gue tidak bisa menemani lo lagi di dunia ini, tapi gue akan selalu menemani kalian semua di atas langit. Jika rindu, lo tinggal liat bintang-bintang waktu malam. Gue ada di situ, berkedip ke arah lo, dan tersenyum. Lo pun juga sama, harus tersenyum.
Sekali lagi, terimakasih atas waktunya selama ini. Gue sayang sama kalian semua.
Zeoa Bagas Samraz
Kertas yang kupegang mulai basah karena air mataku. Bagaimana bisa aku menahan kepedihan ini? Aku sudah sekuat mungkin untuk tetap kuat, tapi tidak bisa. Bahkan setelah membaca surat ini makin membuat hatiku perih.
Aku menatap foto yang dia berikan kepadaku. "Terimakasih Bagas, berkatmu aku masih bisa terus melihat wajahmu, meskipun hanya dalam bentuk gambar." Bibirku bergetar menahan suara tangisan. Foto itu pun berubah jadi buram, karena air mata yang menumpuk di mata.
"Aku berjanji akan selalu mengingatmu, aku juga sangat berterimakasihlah karena kamu sudah hadir dalam hidupku. Awal pertemuan kita dulu di rumah sakit akan selalu ku ingat, sampai akhir hayatku. Semoga kamu tenang di alam sana." Tubuhku bergetar, dan foto itu langsung ku peluk. Tetesan demi tetesan air mata jatuh ke kedua kakiku. Malam ini adalah malam yang menyedihkan, hatiku teriris tatkala kehilangan seorang teman yang sudah ku anggap sebagai saudara kandung sendiri.
Tidak ada lagi kata-kata semangat dari dirinya, tidak ada lagi yang selalu menemaniku di saat sedih. Tidak ada lagi canda dan tawa. Dia sudah pergi untuk selama-lamanya, wajahnya tidak bisa ku lihat lagi, hanya bisa melihatnya sebagai foto. Suara miliknya pun sudah tak bisa ku dengar lagi. Aku akan berusaha melepaskanmu Bagas, walaupun di dalam hatiku sangat sesak.
Aku mengusap air mata, lalu berjalan ke arah cermin yang memanjang seperti lemari. Aku mendekatku wajahku, menatap kedua mata miliknya yang sekarang sudah menjadi bagian hidupku.
"Aku berjanji padamu, akan terus menjaga mata pemberianmu ini." Bayangan wajah di cermin ku pegang dan berusaha tersenyum, melakukan apa yang dia minta.
"Kita akan terus bersama-sama menatap kehidupan yang berjuta warna."
End Epilog
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️