🍁13🍁

29 14 4
                                    

"Gas, Mal, ayo kita balik! Siti mau pulang ke rumah, Jamal anterin Siti ya?" Datang-datang, Siti langsung menghampiri Jamal. Dia asal nyosor menggenggam tangan si Jamal begitu eratnya. Kasian gue sama Siti, padahal itu tangan yang dia genggam abis menggali emas di lubang hidung.

"Ih, kok gue, sih?! Itu, suruh minta temenin sama Bagas. Gue juga mau balik ke rumah juga kali," tolak Jamal mentah-mentah. Tanpa perasaan dia menepis tangan Siti. Sampai membuat Siti manyun, kayak habis di tinggal suami kawin lagi.

Gue yang tidak terima, refleks menonyor kepala Jamal. "Lo yang disuruh, tuh, malah gue! Gue juga mau ke rumah paman!"

"Terus, Siti pulangnya sama siapa? Hiks." Gue sama yang lain saling melempar pandang dengan ekspresi datar. Gini, nih, kebiasaan banget si Siti suka nangis kalau kehendaknya nggak dituruti.

Kira-kira bokap-nya, sunat dimana, ya jadi bisa punya anak mewek gini. Heran dah gue, nggak habis thinking.

"Kenapa lo nggak minta dijemput aja Sti? Sama siapa kek gitu di keluarga lo. Bukannya nggak mau nganterin, tapi gue mau ke kuburan adek gue dulu habis dari sini." Disaat Siti mengeluarkan jurus puppy eyes teruntuk Adit seorang, secara cepat ditolaknya. Buset.

Gue lihat Siti menghela nafas kecewa pastinya. Dilihat-lihat kasian juga, sih, tapi, ya, mau gimana lagi, gue juga nggak bisa nganterin dia ke rumahnya, mana jauh lagi. Bisa-bisa gue sampai ke rumah paman siang, waktu panas-panasnya. Gue, kan, mau memutihkan kulit, biar diri ini lebih  mempesona di kaum hawa.

"Siti tau kok kalian pada nggak bisa, tapi Siti nggak tau harus minta tolong sama siapa lagi. Bapak sakit, ibu trauma naik motor habis kecelakaan, terus adik Siti masih kecil. Nenek sama kakek juga tidak mungkin jemput Siti kesini. Kalau abang Siti, sih, bisa aja jemput, tapi bannya pecah, dia malam tadi ngasih taunya. Ya sudah, deh, kalau gitu, Siti nggak jadi pulang ke rumah. Oh, ya, Azam, makasih, ya, jamuannya. Siti mau balik ke kos dulu."

Kami semua pada terdiam, menatap punggung Siti yang mulai menjauh dari pandangan kita-kita. Penjelasannya tadi membuat gue merasa bersalah, padahal gue bisa aja ke rumah paman besok. Jahat banget gue, ya? Nggak peka sama dia.

"Gue aja, dah, yang nganterin Siti ke rumahnya," final Alvin ujung-ujungnya. Kemungkinan besar dia tidak tega, sama halnya dengan gue.

"Nggak usah, biar gue aja. Makasih, ya, Zam makanannya, nanti gue besok kesini lagi numpang makan, ya?" Kami pada melirik Jamal yang beranjak dari duduknya. Gue dapat mencium-cium aroma cemburu disini. Heh! Sudah gue duga, si Jamal naksir sama Siti. Sudah tidak diragukan lagi.

"Serius?" Pertanyaan Alvin dijawab anggukan mantap dari Jamal.

"Hm, kami pulang dulu. Thanks, Zam, sama halnya dengan Jamal, besok numpang makan, oke?" Gue menyengir kuda, menanggapi raut wajah Azam yang datar kayak tembok.

"Iya-iya serah lo pada, dah!"

"Wah, kalau gitu kami-kami besok kesini juga mau makan! Iya, kan, guys?!" Suara cempreng Alvin mengolah kami serentak mengacungkan jari jempol. Kami pada tertawa melihat Azam yang lagi menampilkan senyum paksa, di balik senyuman itu ada sejuta sumpah serapah pasti.

***

Sudah hampir satu jam gue ditinggal sendiri sama Siti dan Jamal di kos. Siti yang awalnya galau merana tadi seketika langsung ngejreng ketika Jamal menawarkan diri mau mengantarnya. Gue salut sama Jamal, dia dengan gagah berani mendatangi calon mertua. Seharusnya tadi dia bawa minyak goreng aja, sebagai hadiah buat ibunya Siti. Pasti tuh suka banget.

Drrttt ...

Gue mengambil HP di atas meja, disitu terpampang jelas nama adek gue, siapa lagi kalau bukan Joni seorang. Tumbenan, nih, anak nelpon, setelah sekian lama gue merantau di Jakarta dia sama sekali tidak menelpon ataupun berbalas pesan.

"Masih hidup lo?"

"Gila lo Bang, sama adek sendiri juga!"

Mendengar suaranya dari sebrang sana, berhasil mengolah gue terkekeh kecil.

"Malah ketawa! Nggak lucu tau!"

"Ya, gue ketawa karena suara lo masih jelek." Meski lewat telpon, gue masih bisa mendengar hembusan nafas kesal dari dia. Hal itu makin membuat gue terkikik geli.

"Ngeselin!"

"Tumben lo nelpon, pasti ada maunya, kan?" tebak gue ke to the point. Gue hapal betul sama adek gue satu-satunya ini.

"Hehehe, tau aja lo, Bang. Untuk menjalin kesejahteraan saudara, alangkah baiknya pinjem duit dulu  lima ratus ribu."

Sudah gue duga, nih, anak layak buat dimusnahkan. Kalau gue ada di dekatnya, tuh, biji di dalam sempak kempes sebelah.

"Buat apaan?!"

"Ngajak pacar gue jalan."

"Kalo nggak punya duit, minimal punyak otak, lah!" jawab gue ngegas, tak peduli walau sama adek sendiri. Lagian, mau banget pacaran tapi keuangan kere. Modal ganteng doang tapi belum kerja sudah pasti di tendang mertua.

"Please, lah, Bang. Jangan pelit dong sama adek sendiri."

"Ogah! Tinggal putusin aja tuh pacar apa susahnya? Mikir dong, Jon, lo itu masih sekolah, belum kerja lagi. Semisal ditanya orang tuanya, apa yang bisa lo kasih buat anaknya, lo bakal jawab apaan?!"

"Ada kok, nih, kontol gue ganas."

Sebelah tangan gue mengepal kuat, bisa-bisanya, nih, anak, ya. Kebangetan banget sialan. Adek siapa, sih?!

Oh iya lupa, adek gue.

"Nggak! Minta duit, tuh, sama mama atau ayah!"

"Gue kabur dari rumah."

Ucapannya barusan menjadikan gue terdiam sesaat. Dari bicaranya kayaknya dia tidak bohong. Kemungkinan besar dia sudah muak kayak gue, sudah gue ramal pasti akhirnya akan seperti ini.

"Lo sekarang dimana?"

"Lo tidak perlu tau, karena gue yakin lo bakal kasih tau ke mama atau ayah."

"Gue ngg--"

'Tut!

Gue mendesis geram, tatkala Joni asal-asalan memutuskan telpon secara sepihak. Mana gue belum tuntas ngomong lagi. Gue kembali melakukan panggilan, tapi nomor Joni langsung tidak aktif. Pasti sengaja ponselnya di silent, biar gue tidak bisa menghubunginya lagi. Bisa jadi, dia bakal ganti nomor.

Ah, sial! Padahal hari ini hari raya, kenapa keluarga gue masih aja kayak gini?! Ini semua gara-gara mama sama ayah yang selalu saja ribut. Gue kira semenjak gue ke Jakarta, mereka bakal damai, menyadari kelakukan mereka. Ternyata pikiran gue itu jauh meleset, nyatanya mereka makin menjadi-jadi. Sampai-sampai membuat Joni minggat, padahal dia itu orang yang penyabar dibandingkan gue. Walau kadang sifatnya menyebalkan kayak tadi.

Gue termenung di kursi plastik, sembari memijit dahi. Tanpa gue sadari, cairan bening pada turun membasahi pipi. Secara cepat gue menepisnya kasar, cowok tidak boleh cengeng. Sehabis magang selesai, gue bakal balik ke Bogor sementara, mau mencari keberadaan Joni. Gue khawatir sama tuh anak. Gini-gini pun, gue sayang sama dia, bagaimanapun juga dia tetap adek gue.

Untuk menenangkan hati, gue menghela nafas panjang, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Gue mau ke rumah paman, pasti dia lagi menunggui kehadiran gue disana. Buru-buru gue mengambil jaket, dan helm. Kasian, gue tinggal sendirian semenjak ditinggal istrinya selama-lamanya, dan juga paman gue tidak punya anak. Makanya itu, gue lah yang menemani beliau ke sini. Terus melanjutkan sekolah di sini, jadinya magang disini juga. Karena jarak tempat magang ke rumah terbilang cukup jauh, mau tidak mau harus ngekost. Sama seperti halnya dengan Siti serta Jamal.

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang