🍁25🍁

33 9 1
                                    

"Ngaco lu, dianya aja udah punya pacar, yakali cemburu sama gue. Aneh-aneh aja," bantah gue, melemahkan argumen Siti.

"Siapa tau aja Azam salah dapat info, bisa aja sebenernya Caca itu nggak punya pacar. Salah Bagas juga,  sih, kenapa nggak tanya langsung tadi sama orangnya."

Gue mencubit paha Siti saking gemasnya sama ini anak.

"Ah, ah~~~sakit, ih, Bagas!"

"Njir, malah mendesah. Semisal gue nanya sama dia, dimana say naruh, nih, muka? Nggak punya urat malu amat nanya begituan."

"Muka ya muka, tempatnya tetap disini, nggak akan pindah-pindah kok." Dengan gobloknya Siti menunjuk mukanya sendiri. Bisa gila lama-lama gue temenan sama Siti, apalagi satu atap bareng. Sudah tidak tertolong cewek ini.

"Stres gue Ti ngomong sama lu."

Siti mengerucutkan bibir, tapi sayangnya gue nggak peduli.

"Eh, eh, Gas!" Datang-datang, Jamal langsung meloncat ke atas sofa. Membuat gue sama Siti terjungkal sedikit. Dia menerobos masuk di tengah-tengah kami.

"Ish Jamal untung Siti nggak terjungkal tadi!"

"Bacot lu wibu!"

Lagi-lagi, Siti mengerucutkan bibir. Manyun. "Nggak usah manyun, makin jelek lu," timpal gue, mengompori. Siti menghentakkan kakinya ke lantai, sampai bunyi duk duk.

"Ngeselin kalian, ah!" Siti memalingkan muka, dia bersedikap dada. Merajuk lah tuh, bodo amat, dah. Ntar dia nggak bakalan ngambek lagi. Wong orangnya itu nggak bisa diem. Lincah, kayak Kancil. Pasti nggak tahan merajuk terus, tanpa ngomong sama kami. Bosen yang ada.

"Eh Gas, kok gue curiga ya sama Caca, kalau dia itu naksir sama lu. Tadi dia, kan, nanya gini 'Sebegitu besarnya kamu peduli sama Siti, ya, Gas?' Nah, kayak gitu tadi kalau nggak salah. Hayo lho ..." Jamal menunjuk muka gue, sambil menutup mulutnya.

"Nah, benar apa yang Siti bilang tadi, Caca itu suka sama Bagas kayaknya," sahut Siti ikut-ikutan. Tuh, apa kata gue, dia nggak sanggup diem doang kayak kucing ngidam.

"Terus tadi dia juga nanya sama kita, kenapa ngekost bareng. Wah, wah, tanda-tanda, nih, Gas. Gini aja, biar nggak penasaran, kita tanya aja sama abangnya Caca. Suruh dia jangan kasih tau ke Caca kalau kita nanya soal adiknya yang suka sama lu atau tidak. Eh, nanya dulu, Caca itu punya pacar atau tidak."

"Setuju! Siti setuju! Siti nggak mau buat Caca cemburu sama Siti."

"Kalian ini ngomong apasih? Caca itu cuma nanya doang, pikiran kalian sampe kesitu. Mengira kalau Caca suka sama gue. Nggak usah nanya ke mas Bram, malu-maluin gue aja tolol," sungut gue tidak terima. Padahal seharusnya gue senang semisal Caca naksir sama gue. Tapi kenyataannya, gue merasa biasa-biasa aja. Apa jangan-jangan gue udah mati rasa ya sama Caca? Lah, apa iya? Kok bisa, sih? Ah, tau, ah!

"Lah, seharusnya lo senang, kalau Caca beneran suka sama lo. Aneh," ucap Jamal, yang membuat gue jadi terdiam.

"Bagas nggak suka sama Caca lagi, ya? Jadi reaksinya biasa-biasa aja gitu."

"Haduh, kalian ini bisa diam nggak, sih? Bikin pening kepala gue aja! Lupain dah masalah begituan, unfaedah banget." Gue mengambil HP dari atas meja, lalu membuka WhatsApp. Dari ekor mata, Jamal dan Siti saling bertukar pandang.

"Daripada ngurusin gue urusin aja hubungan kalian berdua," cerocos gue lancar, tanpa titik dan koma. Alhasil, di kedua sisi pinggang gue dicubit oleh mereka berdua. Ya, siapa lagi pelakunya kalau bukan Jamal sama Siti.

"Najis banget gue sama dia!"

"Dih, Siti juga milih-milih nyari cowok!"

Gue menatap mereka berdua satu-satu dengan datar. "Shut, ribut mulu lu pada! Nih, coba kalian lihat." Gue membuka WhatsApp lagi, lalu mencari-cari nama kontak seseorang. Setelah ketemu, gue langsung memencet foto profilnya. Jamal maupun Siti merapatkan dirinya ke gue. Cahaya layar gue tingkatkan supaya mereka berdua lebih jelas melihatnya.

"Dia siapa Gas?" tanya Jamal, sambil menaikkan dagunya sedikit. Gue hanya tersenyum simpul sesaat.

"Ray," jawab gue singkat.

"Dia imut banget, aaa ... kiyowok! Gemes banget, sih, Siti suka deh liatnya. Dia siapa Gas? Siti mau kenalan sama dia. Aaa ... gemoyyy!!!" Siti menunjuk foto Ray, seraya teriak-teriak nggak jelas, kayak orangnya. Gue melirik ke samping, dimana ekspresi Jamal berubah seperti tidak suka. Jamal, Jamal, kalau suka ya tinggal bilang.  Kelihatan banget cemburunya.

"Teman baru gue, kenapa? Kalah imut, ya?"

"Hooh, ih gemes, deh, kapan-kapan ajak dia kesini dong. Ya, ya, ya, please." Siti memasang puppy eyes-nya, dimana kedua tangannya menangkup. Memohon.

"Lo kenal sama dia dimana?" Gue memalingkan muka, menghadap Jamal.

"Panjang kalau diceritain."

"Disingkat."

"Rumah sakit."

"Oh." Jamal ber'oh kecil, untunglah teman gue yang satu ini tidak bore.

"Bagas dapet WA dia minta langsung ke dianya, ya? Siti minta dong wa-nya," tanya Siti yang gue balas dengan gelengan kepala. Nyatanya, gue dapat wa Ray dari om Bram. Itu sih diam-diam mintanya, tanpa sepengetahuan Ray. Kalau gue minta langsung sama dia, sudah pasti nggak bakalan dikasi. Ini pun gue sama sekali belum chat dia.

"Nggak akan gue kasih!" tolak gue mentah-mentah.

"Minta, dong, Siti mau temenan sama dia! Eh, Ray itu umurnya berapa? Tinggal dimana? Sekolah dimana?" Beberapa pertanyaan Siti gue tanggapi dengan menepuk jidat. Bore banget, nih, cewek.

"Banyak tanya lo!" Jamal beranjak pergi, meninggalkan gue dan Siti yang kebingungan sendiri. 

"Gas, Jamal kenapa, sih? Kok marah-marah mulu dari tadi, kayak cewek lagi datang bulan aja."

"Ya mana gue tau, tanya aja sama dia." Gue pun ikut pergi, menyisakan Siti seorang diri, dimana dia lagi menggaruk kepala. Kutuan kali.

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang