🍁Bab 56🍁

20 7 0
                                    

Dimana kaki melangkah gue ikut saja, entah mau pergi ke mana sekarang, tapi yang pasti gue mau menghindar dari kedua orang tua yang egois. Hanya mementingkan diri sendiri, tanpa mempedulikan anak-anaknya. Gue benar-benar kecewa sama mereka, pantas saja Joni tidak tahan serumah dengan mereka lagi.

Gue menghentikan langkah ketika di hadapan ada lapangan hijau yang luas seperti taman, tapi tidak ada bangku ataupun bunga-bunga, melainkan hanya rumput hijau semua. Layaknya lapangan bola. Gue menatap lurus ke depan, sekarang gue seperti kehilangan akal pikiran yang kebingungan mau melakukan apa, layaknya orang lingkung.

"Bagas?"

Suara perempuan yang familiar di telinga itu reflek membuat gue menoleh ke belakang, di mana ada Caca bersama seorang cowok yang pernah gue lihat sebelumnya di toko bu Puput dulu, yang gue kiranya dia adalah pacar Caca. Asumsi gue itu makin kuat ketika mendengarkan ucapan Azam di hari raya kemarin lalu di rumahnya, katanya sewaktu dia lagi makan di restauran, dia melihat cowok itu lagi mengusap pipi Caca begitu romantis.

Mereka berdua kini berdiri tepat di hadapan, gue hanya melemparkan senyum kecil. Padahal hati gue sudah sakit karena kejadian tadi, di tambah lagi gue melihat Caca bareng cowok ini. Malah yang ada mengolah hati gue kian panas, tapi bagaimanapun juga gue tidak bisa marah. Caca juga bukan siapa-siapa gue, melainkan hanya teman belaka, seharusnya dari dulu mengutarakan perasaan ini bukan hanya terus di pendam. Alhasil gue kena getahnya sendiri. Anggap saja gue mencari penyakit sendiri.

"Kok kalian bisa ada di sini?" tanya gue, di mana mereka berdua saling bertukar pandang sebentar, lalu kembali menatap gue dengan seuntai senyuman hangat.

"Aku mau jalan-jalan aja ke sini, karena di sini kalau sore sunset-nya bagus banget. Kebetulan juga di sini ada rumah sepupu ku, jadinya aku bisa di sini sampai malam," jawab Caca di sertai akan senyuman manis yang bikin candu itu, melihatnya, senyum gue kian melebar.

"Oh ya?"

"Iya, eh ya ampun aku sampai lupa memperkenalkan dia. Nah Bagas, ini Rendra sepupuku. Dan Rendra, ini Bagas temanku."

Mulutku sedikit terbuka atas apa yang barusan gue dengar. Sepupu? Jadi cowok ini sepupunya Caca? Bukan pacarnya? Tuhan, betapa senangnya hati mendengar. Lagian gue juga baru tahu kalau Caca punya sepupu di sini.

Cowok itu mengulurkan tangannya, menunggu jabatan. Gue membalas jabatan tangan itu, pertama kali yang gue rasa adalah hangat. Dia tersenyum sampai lesung pipi di kirinya terlihat, serta kedua matanya yang menyipit. Sekarang gue akui dia makin terlihat tampan di saat senyum begini, tapi bagaimanapun juga dia tetap kalah ganteng dengan gue.

"Salam kenal, Rendra Adhi Purnama, panggil saja Rendra."

"Zeoa Bagas Samraz, panggil saja Bagas, salam kenal juga."

Sehabis saling berkenalan, kami melepaskan jabatan tangan tadi.

"Nama yang keren bro," pujinya yang membuat gue sedikit tertawa.

"Lo juga," balas gue, dia pun cuma ketawa pelan.

"Kalau kamu Bagas lagi main ya ke rumah om Arsa?" tanya Caca yang gue balas dengan anggukan kepala kecil.

"Btw, gimana keadaan Mas Bram?"

"Alhamdulillah Mas Bram sudah baik-baik aja kok, cuma butuh istirahat dulu sampai betul-betul pulih seutuhnya."

"Syukurlah kalau begitu, maaf gue kemarin pulang duluan, mana nggak pamit dulu lagi." Gue menggaruk belakang leher yang tak gatal, merasa bersalah.

"Nggak apa kok, santai aja." Caca terkekeh pelan, gue pun tersenyum kembali. "omong-omong, di rumah sakit kemarin kamu mau ngomong apa?" sambungnya, sukses mengolah gue kikuk sendiri.

"Errrr .... oh itu bukan hal penting, gue cuma mau ngajak lo makan di luar aja, tapi nggak jadi karena ada urusan mendadak." Untuk menutupi kebohongan, gue menyamarkannya dengan tawa paksa. Beruntung Caca percaya.

"Ku kira apa."

Gue hanya tertawa kecil sedari tadi, bingung mau bicara apalagi.

"Ca, ayo buruan, ntar habis." Rendra menyikut pelan tangan Caca.

"Ah iya, Bagas kami duluan ya, takutnya toko roti di depan sana keburu kehabisan." Caca sedikit memajukan mulutnya ke belakang gue, sontak saja gue memutar badan ke belakang, di mana lumayan banyak orang yang sedang mengantri di depan toko roti. Emang, toko itu selalu ramai orang, karena roti yang di jual sangat enak, gue aja pernah beli banyak buat stock di kamar.

Gue kembali menatap Caca, lalu menganggukkan kepala kecil, tanda mengiyakan.

"Duluan." Teruntuk ke dua kalinya gue mengangguk kecil menanggapi ucapan Rendra. Mereka berdua pun sudah beranjak pergi, berjalan menuju toko roti tersebut. Melihatnya dari belakang senyum gue merekah begitu saja, gue merasa bahagia lantaran dugaan gue selama ini salah. Kesempatan ini harus gue manfaatkan dengan benar, secepatnya gue akan menyatakan perasaan ini ke Caca sebelum gue tiada.

Kalau tidak, gue akan terus di rundung rasa penyesalan, dan gue tidak mau itu terjadi. Sekarang tunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Apapun jawabannya nanti akan gue terima setulus hati, mau itu menolak gue ataupun dia mengatakan hal jujur kalau sama sekali tidak mempunyai perasaan ke gue. Ya, gue tinggal menyiapkan mental hati saja lagi. Gue menghela nafas panjang sebentar, lalu ikut beranjak pergi ke arah berlawanan dari mereka.

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang