"Gas, sadar Gas!"
"Istighfar Bagas!"
"Ti coba bacain yasin."
"Siti masih haid Mal."
"Yaudah, bacain doa makan, buruan! Biar gue yang coba bangunin anak tuyul ini."
"Bismillahirrahmanirrahim ..."
"Hosh hosh hosh ...! Jamal, Siti, hiks hiks ... awokawokawok." Gue langsung memeluk kedua karib gue sambil menangis tersedu-sedu. Kejadian tadi benar-benar menguji iman kejantanan gue. Buktinya, gue sampai sekarang merasa sangat ketakutan.
"Lo kenapa Gas, nangis kenceng kayak ditinggal kawin gini?"
"Iya, emangnya kenapa Gas? Mimpi buruk, ya?"
Gue mengangguk, mengiyakan pertanyaan Siti. Dimana gue masih memeluk mereka berdua, rasanya enggan sekali untuk melepaskan. Takut-takutnya, hantu tadi mendekati gue lagi. Pokoknya gue nggak mau ditinggal sendirian lagi, trauma.
"Sudah-sudah cengeng amat, pengap ini gue!" Jamal mendorong gue tanpa perasaan, gue masih terisak-isak. Kejadian horor tadi masih saja mengarungi otak gue.
"Ih, Jamal jangan kasar gitu dong, kasian Bagas. Kayaknya dia ketakutan banget, tuh liat mukanya sampe pucat gitu."
Gue hanya diam. Mulut gue seolah-olah ada yang mengunci rapat-rapat. Bibir gue terasa gemetaran, entah kenapa gue masih saja merinding ketakutan. Padahal dihadapan sudah ada Siti sama Jamal, seharusnya nggak ada yang perlu ditakutkan lagi.
"Iya-iya maaf, Ti ambil air putih buat Bagas."
"Okey siap!" Siti beranjak pergi ke arah dapur. Meninggalkan gue sama Jamal berduaan. Pengen banget rasanya gue menonjok Jamal saat ini juga. Enak-enaknya dia mentertawakan gue yang masih sesegukan, gue doain semoga dia juga kena teror penghuni kost ini.
"Biar gue tebak, lo ketakutan karena Udin chat, terus takutnya sampe kebawa mimpi. Iya, kan?" tanyanya, sambil menaik-turunkan alis. Mengingat nama Udin bikin bulu kuduk meremang lagi.
"Ha-ha-ha santai Gas, serius amat tuh muka. Lo tenang aja, yang ngirim chat itu kembarannya Udin, si Udan, masa lo lupa sama dia? Tadi pagi gue coba chat nomor Udin terus dibalas, awalnya gue juga kaget, ngira kalau Udin jadi arwah gentayangan. Eh, tau-taunya, HP-nya sudah pindah tangan ke Udan. Katanya dia lupa mengasih tau kalau dia pake HP Udin ke elu," terang Jamal, serius kayaknya. Gue mengelap ingus pakai ujung baju, nggak apalah, lagian juga gue belum mandi. Seenggaknya, hati gue sudah lumayan tenang dibanding tadi.
"Serius?"
Jamal mengangguk mengiyakan, gue hanya bisa mengelus dada lega.
"Nih Gas minum dulu."
Secangkir air bening tanpa rasa disodorkan Siti. Gue meraihnya, lalu meminumnya sampai tandas, tak bersisa. Sisa air di bibir gue lap dengan kerah baju. Alhamdulillah, tenggorokan gue nggak kering lagi.
"Btw, lo mimpi apaan Gas?"
"Iya, Siti juga penasaran, mimpinya tentang apa? Sampai keringetan gitu,"
"Itu, gue mimpi ..."
'Tok! Tok! Tok!
Serentak kami bertiga menaruh pandang ke arah luar. Sepertinya ada seseorang yang bertamu, Jamal turun dari ranjang dan berjalan keluar. Gue sama Siti saling bertukar pandang, lalu saling menggidikan bahu.
Tak lama kemudian, ada bayangan dua orang yang berjalan kemari. Gue sama Siti terus-terusan memfokuskan pandangan, siapa kiranya yang datang berkunjung kesini.
Hampir saja gue jatuh ke bawah, habisnya orang yang berjalan di belakang Jamal adalah orang yang muncul di mimpi buruk gue. Beruntung saja, Siti secepat kilat menarik lengan gue. Kalau tidak, gue sudah jatuh. Memalukan.
"Kenapa Gas? Kayak habis liat setan aja."
"Tau, nih, si Bagas, untung Siti cepat narik tangannya. Kalau enggak, benjol tuh kepala kena meja."
Gue cuma diam, tak bergeming ditempat, sambil menundukkan kepala ke bawah. Menutup mata pakai telapak tangan.
"Lo apain Bagas Ti?"
"Siti nggak ngapa-ngapain kok!"
Jamal menggoyang-goyangkan bahu gue. "Gas, lo kenapa, sih, hah? Nggak kayak biasanya, lo kayak gini bikin gue khawatir! Tuh ada Caca, jangan malu-maluin!"
Gue geleng-geleng kepala, nggak mau membuka mata. Siapa tau aja, itu bukan Caca, tapi hantu yang lagi menjelma jadi manusia. Hantu itu benar-benar mengerikan, bikin gue mau kencing di celana. Baju dan kerudung yang dipakai Caca juga sama miripnya dengan yang ada di mimpi. Persisnya lagi, Caca juga membawa sebuah mangkok, entah apa itu isinya. Mungkin kepala manusia.
"Mal, coba periksa dahi Bagas, siapa tau dia kena demam tagihan hutang,"
Sesuai perintah Siti, Jamal menaruh punggung tangannya ke dahi gue. "Nggak panas kok, Ti."
Gue sedikit merenggangkan jari-jari tangan, tanpa diduga, tatapan gue saling bertamu dengan mata kecoklatan Caca. Dia menatap gue tak berkedip, gue langsung menutup mata lagi. Kali ini lebih kuat.
"Dia sebenarnya kenapa Mal? Ti?"
"Kami berdua juga nggak tau Ca, kami juga baru-baru datang kesini, tau-taunya si Bagas menjerit-jerit kayak banci."
Ingin rasanya gue membotaki pantat Jamal sampai terlihat tulangnya saja.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Подростковая литератураStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️