🍁Bab 41🍁

28 8 0
                                    

Di luar dugaan, Caca tiba-tiba saja buka pintu. Dia melipat kedua tangannya di atas bidang dada, seraya memandangi kami berdua bergantian. Gue hanya mengembangkan senyum paksa. Malu.

"Ini si kacang ngajak ribut Ca." Cowok songong menunjuk gue dan juga melototkan kedua matanya. Tak tinggal diam, gue membalas lototan.

"Bohong Ca, si babi ngepet yang duluan!"

Tak terima dengan ucapan gue beberapa detik lalu, si cowok songong mendorong dada gue. Sehingga gue jadi terdorong ke belakang. Beruntung bisa menahan beban tubuh, kalau tidak, dalam hitungan detik pantat gue sudah bersentuhan dengan keramik. Gue yang nggak mau diam saja, langsung bertindak cepat dengan mendorongnya juga. Alhasil kami berdua jadi main dorong-dorongan.

"Hei kalian berdua cukup! Ini rumah sakit, bukan pasar!" Caca bersuara tegas, dia segera menengahi perkelahian ringan kami berdua yang tidak ada satupun yang mau mengalah. Seorang Zeoa Bagas Samraz tidak mungkin mundur sebelum perang sungguhan dimulai.

Sontak saja kami menghentikan acara dorong-dorongan, dan mendadak terdiam. Sebab Caca nampak kesal, dilihat dari sorot matanya yang tajam serta tanpa senyuman. "Tolong jangan ribut, ingat tempat. Kalian ini sudah dewasa, kelakuan jangan seperti anak kecil," peringatnya, kali ini dengan nada biasa. Gue pun cuma mangut-mangut paham, menyadari sikap gue tadi.

"Ya sudah, ayo masuk."

Disaat gue ingin masuk ke dalam, si cowok songong menahan tubuh gue dengan pergelangan tangannya. Refleks, gue langsung menatapnya dengan tatapan tidak suka. "Apa? Mau minta tanda tangan?"

"Geer lo kacang, eh tong lo ngapain masuk ke dalam hah? Salah alamat lo ya?"

"Oemji hellow, lo kali yang salah alamat. Kesana-kemari membawa alamat~~~"

"Jeng jeng!"

"Tetapi mereka bilang tidak tau ..."

"Sayang~~~yang ku terima alamat pal---eits lo kok malah ngajak nyanyi? Gue nanya lo ngapain di mari?"

"Caca itu teman gue, dan gue kesini mau jenguk abangnya yang lagi sakit. Puas?"

"Hah?"

"Hah hoh hah hoh, kalau lo sendiri ngapain kemari?" tanya gue balik, sedangkan dia malah melongo. Dimana mulutnya menganga lebar.

"Gue itu sepupunya Caca, dan gue kesini mau jenguk Mas Bram," jawabnya. Seperti boomerang, mulut gue menganga otomatis.

"Hah?"

"Hah hoh hah hoh!"

"Kalian ngapain masih diluar, ayo masuk!" Dari dalam, terdengar suara panggilan dari Caca. Si cowok songong melirik gue sekilas, lalu masuk ke dalam. Gue masih membeku di tempat, ternyata dunia ini bisa sesempit gitu. Kok bisa-bisanya gue ketemu lagi sama cowok ngeselin itu, kenapa bukan dipertemukan dengan cewek cute, short hair? Tapi Caca itu sedikit imut sih, dia itu lebih dominan ke definisi cantik, bukan imut.

"Bagas, kenapa masih disini? Ayo masuk." Tanpa disadari, Caca menepuk pundak gue. Akibatnya gue jadi tersentak kaget. Gue memutar badan ke belakang, sambil menggaruk belakang leher yang tidak gatal.

"Lagi nungguin Jamal, entah pergi kemana tuh anak tiba-tiba aja ngilang kayak habis ditelan bumi." Caca geleng-geleng kepala dan tersenyum kecil, menanggapi omongan gue barusan. Diingat-ingat, Jamal kok tetiba ngilang ya? Perasaan tadi dia ada di belakang gue. Kira-kira kemana perginya tuh anak? Apa dia lagi nontonin suster behoi di taman yang lagi bertugas membawa pasien jalan-jalan?

Seakan tersentrum sesuatu, gue jadi teringat dengan satu pertanyaan yang bikin otak gue mumet. Tidak mau buang-buang kesempatan, gue menarik pergelangan Caca. Membawanya agak menjauh dikit, tanpa membalas pertanyaanya sedikitpun. Setiba di tempat yang menurut gue pas, tanpa basa-basi gue segera melontarkan pertanyaan. Kini gue layaknya seperti reporter berita. Terlihat Caca jadi gugup, dilihat dari tangannya yang bergetar.

"Tenang, gue nggak ngapain lo. Gue bukan psikopat gila. Gue cuma mau nanya, dan gue mau lo jawab dengan jujur pertanyaan gue ini," kata gue serius. Gue menatapnya dalam-dalam, mengatakan bahwa pembicaraan kali ini bukan candaan.

"Kamu mau nanya apa? Biasanya kalau mau nanya nggak kayak gini segala."

Sebelum menjawabnya, gue menarik nafas lumayan panjang lalu dihembuskan perlahan. "Lo sud---"

Drrrtttt

Drrrttt

Drrrttt

Mendadak HP gue berdering di kantong celana, menandakan ada seseorang yang nelpon. Penasaran siapa, gue merogoh kantong celana buat mengambil HP. Terpampang jelas di layar, ternyata bokap gue yang nelpon. Sebenarnya gue tidak mau angkat, tapi gue mau nanya soal Joni. Apa dia sudah ada di rumah atau belum.

"Sebentar, gue mau angkat telpon dulu." Caca mengangguk pelan, gue sedikit menjauh darinya lalu menggeser tombol hijau, hingga terdengar suara datar dari bokap.

"Dimana mama kamu sekarang?"

"Tidak tau."

"Apa dia menemuimu?"

"Kemarin."

"Dengan siapa dia?"

"Sendiri," jawab gue singkat, tanpa ekspresi. Rasanya malas sekali ngobrol sama bokap sendiri, lihat saja nanti. Ujung-ujungnya pasti adu bacot.

"Papa tidak percaya sama kamu, dia ke Jakarta pasti ketemuan sama selingkuhannya. Dan kamu disuruh mama kamu buat menutupinya, iya 'kan?!" Terdengar intonasi bicara bokap jadi meningkat. Bukan hanya itu saja, gue juga bisa mendengar hembusan nafasnya yang marah.

"Aku tidak bohong. Apa Joni ada disana?" tanya gue mengalihkan topik pembicaraan. Sehari saja gue itu mau tenang, tapi belum bisa.

"Jangan mengalihkan topik Bagas! Mama kamu itu benar-benar keterlaluan, papa sudah bekerja keras buat membiayai kalian, tapi lihat yang dibalas mama kamu, dia malah bercumbu sama selingkuhannya. Dia juga pergi ke luar kota tanpa sepengetahuan papa, untungnya papa tau cepat dari temannya. Masalah ini bukan masalah kecil, tapi masalah besar, bisa-bisanya kabur begitu saja tanpa ada rasa bersalah. Seharusnya kamu itu sebagai anak juga harus memperingati mama kamu yang tidak tau diri itu, jangan sama seperti Joni. Adikmu itu malah pergi dari rumah, dan sampai sekarang belum pulang-pulang juga, dan itu jadi tambahan pikiran papa. Sedangkan mama kamu malah pergi dengan riangnya, bangsat! Papa akan menyusul kesana dan langsung menalaknya. Jangan sesekali kamu mengadu kalau papa akan pergi ke Jakarta!"

"Jangan marah kepadaku, marahnya itu ke mama!" Tak tahan lagi menahan emosi yang hampir memuncak, gue segera menutup telpon sepihak. Takutnya emosi gue jadi tidak terkendali. Gue berusaha mengontrol emosi yang membara di hati dengan cara mengusap dada pelan.

"Bagas, are you okey?"

Gue mendapati Caca yang tepat berdiri disamping gue. Mampus. Apa dia mendengar semua obrolan tadi?

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang