"Apa kata nyokap gue?"
"Gue nggak angkat telponnya, takut salah omong. Jadi gue biarin aja, eh tau-taunya nyokap lo malah kirim pesan. Nanya lo dimana."
"Terus lo balas apa?"
"Nggak gue balas apa-apa, nanti kalau ketemu atau nanya lagi, gue tinggal bilang aja kalau lagi nggak megang HP."
Gue memegang kedua bahu Jamal, lalu mengacungkan jempol mantap, tepat di depan wajahnya. "Bagus Bro, thanks! Saran gue, lo blokir aja nomor nyokap gue," titah gue tak main-main, seraya melepaskan tangan dari bahu Jamal, gue menyenderkan tubuh ke tembok. Dan bersedikap dada. "Btw, kok nyokap gue punya nomor lo?"
"Kemarin nyokap lo minta nomor gue, ya sudah gue kasih aja," jawabnya enteng, yang mengolah gue menepuk jidat pelan.
"Seharusnya lo nggak usah kasih nomornya njir, bilang aja kalau HP lo rusak, lagi di servis."
"Tapi tetap juga nanti nyokap lo nanya berapa nomor HP gue."
Lagi dan lagi, gue menepuk jidat dan memijit batang hidung sekejap. Kenapa teman gue kek gini ya ampun, bikin esmosi. Eh, emosi maksudnya. "Kan tinggal bilang, lo nggak ingat nomornya berapa. Aduh Jamal-Jamal, gini nih waktu pembagian otak lo malah pergi ke wc."
"Semisal gue bilang seperti apa yang lo katakan tadi, bisa saja nyokap lo minta nomor ke Siti lebih parah lho. Lo tau sendiri Siti itu kayak gimana, mulutnya ember, suka keceplosan terus kalau ngomong. Pokoknya, dia itu paling sulit buat diajak main rahasia."
Benar juga apa yang dibilang Jamal, kalau nyokap minta nomor Siti bisa berabe. Memang sih, soal permasalahan keluarga gue cuma gue kasih tau ke Jamal seorang. Makanya dia tadi nggak berani angkat telpon dari nyokap, ini sih yang gue suka dari Jamal. Dia itu bisa jaga rahasia rapat-rapat, tanpa bongkar sana-sini ke teman-teman yang lain. Lumayan juga cerita ke Jamal, setidaknya suasana hati gue agak lebih damai, dibanding di simpan dalam-dalam sendirian.
"Hm, iya juga sih. Nanti bilangin ke Siti, kalau nyokap gue mau minta nomornya bilang aja hp-nya rusak."
"Kenapa harus gue? Bilang aja sendiri nanti."
"Gitu amat sama teman, bantuin ngapa dah. Sehabis dari rumah sakit ini gue ada urusan."
"Halah, sok sibuk. Urusan apa coba?"
Gue mendekatkan mulut ke telinga Jamal, gue mulai membisikkan sesuatu disana. "K-e-p-o." Empat huruf, singkat, padat dan jelas. Gue pun beranjak pergi duluan, tanpa mendengarkan bacotan Jamal.
"Itu 'kan?" Sengaja gue menyipitkan kedua mata, mempertajam penglihatan. Di depan kamar mas Bram, ada seorang cowok yang tidak asing rasanya. Kayak pernah liat, tapi dimana? Tak ingin diliputi penasaran, gue mendekati cowok itu. Seketika itu juga, gue langsung kenal siapa dia. Seseorang yang meremehkan gue di jalan tadi.
"Wah lo 'kan yang mengejek gue tadi? Ngaku nggak lo!" tunjuk gue, tepat di batang hidungnya. Dia menurunkan kaca matanya, dan menatap gue dari bawah sampai atas. Emang pada dasarnya gila kali ya, dia malah ketawa merendahkan. Dikira gue lagi melawak apa?
"Emang ya, dunia itu sempit. Buktinya gue malah ketemu lagi sama orang modelan kacang ini hahahaha ...!"
Kedua tangan sudah mengepal kuat, rasa ingin memukulnya membabi buta sangatlah tinggi. Tetapi gue harus menahannya, apalagi ini ada di rumah sakit, bisa ditendang satpam gue yang ada. Parahnya lagi, kalau Caca liat gue berantem ntar dia bakal ngira kalau gue orang yang beringas, keji, kasar, emosian, kan ngeri. Bisa takut dia disisi gue.
"Ketawa mulu lo, lawak! Nggak usah ngatain gue kayak modelan kacang, noh lo pergi ke toilet ngaca di sana."
"Gue sudah ngaca, dan gue ganteng." Si cowok songong dengan sok kecakepan mengambil sisir di kantong celananya. Buat apalagi, selain menyisir jambul rambutnya yang mirip dengan jambul ayam itu.
"Cih, kepedean akut. Ngapain lo di sini?"
"Eh kacang, lo pikir ini rumah sakit punya nenek moyang lo? Terserah gue dong mau kemana kek, itu bukan urusan lo!"
"Anjing, ngelunjak lo ya! Gara-gara lo, muka gue kena air kubangan. Dan muka gue jadi kotor, itu semua karena lo! Bukannya minta maaf, ini malah ngatain. Geser ya otak lo?" Gue membentuk garisan miring di dahi dengan menggunakan jari telunjuk. Itu tanda bahasa lewat gerakan tubuh yang berarti stres.
"Banyak bacot lo kacang, lo itu memang pantas dapatin itu. Karena apa? Karena ya lo kacang."
"Apasih nggak jelas, itu ngomong apa lagi kumur-kumur?" ketus gue tak terima dikatain kacang. Gila amat, gue yang ganteng ini disamakan sama kacang. Lebih gilanya, ini orang kayaknya otaknya pindah ke dengkul. Buktinya dari tadi ketawa haha hihi nggak jelas. Curiga gue kalau dia adalah orang sakit jiwa. Positif thinking saja, dia ini pasien dari RSJ yang kabur.
"Minggir lo kacang, ngalangin jalan gue aja!"
"Lah, lo kali yang salah ruangan, dasar babi ngepet!"
"Hah apa lo bilang tadi? Babi ngepet? Nggak salah tuh? Apa nggak kebalik?"
"Budeg ya kuping lo? Kebanyakan tai telinganya makanya budeg," ucap gue makin memanasi dirinya. Nampak wajahnya memerah karena marah, gue menyukai pemandangan ini.
"Bangsat lo kacang!"
Gue menjulurkan lidah, dan menarik kedua kantong mata ke bawah. Mengejek.
"Anjing luh!"
'Cklek!
"Ya ampun ini ada apa? Kok ribut-ribut kayak debat pilkada aja."
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Подростковая литератураStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️