🍁15🍁

33 14 0
                                    

"Gas, apa kamu sekarang baik-baik saja?"

Baru saja gue terbangun, entah ketiduran atau apa tadi. Seingat gue, waktu datang kesini pandangan gue tiba-tiba aja kabur, terus berubah jadi warna hitam. Habis itu gue tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tau-taunya gue lagi dalam posisi rebahan, terus di samping gue ada om Arsa yang lagi duduk sambil pegang kaos kaki. Pantesan gue mencium bau busuk luar biasa.

"Apa yang terjadi, Om?"

"Kamu datang-datang langsung pingsan. Om kira kamu mati."

Refleks gue langsung mengusap dada. "Jahat sekali, Om ..."

Om Arsa malah tertawa melihat ekspresi gue. Beliau meletakkan kembali kaos kaki bau kematian itu. Gue jadi curiga sama tuh kaos, apa jangan-jangan kaos kematian itu buat menyadarkan gue?!

"Om tadi bangunin aku pakai apa?" tanya gue was-was. Takutnya, kecurigaan itu benar.

"Oh itu, nih, pake ini."

Dan benar saja, sesuai dugaan, sekalinya kaos kaki bau kematian itu lah yang dijadikan om Arsa buat membangunkan gue. Akibatnya, gue langsung terduduk, terbatuk-batuk. Bisa-bisanya om Arsa melakukannya ke gue. Bukannya merasa bersalah, yang ada om Arsa lagi-lagi tertawa.

"Lho, kok Om tega amat sama keponakan sendiri? Kan bisa pake minyak kayu putih gitu." Gue memberenggut kecewa. Sengaja memasang raut wajah menyedihkan dan seunyu mungkin. Emang dari zigot gue ini lucu dan menggemaskan.

"Minyak kayu putihnya habis, lagian juga ini kaos sekali taruh di hidung kamu, kamunya langsung bangun."

Gue menutup hidung menggunakan kerah baju, baunya masih menusuk bulu-bulu hidung. Buset, dah, baunya makin lama makin busuk, kayak WC sekolah.

"Bau banget, sih, Om. Sudah berapa lama nggak dicuci?"

"Lima tahunan kayaknya," ujar om Arsa, sambil memijit dagu.

Gue merasa mual akibatnya, lagi dan lagi, om Arsa kian meledak tawanya. Beliau memindahkan kaos kaki kematian itu ke bak sampah, lalu beranjak pergi keluar, buat membuangnya. Dari sini, gue lihat om Arsa mulai mematik api dari korek. Tak lama kemudian, tuh, kaos kaki sama sampah lainnya hangus terbakar dalam sekejap.

Gue merasa gerah sekali, lalu melepas baju yang dipakai. Keringat mengucur deras di badan, bahkan di dahi juga. Gue mengibaskan diri pakai baju. Karena gue lihat disini tidak ada kipas angin.

"OM, KIPAS ANGIN DIMANA?" tanya gue berteriak, kalau tidak begitu, si om Arsa nggak bakalan denger. Maklumlah, beliau itu agak tuli.

"MATI LAMPU GAS!" Om Arsa juga balik berteriak. Jadinya gue memanyunkan bibir.

Gue mengambil hp dari atas meja, samping sofa gue duduk. Terus mengecek cuaca hari ini, melihatnya kedua mata gue terbelalak. Disitu menunjukkan 37°, pantesan panasnya nggak ngotak. Kayak simulasi neraka aja. Mana mati lampu lagi, mulai dah ngeluhnya.

Om Arsa duduk kembali di sofa satunya lagi. Beliau meminum le mineral yang ada manis-manisnya katanya. Perasaan nggak ada manis tuh, kecuali sambil liat muka sendiri, baru terasa manisnya.

"Oh, ya, Gas, kapan kamu pergi ke Bogor?"

"Habis selesai magang, ntar balik kesitu sementara," ujar gue, sembari meneguk Le Mineral yang tertata rapi di meja.

Gue lihat om Arsa tersenyum paksa, pasti beliau sedih ditinggal gue. Begitupun juga sebaliknya. Gue udah terlanjur nyaman tinggal disini, mana punya teman-teman pelawak lagi. Jadi makin betah, di banding di sana, orang-orangnya suka gosip yang tidak-tidak.

"Tenang aj, Om, aku bakal kesini lagi."

"Bukan gitu ..." Om Arsa nampak menghempas nafas panjang. " ... Apa itu berarti orang tuamu sudah baikan?" Pertanyaan barusan membuat gue terdiam sesaat. Agaknya om Arsa berbicara hati-hati menyangkut soal permasalahan di keluarga gue.

"Tidak, aku mau kesana bukan buat menemui mereka. Tapi, aku mau mencari keberadaan Joni, dia tadi nelpon aku dan bilang bahwa dia kabur dari rumah. Ditanya dia lagi dimana malah dimatiin telponnya, habis itu nomor dia tidak aktif lagi. Sekarang, nomor ku di blokirnya," terang gue sungguh-sungguh. Gue tau bahwa Joni main blok aja, foto profilnya aja kosong, bio-nya juga kosong, terakhir dilihatnya pun juga sama. Tidak ada. Sudah kemungkinan besar nomor gue di blokir. Padahal awal semuanya ada, sekarang sudah tidak. Kayak cewek yang lagi ngambek sama doi, karena tidak dibelikan seblak.

Om Arsa memandangi gue dengan serius. "Kabur katamu?" Gue mengangguk mengiyakan, pertanyaan beliau.

"Kalau Joni sampai kabur begini, pasti keadaan makin parah. Sebaiknya kamu cepat-cepat pergi kesana, kamu harus bisa menyudahi permasalahan di keluarga kamu. Jangan lari dari masalah, karena itu makin memperburuk keadaan. Om tahu, selain menemani Om disini sementara waktu, kamu juga mau menghindari orang tuamu bukan?"

Gue tidak bisa berkata-kata lagi, karena apa yang dibilang om Arsa barusan benar adanya. Gue memang ada niatan mau kabur saja, lari dari kenyataan. Gue sudah muak serumah dengan mereka, yang setiap hari selalu saja bertengkar. Bahkan masalah kecil sedikitpun diperdebatkan. Mereka sama sekali tidak mempedulikan anak-anaknya, mereka hanya mementingkan diri sendiri. Tidak ada satupun dari mereka yang mau mengalah. Egois memang.

"Kalau kamu diam begini, Om anggap iya." Gue melirik ke arah om Arsa yang lagi memijat batang hidungnya.

"Oke Bagas, berapa lama kamu diberi libur?"

"Empat hari," jawab gue jujur. Lagian, Bu Puput tidak pulang kampung. Ya, karena kampung halamannya di Jakarta.

Om Arsa manggut-manggut saja setelahnya. "Magangnya berapa bulan?"

"Empat."

"Lama juga, ya, apa bisa kamu minta ijin sebulan gitu?" Gue menggelengkan kepala, sebagai jawaban tidak. Yakali gue menunda satu bulan, bisa-bisa gue nanti lambat dapat sertifikat. Waktunya pun juga sudah ditentukan segitu oleh pihak sekolah, mana mungkin dilanggar.

"Yah mau bagaimana lagi, kamu tunggu magang itu sampai selesai. Habis itu, kamu langsung pergi ke Bogor, om yakin bahwa Joni lagi berada di rumah temannya. Kamu tau sendiri 'kan dia itu mana punya uang, mau ngekost dimana coba? Pokoknya kamu tenang saja, semua ..." Belum selesai om Arsa melanjutkan bicaranya, gue asal menyela. Arah pembicaraan kali ini bikin mood gue down, ditambah lagi cuaca makin panas aja. Bisa-bisa menindih nih otak.

"Sudahlah, Om. Jangan dibahas lagi, aku tidak suka topik ini. Aku mau mandi dulu," ujar gue menyudahinya, lalu bangkit dari duduk, menuju kamar mandi. Tanpa mempedulikan beliau lagi.

Ancrit beut beliau. Dipikir-pikir makin kepikiran.

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang