🍁Bab 61🍁

23 8 0
                                    

"Ugh." Gue terbangun dari pingsan, hal pertama kali gue lihat adalah ruangan yang asing, dengan nuansa putih seutuhnya. Indra penciuman gue langsung peka akan bau obat-obatan yang menusuk. Tidak salah lagi, gue sekarang ada di rumah sakit, terlebih lagi di tangan kiri gue ada selang infus.

"Gas, lo sudah sadar? Apa yang sekarang lo rasain?"

Baru juga siuman, Jamal sudah memberikan pertanyaan sekaligus. Ketika mulut ingin bicara, Tiba-tiba saja dada gue terasa sesak, akibatnya gue kesulitan nafas. Bukan hanya itu saja, gue juga mendadak menggigil kedinginan, yang mana tubuh juga menjadi panas. Gue hanya bisa menatap langit-langit plafon, berusaha menarik oksigen agar masuk ke dalam hidung, namun sangat sulit dilakukan.

"Jamal, Bagas kenapa?!"

Terdengar Siti menangis, gue tidak dapat memperhatikan keadaan lebih detail lagi, lantaran nafas kian sesak. Seingat gue, tidak pernah memiliki riwayat asma, bahkan keluarga gue juga tidak ada yang mengidap asma. Apa ini adalah salah satu gejala yang timbul karena penyakit leukima yang gue derita ini? Ya Tuhan, tolong, ini sangat sakit, jika hari ini adalah hari terakhir bisa bernafas di dunia, tolong jangan cabut nyawa hamba mu sesakit ini. Maafkan atas semua dosa yang sudah umat mu lakukan ini Tuhan. Ampunilah.

"Ti, lo jaga Bagas, gue mau nyari dokter!"

"Ya ya, buruan Mal. Ya tuhan jangan ambil Bagas secepat ini, Bagas yang kuat ya? Jangan tinggalin Siti sama Jamal."

Jamal pov

"DOKTER, SUSTER, CEPAT KE SINI BURUAN! AH BANGSAT LAMA!" Ingin rasanya gue menyumpahi rumah sakit ini, karena pelayanannya sungguh lelet sekali kayak jaringan 3g.

Tak mau buang-buang waktu, gue berlarian kesana-kemari. Beruntung gue akhirnya menemui dokter Stefan yang pernah memeriksa Bagas beberapa hari yang lalu. "Dok tolongin sahabat saya! Di---dia sesak nafas, tolongin dia dok!" Tanpa terasa, cairan bening meluruh begitu saja. Sungguh takut kehilangan Bagas, gue tidak rela dia pergi meninggalkan kami secepat ini.

Dokter Stefan juga tak kalah panik, dia mengambil langkah kaki seribu, diiringi gue di belakang. Sesampainya di dalam, dokter Stefan menyuruh kami berdua agar keluar dari ruangan, agar pemeriksaan yang dilakukannya lebih tenang dan tidak gegabah. Saat kami keluar, ada satu suster yang masuk begitu terburu-buru, baru setelah itu pintu tertutup sempurna. Siti kian menangis kencang, gue pun segera menarik tubuhnya dan mendekapnya, upaya sedikit menenangkan hatinya. Sekarang gue juga tidak bisa berkata-kata lagi, gue juga ikutan hanyut dalam tangisan. Rasanya tidak sanggup melihat teman dekat menderita seperti itu.

"Jamal, mending telpon Joni sekarang, kasih tahu soal ini. Sebelum semuanya terlambat, ntar mereka keburu pergi!" Siti mengusap kasar air matanya. Gue setuju dengan inisiatifnya itu, tanpa pikir panjang gue merogoh HP dari kantong celana, lalu mencari kontak Joni, setelah ketemu gue langsung memencet tombol telpon.

Betapa takutnya gue kini, jari-jemari pun gemeteran, serta tubuh mendadak mengeluarkan keringat dingin. Tak sampai bermenit-menit lamanya, telpon di angkat, terdengar suara Joni dari sana yang bertanya kenapa. Gue menatap Siti lekat, ini sama saja gue ingkar janji sama Bagas, makanya itu gue jadi kebingungan sendiri. Namun Siti tanpa ragu menganggukkan kepalanya, tanda bahwa tidak akan terjadi masalah besar. Gue menyanggupi itu.

"Jon lo bisa datang ke rumah sakit islam sekarang juga nggak?!"

"Hah? Bentar-bentar, siapa yang sakit?"

"Tidak usah banyak tanya, buruan ke sini!"

"Oke-oke, gue ke sana sekarang juga!"

'Tut!

Telpon di matikan, gue kembali menatap Siti. "Kita kasih tahu ke Joni, Bagas tidak akan marah 'kan sama kita?" tanya gue memastikan, takutnya nanti Bagas malah kecewa sama gue. Hah, tidak bisa di pungkiri lagi, dia pasti kecewa berat karena gue mengingkari janji agar tidak membocorkan perihal ini kepada siapapun.

"Tidak akan, percaya sama Siti, kalau Bagas di posisi Jamal dia akan mengerti. Jamal tenang saja nggak usah takut, Siti yang akan menghadapi Bagas nantinya." Siti meletakkan salah satu tangannya ke bahu gue. Ucapannya itu berhasil menerbitkan senyum di kedua sudut bibir gue. Di saat begini gue bersyukur ada Siti yang bersedia menemani dan juga memenangkan gue.

"Makasih Ti, lo memang teman terbaik gue." Dahi gue mengkerut spontan, dikarenakan raut Siti berubah jadi masam, entah apa penyebabnya.

"Lo kenapa?" tanya gue, tapi Siti malah memutar badannya ke depan hingga jadi membelakangi gue sambil menyilangkan kedua tangannya ke atas bidang dada.

"Nggak papa!" ketusnya makin mengolah gue keheranan sendiri, emang ya semua cewek itu susah di tebak. Tidak ada masalah apa-apa merajuk sendiri.

"Ngambek mulu lo kayak cewek aja."

"Apa Jamal bilang?! Berarti Jamal selama ini menganggap Siti cowok?!" Siti kembali menghadap gue, kali ini dia melotot tajam, bola matanya itu seolah-olah mau keluar dari tempatnya. Gaya Siti berkacak pinggang dengan muka sangar ini persis seperti emak-emak yang marah karena tupperware miliknya hilang karena ulah anaknya. Ngeri.

"Bercanda Riana Sitifya Ningrum!" tegas gue, menyebutkan nama panjangnya.

"Bercandanya di luar nalar Jems Louis!" ujarnya ikut-ikutan menyebut nama panjang gue.

"Ada apa? Siapa yang sakit? Jawab!"

Tak terduga, Joni sudah ada di dekat kami berdua, di mana nafasnya tidak beraturan, alias ngos-ngosan. Kemungkinan besar dia berlari ke sini.

"I---tu Bagas, Jon." gagap Siti, seraya menunjuk ke arah pintu.

"Kenapa dia? Abang gue kenapa?!" Joni terisak-isak, dia beberapa kali menggoyangkan tubuh gue, meminta jawaban. Melihat dia seperti ini, gue jadi tidak tega, ternyata ini alasan Bagas untuk tetap merahasiakan saja soal penyakitnya.

"Joni, sebelumnya kami minta maaf karena baru bisa jujur soal ini. Sebenarnya Bagas itu sakit kanker darah, dia tadi pingsan terus kami bawa ke sini. Dokter lagi di dalam menangani Bagas, soalnya tadi tiba-tiba saja dia drop, susah nafas." Jujur Siti, saat itu juga Joni makin menangis.

"Kenapa baru saja gue di kasih tahu?!" bentaknya diselingi isakan yang memilukan.

Siti terdiam, nampaknya dia tidak sanggup berkata-kata lagi.

"Bagas menyuruh kita merahasiakan soal ini ke keluarga lo, karena dia tidak mau membuat kalian khawatir. Sebenarnya tanpa seijin Bagas, kami menelpon lo dan mengasih tahu soal ini. Tapi bagaimanapun juga kami salah, sebab sudah menuruti kemauannya."

Joni menepuk jidatnya sebentar, lalu memukul tembok begitu keras. Badannya merosot ke bawah, gue saling bertukar padang dengan Siti, tidak tahu harus berbuat apa. Pasalnya emosi Joni dalam keadaan tidak stabil.

'Cklek!

Pintu terbuka setengah, dokter Stefan keluar dari ruangan. Kamu bertiga pun lekas menghampirinya meminta penjelasan.

"Bagaimana keadaan abang saya dok?! Dia baik-baik saja 'kan?! Jawab dok!" Joni menarik kerah jas dokter Stefan kenakan, gue langsung ambil tindakan dengan menarik tubuhnya agar sedikit menjauh dari dokter muda itu. Tetapi dokter Stefan tidak marah sama sekali, mungkin dia memakluminya.

"Pasien harus segera melakukan kemoterapi."

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang