🍁Bab 46🍁

20 9 0
                                    

"Heh mana tuh anak?"

"Siti juga nggak tau, aduh kemana si Bagas ya? Siti khawatir."

"Ti gini aja, mending kita mencar supaya Bagas cepat ketemu. Lo pergi ke arah kiri, gue pergi ke arah kanan, sekalian nanya ke orang-orang apa liat Bagas atau enggak. Tunjukin aja foto Bagas kalau nggak mau ribet, semisal ketemu langsung telpon gue, ngerti?"

"Iya Siti ngerti, Jamal juga ya kalau ketemu Bagas langsung telpon Siti."

"Oke, oh iya kalau ketemu Caca ataupun nyokapnya jangan kasih tahu hal ini. Jangan sedikitpun lo kasih tau ke mereka tentang Bagas, kondisi Bagas biar kita berdua saja yang tau."

"Terus Siti kudu jawab apa?"

"Ya lo mikir dong Siti, apa kek gitu alasannya. Jangan tergantung sama gue terus, pikir sendiri asal masuk akal! Sudahlah buruan cari Bagas!"

"Iya-iya Jamal!"

Sedari tadi aku menguping pembicaraan mereka dari balik tembok. Kira-kira apa yang sedang mereka rahasiakan? Sampai-sampai cowok itu menyuruh cewek tadi buat berbohong soal Bagas. Memangnya si Bagas kenapa? Tanpa sengaja mataku terpaku ke luar jendela, disana ada seseorang yang hujan-hujanan tanpa ada pelindung sedikitpun yang melindungi dirinya dari derasnya air hujan. Orang itu berdiri membelakangiku, sehingga tidak bisa mengira siapa orang itu.

Karena penasaran yang tinggi, aku berjalan mendekati jendela tersebut. Dan meneliti penampilannya. "Baju krim, apa jangan-jangan itu---" Tidak sampai bermenit-menit lamanya, aku sudah kenal siapa orang itu. Dia adalah Bagas. Takut kenapa-kenapa dengannya, aku segera menyusulnya. Mengabaikan tetesan air hujan yang makin lama makin membuatku basah kuyup. Sekarang aku sudah berdiri tepat di belakangnya, dari jarak dekat begini dapat di lihat kedua bahunya yang gemetar hebat.

"Bagas." Ku tepuk pelan pundaknya, dia pun menoleh ke arah ku. Detik itu juga aku tidak bisa berkata-kata lagi, sebab Bagas seperti mayat hidup berjalan. Mukanya makin pucat pasi, layaknya tidak punya darah. Nampak dia terkejut akan kehadiran ku yang tiba-tiba saja ada di sampingnya.

"Lo ngapain hujan-hujanan Ray? Ntar lo sakit!" ucapnya nyaring, diringi akan bunyi gemuruh yang bersahutan.

"Kau yang kenapa ada disini?! Ayo ikut aku." Sedikit lagi tangannya ku pegang, namun dia dengan cekatan menariknya agar aku tidak dapat menggapai tangannya.

"Nggak, gue mau tetap disini. Lo aja sana pergi, jangan ikut-ikutan!" usirnya yang membuat emosiku jadi naik.

"KALAU ADA MASALAH BUKAN BEGINI CARANYA BEGO! JANGAN MENCARI PENYAKIT! MESKIPUN KITA BELUM LAMA KENAL TAPI AKU KHAWATIR SAMA KAMU KAYAK GINI. NGGAK MIKIR APA SAMA TEMAN-TEMANMU YANG CEMAS SAMA KAMU HAH?! MIKIR NGGAK BEGO!" Baru pertama kali aku membentak seseorang, apalagi menyebutnya dengan kata-kata kasar. Paling tidak suka sama orang yang punya masalah tapi langsung nyari penyakit. Seakan-akan pasrah sama keadaan.

"LO NGGAK TAU APA-APA SOAL GUE RAY! ANDAI LO ADA DI POSISI GUE LO JUGA PASTI AKAN MELAKUKAN HAL YANG SAMA!"

Berhasil sudah dia membuat emosi ku kian memuncak. Walaupun air hujan turun dengan derasnya, aku tau dia lagi menangis. Dia memanfaatkan air hujan agar menutupi kesedihannya. Dia berpura-pura kuat, nyatanya tidak. "YA MEMANG, AKU TIDAK TAU APA-APA TENTANGMU. MAKA DARI ITU MULAI SAAT INI JUGA AKAN INGIN TAU APA-APA DARIMU. JADI STOP, JANGAN CARI PENYAKIT SEPERTI INI!" Tanpa menunggu balasan, aku langsung menarik tubuhnya dan membawanya berpelukan. Ku rasakan tubuhnya yang bergetar, dia pun membalas pelukanku sambil terisak. Sebuah isakan yang membuktikan betapa sakit hatinya.

"Menangislah biar kau bisa tenangm"

Bagas makin menangis, dapat terdengar jelas suaranya itu. Dia makin mempererat pelukan, sesekali meremas bajuku yang sudah basah kuyup. Dan menenggelamkan wajahnya ke bidang dadaku. Dia sebenarnya lagi berusaha menutupi kesedihannya itu, tetapi tidak bisa. Aku mengusap punggungnya pelan, memberikan sedikit energi buatnya.

"Berjanji sama gue Ray, lo nggak akan tinggalin gue please." Bagas mengangkat kepalanya, sehingga mata kami saling beradu.

"Ya, aku berjanji tidak akan meninggalkanmu." Bagas tersenyum mendengarnya, dia memeluk ku lagi.

"Makasih."

Aku menganggukan kepala sedikit, mengiyakan ucapannya barusan. Sepertinya ini memang takdir mengapa kami dipertemukan.

"Bagas, mending kita berteduh daripada hujan-hujanan begini. Yang ada kita malah jatuh sakit nanti."

Entah dia mendengar omonganku atau tidak, tapi yang pasti dia sama sekali tidak bersuara. Aku juga merasakan betapa beratnya beban yang ditanggung, saat itu juga aku merasa was-was. "Hei, kau kenapa?!" Tubuhnya ku dorong sedikit, memastikan apakah dia pingsan atau tidak. Dan benar saja, dalam hitungan detik tubuhnya ambruk ke tanah. Karena jatuhnya reflek begitu saja, aku tidak sempat menahannya.

"Bagas sadar!" Berulang kali ku tepuk kedua pipinya bergantian. Namun tidak ada reaksi sedikitpun. Daripada kelamaan menunggu dia sadar, secepat mungkin aku berlari meminta pertolongan  di rumah sakit.

Kebetulan ada perawat laki-laki yang sedang berbincang dengan suster, segera ku beritahu tentang Bagas yang pingsan di depan rumah sakit. Mereka pun dengan cepat mengikuti langkah kakiku, sampai pada akhirnya Bagas di bawa masuk ke dalam buat di periksa. Tapi sebelum itu, terlebih dulu dia di ganti pakaiannya dengan pakaian kering. Begitupun juga denganku, terpaksa memakai baju pasien.

Padahal ingin sekali masuk ke dalam ruangan dimana Bagas di periksa, tetapi tidak diperbolehkan. Terpaksa aku menunggu di depan. "Ah iya, teman-temannya pasti masih mencari Bagas dimana. Apa ku cari saja mereka? Tapi kalau dokternya keluar terus tidak ada siapa-siapa disini 'kan heran. Ck! Bentar, mending minta nomor Om Arsa ke papa aja kali ya? Nah boleh juga nih, eh? Astaga Rayyen!" Ingin rasanya ku pukuli kepikunan ini. Aku lupa kalau tidak membawa HP, apes banget. Setiap ada keperluan pasti lupa! Argh!

"Lo sudah ketemu Bagas belum?"

"Belum, Siti daritadi nggak nemuin Bagas, orang-orang yang Siti tanya juga nggak pada liat."

"Aduh Ti, gue khawatir sama dia! Takut dia kenapa-kenapa, gue tau dia pasti sulit menerima kenyataannya."

"Siti juga paham sama kondisi Bagas, tapi mau bagaimana lagi? Siti yakin Bagas masih ada disini, tidak mungkin juga dia pergi, toh di luar masih hujan."

"Huh, mending kita istirahat dulu Ti."

"Itu kan teman-temannya Bagas." Mereka berdua nyaris saja pergi, beruntung aku dengan cepat menahannya sehingga mereka tidak jadi pergi. "Tunggu!"

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang