🍁19🍁

34 12 2
                                    

Sekarang, gue lagi merenung di kantin rumah sakit. Sendirian. Tanpa teman bahkan pacar. Miris. Gue kok merasa ada yang ganjal disini, bentar-bentar biarkan ini otak berfikir dulu. Ada hal mengganjal apa di sini.

'Bruk!

Gue mendobrak meja, menyebabkan pandangan orang-orang disini berlabuh ke arah gue. Ah, iya, gue baru sadar kalau rumah sakit ini lagi buka, padahal hari ini hari besar. Saking gigihnya bekerja kali ya, sampai hari libur diembat juga. Karena penasaran, gue menoleh ke belakang, dimana ada cowok yang memakai jaket kulit hitam, serta memakai jeans itu tengah membelakangi gue. Meskipun tidak menghadap di depan, gue masih bisa melihatnya kalau dia lagi minum. Terlihat dari cangkir yang dipegangnya.

Gue menepuk pundaknya. "Eh cui, lo tau nggak kenapa, nih, rumah sakit buka? Kan hari ini hari raya."

"Uhuk uhuk uhuk!"

Si abang berkumis tipis terbatuk-batuk seketika. Gue membantu mengusap-usap punggungnya, membantu meredakannya. Tangan gue yang masih mengusap, ditariknya. Bagaikan kilat, dia membanting gue. Terus kedua tangan gue dia tarik ke belakang, seperti polisi yang lagi memborgol tahanan. Ditambah lagi, dia asal-asalan menginjak punggung gue pakai kaki biadabnya. Orang-orang yang melihatnya, pada menarik si abang berkumis tipis, agar berhenti menyiksa gue.

Gue dibantu berdiri sama cewek berbibir seksi. Tapi ini mata malah jelalatan melihat kedua gunung kembar yang menonjol.

"Hei kalian lepaskan gue! Kalian salah paham!" gertaknya, berupaya memberontak dari jeratan para jantan.

Abang-abang tadi melonggarkan jeratannya, hingga si abang berkumis tipis bisa bergerak leluasa lagi. Dia merapikan jaket yang dikenakan, lalu mengambil sisir beserta kaca pokemon dari balik jaketnya. Kemudian dia bercermin disitu, sambil menyisir jambul rambutnya yang berwarna kuning keemasan. Identik seperti tai kucing. Gue juga melihat ada tato ular di lehernya. Kok bisa ya orang-orang demen banget sama tato.

"Tadi itu tuh suatu perkenalan buat gue. Sudah biasa begitu, hadeh, kalian aja yang salah tanggap," ujarnya, tanpa melirik sedikitpun ke arah kita-kita. Para abang-abang serta mbak-mbak pada membulatkan mulutnya membentuk huruf O besar. Habis itu mereka semua bubar, kembali ke tempatnya masing-masing, seperti ke sedia kala.

Si abang berkumis tipis mendekati gue, dan merangkulnya. "Sorry soal tadi."

"Iya Bang, gue juga minta maaf. Asal-asalan nepuk abang, kan, jadinya kesedak tadi."

"Hush ...! Jangan panggil gue abang napa, dah." Si abang berkumis tipis mendekatkan mulutnya ke telinga gue, mulai membisikkan sesuatu. "... panggil gue, Bro~~~"

Gue langsung menahan nafas, pasalnya bau mulut si abang bernama Bro ini bau kematian. Semisal gue nutup pakai tangan, bisa-bisa, nih, orang bakalan tersinggung.

"Iyakah, Bro?"

"Iyalah." Bro menghentikan rangkulannya, dia kembali bercermin. Gue sangat yakin, semisal itu benda hidup, dia akan protes. Karena disuguhkan oleh penyakit mata setiap harinya.

"Lo tau nggak apa perbedaan lo sama monyet?"

"Apa?" tanyanya, yang masih saja fokus menyisir rambut, sepanjang khatulistiwa. Itu rambut bisa menutupi aib keluarga.

"Nggak ada bedanya." Habis berkata demikian, gue langsung lari kocar-kacir. Sebelum Bro sadar dengan ucapan gue barusan.

Gue berlari secepat kilat, meskipun sudah lumayan jauh. Gue masih bisa mendengar teriakan Bro yang ngalahin suara rempong emak-emak di depan kompleks.

"AWAS AJA LU BOCAH, KALAU KETEMU LAGI, GUE GESEK WAJAH LU DI KETEK GUE!"

Akibat lari maraton, gue hampir saja kelewatan ruangan Ray. Cepat-cepat gue masuk, menutup pintu. Lalu terduduk lesu, menyender di pintu. Gue menetralkan pernafasan yang ngos-ngosan. Perut gue kembang-kempis, bagaikan di pompa seseorang begitu cepatnya. Om Arsa, om Bram beserta Ray saling bertukar pandang, lalu menggidikan bahu. Memandang gue sebagai titik fokus mereka.

"Kenapa kamu Gas? Kayak habis maling kolor aja." Gue menyengir lebar, menanggapi perkataan om Arsa.

"Ah i-tu anu ... nggak tau deh, Om," jawab gue nggak jelas, yang jelas itu hanya cintaku kepadamu. Iya, kepadamu.

Pandangan gue jatuh dimana ada secangkir air putih di atas meja, samping Ray. Sesegera mungkin gue bangkit kembali, berlari cepat menuju air itu berada. Setelahnya, gue meneguknya sampai tandas. Menyisakan bekas air di bibir, yang gue lap pakai pergelangan baju gue. 

Gue melirik ke samping, dimana Ray melayangkan lototan tajam. Mengerti mengapa dia menatap gue sarkas begitu, gue tersenyum sumringah. "Hari ini hari raya, nggak boleh marah-marah, harus saling maaf-maafaan. Iya, kan, Om?" Kedua kening naik-turun. Memandangi om Arsa beserta om Bram bergantian.

"Inilah yang ku maksud di kantin tadi Bram, ini bocah beda dari yang lain." Om Arsa memonyongkan bibirnya ke gue.

Sedangkan om Bram terkekeh pelan. "Ha-ha-ha, iya Arsa. Tapi, tanpa dia di rumah, pasti sunyi, iya, kan?"

"Iya sih, ha-ha-ha ..." Om Arsa saling berangkulan sama kawannya. Membuat gue cemberut. Bisa-bisanya om Arsa membicarakan gue di kantin. Pasti, aib gue di bongkar. Benar-benar dah punya om model beginian.

"Oh, ya, Bagas, Om minta tolong sama kamu. Jagain Ray, ya, untuk semalem ini saja, Om mau mengerjakan tugas kantor, kalau dikerjakan besok. Pekerjaan makin menumpuk, yang ada bikin puyeng."

"Nah, iya Gas, kamu temenin Ray disini. Besok, Om jemput kamu," timpal om Arsa ikut-ikutan.

Gue merengek-rengek, tidak mau bermalam di rumah sakit penuh hantu, apalagi berduaan sama manusia super jutek. Ya siapa lagi kalau bukan Ray orangnya.

"Nggak mau, ah, Om, disini banyak hantunya. Ntar para hantu cewek naksir ke aku gimana? Bisa berabe, Om."

"Ada-ada saja kamu ini, jangankan hantu. Cewek nyata aja nggak ada yang naksir kamu. Bagas-Bagas." Om Arsa geleng-geleng kepala. Gue makin melengkungkan bibir ke bawah.

"Aku bisa jaga diri sendiri, Pa, aku bukan anak kecil lagi." Ray menyahut, sedari tadi diam-diam ayam. Nah gitu dong, dari tadi kek.

"Nggak papa Ray, Bagas akan menemani kamu disini. Kalian bisa saling mengobrol, biar ada teman." Bukan om Bram yang menjawab, melainkan om Arsa. Di angguki om Bram mantap.

Gue melirik Ray yang menghembuskan nafas berat. Apa segitunya ya nggak mau berduaan sama gue. Tega sekali si Ray ini. Gue bagaikan kuman.

"Bagas nggak mau om! Bagas mau pulang! Ba-gas ndak mau berduaan sama dia!" Dengan bergaya anak kecil, gue menunjuk Ray yang memasang wajah jijik.

"Sudahlah Bram, nggak usah ditanggapi. Ayo kita pulang."

"Om jangan dong!"

'Bruk!

Pintu ditutup, seiring hilangnya om Arsa serta om Bram dari pandangan. Gue hanya bisa menghela nafas kecil, mau tidak mau gue harus nurut aja. Lagian juga, gue nggak bawa duit buat naik ojek.

"Alay." Gue memutar badan ke belakang. Dimana Ray menatap gue dengan ekspresi datarnya. Seperti tembok.

"Fucek na fucek!" Jari tengah terangkat. Khusus buat dia yang melotot ke arah gue yang kesekian kalinya.

Makan tuh fucek.

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang