"Mas, beli pop ice rasa taro satu."
"Siap, Dek."
Aku duduk di kursi panjang yang disediakan. Sebenarnya ini adalah warung nasi, lumayan banyak orang yang berdatangan disini waktu sore-sore gini. Aku melepas masker, menghirup udara sore yang menyejukkan. Karena disini adalah taman, tidak diperbolehkan siapapun yang memakai motor masuk ke dalam sini. Otomatis, oksigen disini sangat berbeda dengan di jalan-jalan raya yang banyak sekali polusi udaranya.
"Ini, Dek, pesanannya sudah jadi."
Aku pun mengambil minuman yang di pesan tadi, setelah membayar dengan uang receh, sebesar lima ribu rupiah. Setelahnya, aku melanjutkan perjalanan ke arah pulang ke kost, cukup jalan kaki saja kesini. Lagian jarak dari kost kesini tidak lumayan jauh, sekalian juga olahraga sore.
Minuman bekas diminum Bagas tadi ku buang ke bak sampah. Tak peduli, walaupun isinya masih lumayan banyak. Yang pasti, aku tidak suka berbagi sedotan dengan orang lain. Ada bekas liurnya, dan sedotannya juga jadi penyek habis digigit olehnya. Seolah-olah sedotan itu seperti odot bayi baginya. Parahnya, sedotan itu jadi bau jigong.
"Wah, makasi, ya, Bun, aku suka banget sama bonekanya. Lucu!"
Suara anak kecil perempuan memanggil daun telingaku untuk menoleh ke arahnya. Kulihat, ada anak kecil pemilik suara tadi. Dia berambut pendek sebahu dan mempunyai poni. Nampak lucu sekali, apalagi di umurnya yang segitu. Dilihat-lihat, dia kayaknya berumur di bawah sepuluh tahun. Anak kecil itu duduk di bangku taman, dimana di pangkuannya ada boneka beruang warna coklat, yang ukurannya bisa dikatakan besar. Sedangkan didepannya ada seorang wanita memakai kemeja coklat, serta memakai rok plisket. Dia tengah berjongkok, sembari membelai pipi anak itu. Yang tidak lain, ibu dari anak menggemaskan yang bersuara riang tadi.
"Sama-sama sayang, kamu suka, kan, sama hadiahnya?"
"Bukan suka lagi, tapi suka banget. Makasih banyak, aku sayang bunda." Anak kecil itu langsung memeluk wanita yang dia sebut sebagai bunda. Mereka berpelukan dengan senyum cerah yang terbit di bibir keduanya.
"Bunda juga sayang sama bidadari bunda ini."
Tanpa sadar, senyumku mengembang begitu saja. Melihat pemandangan yang menyejukkan hati. Anak itu sangat beruntung mempunyai seorang ibu yang peduli dan mampu menyenangkan hatinya. Nasibnya terbanding terbalik denganku. Sejak masih bayi, tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Dikarenakan, ibu tidak menginginkan kehadiranku. Dia pergi meninggalkan ku, dan juga papa, dia tidak ingin mengasuhku karena aku anak haram. Sebenarnya apa salahku? Aku tidak tahu apa-apa, tapi malah melampiaskan ketidaksukaannya kepadaku. Beruntung, masih punya papa yang peduli dan menyayangiku.
"Hah, sudahlah Ray, nggak usah dipikiran." Ku pijat batang hidung sebentar, lalu melanjutkan perjalanan pulang ke kost. Meninggalkan anak beserta ibunya tadi yang tengah bergembira hati.
Sambil mendengarkan musik berjudul Know Me-Gemini, dari earphone. Tak terasa sedikit lagi aku sampai di kost. Di komplek melati belok kanan adalah ruang masuknya. Disaat enak-enaknya mendalami musik, sayup-sayup aku ada mendengar suara keributan. Untuk memastikan pendengaran, ku lepas earphone dan mematikan lagu di ponsel. Suara sayup-sayup tadi, mulai terdengar jelas di telinga. Penasaran, aku mencari-cari sumber keributan itu. Langkah kakiku mengikuti pendengaran, sampai terhenti di belakang rumah atau kost bercat biru muda. Dari sini, aku mendapati ada seorang laki-laki memakai hoodie warna oranye, lagi berdiri membelakangi ku. Di depannya ada wanita memakai baju biru, dan berkacamata lagi bersedikap dada.
Tunggu, dari postur tubuhnya, sepertinya aku kenal dengan cowok itu. Tapi siapa? Ah, seingatku tadi Bagas memakai hoodie warna oranye juga, apa mungkin itu Bagas? Apa iya?
"Jadi, mama membiarkan Joni disana tanpa memberitahu dia kalau mama pergi kesini? Tega banget, sih, Ma, ninggalin dia gitu aja."
"Salah dia sendiri yang kabur entah pergi kemana, mama sudah mencoba nelpon dan mengirimkan pesan, tapi sama sekali tidak direspon. Jadi, kamu masih menyalahkan mama? Begitu?"
Dan benar saja, suara cowok itu adalah suara Bagas. Tidak salah lagi. Tapi kenapa mereka bertengkar? Sial, aku jadi penasaran. Padahal kaki ingin menjauh, tapi hati mengatakan 'sudah diam disini saja, dengarkan semuanya. Ujung-ujungnya aku masih setia menguping pembicaraan keduanya. Supaya keberadaan ku tidak diketahui mereka, sengaja aku bersembunyi di balik pohon mangga.
"Joni kabur begitu salah mama sendiri! Mama itu egois, lebih mementingkan diri sendiri. Apasih kurangnya papa? Sampai-sampai mama itu selingkuh?!"
Aku langsung terangsang dengan ucapannya. Aku pun mengintip di balik pohon ini, dimana ibunya Bagas melepaskan kaca matanya, dan menatap Bagas dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia menunjuk Bagas, dimana tangan satunya mengepal kuat.
"Siapa yang ngajarin kamu jadi berani melawan mama?"
"Bukan siapa yang ngajarin! Cukup jawab, kenapa mama selingkuh? Asal mama tau, pertengkaran kalian berdua berimpas ke kami. Pernahkah mama memikirkan perasaan kami berdua, yang notabe-nya sebagai anak kandung mama sendiri? Aku sudah muak! Hentikan drama ini, aku ingin keluarga kita bisa harmonis seperti dulu lagi!"
"Diam kamu! Jangan terus menyalahkan mama, salahkan papa kamu itu. Dia yang jarang ada waktu untuk kita, dia itu tergila-gila dengan pekerjaan. Sampai jarang pulang ke rumah, papamu itu berubah seratus persen!"
"Papa ngelakuin itu buat menafkahi kita, tapi mama malah menyakiti hati papa. Mama yang salah disini!"
Aku masih diam disini, memantau debat anak dan ibu. Jujur, aku tidak menyangka bisa mendengar permasalahan keluarga Bagas. Dibalik sikapnya yang mengesalkan, tapi Bagas dalam mode serius, sikapnya tidak dapat ku kenali. Dari yang kutangkap, dia orang yang tegas, dan tidak memiliki rasa takut. Dia mengeluarkan keunekan di dalam hati, tanpa harus ditutupi. Aku jadi salut sama dia.
"Cukup Bagas! Berhenti menyalahkan mama terus. Mama kesini ingin bertemu denganmu dan ingin mempererat hubungan kita. Bukannya malah memecah belah hubungan kita sebagai anak dan ibu. Lagian Joni dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri, dan mama juga akan kembali ke Bogor."
Ku lihat, Bagas membuang pandangan. Dia mengepalkan kedua tangannya. Sayangnya, aku tidak bisa melihat raut wajahnya. "Aku benci sama mama, AKU BENCI!"
'Plak!
Kedua mataku melotot sempurna, tatkala ibunya Bagas menampar keras pipi anaknya sendiri. Menyebabkan Bagas jadi langsung memegang pipinya, yang ku yakini, itu pasti sangat sakit. Kenapa pemandangan ini harus dilihat olehku? Aku jadi tidak tega dengannya.
"Itu akibatnya kalau kamu berani melawan mama lagi. Ngerti kamu, hah?!" Tante itu menangis, sembari mengguncangkan tubuh Bagas kencang. Sedangkan Bagas hanya diam tanpa suara. Walaupun tidak bisa kulihat dari arah depan, aku bisa memprediksi bahwa Bagas lagi menangis.
Difikir-fikir, aku jadi mau masuk kedalam kehidupannya. Sebagai teman.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️