🍁Bab 54🍁

21 8 0
                                    

"Maafin gue Gas, tapi benar apa yang diucapkan dokter Stefan kalau penyakit lo ini tidak bisa terus-terusan dirahasiakan, terlebih lagi menyembunyikannya dari orang tua sendiri. Dan maafin gue juga, soal ini malah bocor ke dia." Ekor mata Jamal melirik ke arahku sebentar, begitu juga dengan Bagas.

Memang, setelah dari ruangan dokter Stefan tadi, tak lama kemudian Bagas akhirnya sudah siuman juga. Kondisinya sudah terlihat lumayan sehat ketimbang tadi. Baru kali ini aku tidak melihat sebuah senyuman di bibirnya, melainkan hanya menampilkan wajah tanpa ekspresi. Datar.

"Nggak apa, sudah terlanjur juga," jawabnya, tanpa melihat ke arah kami bertiga sedikitpun. Dia membalasnya hanya dengan menundukkan kepala ke bawah.

"Jadi, kalau gue kasih tau ke nyokap lo duluan beneran nggak apa?" tanya Jamal memastikan.

"Itu biar gue yang bicara sendiri." Bagas mengangkat kepalanya, memandangi kami satu persatu secara bergantian. "gue mau pulang, gue nggak suka disini, bau obat-obatan benar-benar menyusuk indra penciuman gue," sambungnya, sembari mengibaskan tangan tepat di depan batang hidungnya.

"Maaf Bagas, tapi Bagas harus pulihin dulu kondisinya disini. Lagian juga ini salah Bagas sendiri, kan sudah di bilang jangan ke mana-mana, diam aja dulu di kamar sampai Siti selesai buatkan buburnya. Tadi Siti ke kamar Bagas, Bagas-nya kabur entah kemana. Dan lihat 'kan sekarang akibatnya," ucap Siti, dimana bibirnya melengkung ke bawah. Manyun.

"Emangnya lo tadi pergi ke mana sih Gas? Sampai tidak sempat kasih tau ke Siti," seru Jamal mengutarakan pertanyaannya. Bagas tidak langsung menjawab, dia melirik ke arah ku dalam jangka sebentar, lalu kembali memandang sahabatnya.

"Gue tadi pergi ke taman karena bosan di kamar, sebenarnya gue mau kasih tau ke Siti tapi kemungkinan besar dia pasti tidak ijinin gue pergi, makanya itu gue diam-diam pergi. Terus nggak sengaja ketemu Ray di sana." Bohong. Dia tidak mengatakan yang sejujurnya, bahwasanya dia datang ke taman berniat untuk menemuiku. Ingin rasanya aku mengatakan demikian, tapi sepertinya Bagas memang sengaja merahasiakannya. Mungkin dia tidak mau Jamal memarahi ku.

"Astaga Bagas, kalau Bagas mau ke taman seharusnya bilang aja ke Siti. Siti pasti akan temenin Bagas kok, asal sudah makan, sudah minum obatnya sama sudah istirahat sejenak," balas Siti dengan menampilkan raut kekecewaannya.

"Lain kali jangan begini lagi ya Gas, kita-kita khawatir sama lo," timpal Jamal.

"Maaf soal itu."

"Sudahlah lupakan, semuanya juga sudah terjadi, yang terpenting sekarang lo sudah agak mendingan, itu sudah membuat kami merasa senang." Jamal mengembangkan senyum cerahnya. Mereka berdua tanpa aba-aba langsung berpelukan sahabat. Melihatnya, kedua sudut bibir ku refleks membentuk segurat senyuman simpul. Sedangkan Siti, dia juga ikut tersenyum lebar.

Mereka berpelukan sebentar, lalu kembali ke seperti semula. "Btw, makasih Ray, karena sudah nolongin gue." Bagas mengalihkan pandangannya ke arahku. Dia tersenyum lagi, meskipun bibirnya terlihat pucat.

"Iya."

"Sebentar!" kata Siti agak lantang, dia berjalan mendekat. Memperhatikan penampilan ku dari bawah sampai atas, entah apa yang terjadi tiba-tiba saja dia menutup mulutnya dengan tangan.

Jari telunjuknya mengarah kepada ku. "Ray, ya?!" tanyanya yang ku angguki.

"Astaga, sampai cemasnya Siti sama Bagas, baru sadar kalau yang nolongin Bagas itu Ray!" Nada bicaranya terdengar jelas kegirangan. Hal itu berhasil membuat salah satu alisku terangkat sebelah.

Siti mengaitkan jari-jemarinya dengan jari tangannya yang satu, sehingga membentuk satu kepalan tangan yang ditaruhnya di depan dada. Dia juga menampilkan sorot mata yang berbinar-binar, seolah-olah aku adalah selebriti dadakan. Sikapnya seperti ini membuatku sedikit takut. Wanita itu lebih menakutkan dibandingkan hantu, perlu ku akui itu.

"Kyaaa ... Siti jadi fans sama Ray! Habisnya muka Ray imut banget, kiyowok!" Tanpa di duga, dia menarik tanganku. Ku pastikan kedua bola mataku melebar total.

"Eh Siti, ini rumah sakit biasa, bukan rumah sakit jiwa!" Beruntung Jamal segera menarik pergelangan tangan Siti agar menjauh dariku. Nampaknya Siti memberenggut kecewa.

"Kalau cemburu bilang aja Mal." Bagas terkekeh pelan, ku lihat pipi Jamal berubah jadi merona. Itu sudah cukup mengatakan bahwa Jamal menyukai Siti, ya mana ada sahabat antara laki-laki sama perempuan yang salah satunya tidak menaruh hati. Atau mungkin dua-duanya saling menyukai diam-diam, malu mengatakan sejujurnya karena gengsi.

Tapi sebetulnya lebih enak jadi sahabat saja, karena apa? Karena kalau pacaran dan ujungnya berakhir putus, pasti kalau bertemu akan canggung, tidak seperti dulu lagi. Dan rasanya akan hambar, tidak ada yang menyenangkan, buruknya, persahabatan itu dengan berjalan seiringnya waktu akan kandas. Parahnya ketika saling berpapasan pura-pura tidak saling mengenal, bagaikan orang asing.

Membayangkannya saja ngeri apalagi kenyataan, ku harap tidak begitu nantinya kalau aku mempunyai sahabat perempuan. Tapi mana ada juga perempuan yang mau jadi sahabatku, buru-buru sahabat, teman cewek aja tidak ada. Bukannya tidak ada yang mau mendekatiku, tapi aku yang selalu grogi tiap di dekati perempuan. Ujung-ujungnya juga aku yang salah disini. Kemungkinan ada yang ngomong kalau semua laki-laki itu sama saja. Ya sama, sama-sama mempunyai burung yang ditutupi celana. Astaghfirullah apa yang barusan ku katakan.

"Ray!"

"Hah?" Ingin rasanya mengutuk diri sendiri. Mereka bertiga kompak menatap ke arahku, dijadikan bahan perhatian itu sukses mengolah ku sedikit tidak percaya diri.

"Lo kenapa melamun? Lo sakit?" Lagi Bagas berujar, kali ini dengan menyampaikan dua sekaligus pertanyaan yang diarahkan kepada ku.

Cepat aku menggeleng keras.

"Tidak, aku baik-baik saja."

"Ray jangan melamun disini, ntar ke sambet!"

"Lo diam aja nggak usah ngomong!" ketus Jamal, tidak mau membiarkan Siti mengobrol denganku.

"Ish Jamal apasih?!" Siti mendengkus kasar, tak terima digituin.

Drrrtttt...

"Mal tolong ambilin HP gue," pinta Bagas yang disanggupi Jamal. Sebelum menyerahkannya ke Bagas, dia melihat nama seseorang yang menelpon itu sebentar. Seketika itu juga, dia nampak ragu-ragu untuk memberikan ponsel itu ke Bagas, seperti takut terjadi sesuatu.

"Siapa Mal yang nelpon gue?"

"Om Arsa."

"Coba sini biar gue angkat." Jamal tidak langsung mengembalikannya.

"Gue merasa tidak enak hati Gas kalau diangkat telponnya." Ucapan Jamal yang serius itu malah ditanggapi Bagas akan tawa pelan.

"Yaelah itu Om gue, bukan orang lain. Sini gue angkat, siapa tau ada yang penting."

Walaupun agak ragu-ragu, pada akhirnya Jamal mau juga menyodorkan ponsel itu ke pemiliknya yang asli. Tanpa basa-basi Bagas menggeser tombol hijau, sampai terdengarlah suara keributan di sana.

"Bagas, cepat kamu kesini, orang tuamu bertengkar hebat disini!"

"APA?!"

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang