Gue meletakkan baju bau asem ke dalam ranjang pakaian kotor. Sekalian sama celananya juga, sebelum masuk ke dalam bak mandi. Gue mulai parno melihat air, keinget sama darah orang kecelakaan tadi. Astaga Bagas, lupakan!
Cepat-cepat gue menepis ingatan buruk tersebut, jika dipikirkan makin tersiksa yang ada. Tanpa sengaja, gue melihat sabun warna merah yang tengahnya bolong. Karena penasaran, gue mengambil sabun itu, dilihat-lihat lubangnya sangatlah gede. Alhasil, gue menyengir lebar.
Gue menyembulkan kepala dari balik pintu, karena kamar mandi berhadapan dengan ruang makan, gue dapat melihat om Arsa yang lagi berdiri sambil nelpon seseorang, lagi membelakangi gue. Beliau menyudahi acara telponnya, lalu berbalik badan hingga mata kami saling bertemu. Gue menampilkan deretan gigi putih. Namun om Arsa nampaknya sedang gelisah.
"Ada apa, Om?"
"Kamu sudah mandi?"
Pertanyaan gue sama sekali tidak digubris. Melainkan malah balik bertanya, yang gue balas dengan gelengan kepala kecil.
"Lekas mandi, habis itu kita pergi ke rumah sakit."
Alis gue pada tertaut bingung. Siapa yang sakit? Seakan mengerti dengan tanda tanya di pikiran gue, om Arsa melanjutkan ucapannya.
"Sebenarnya tadi om Bram sama anaknya mau kesini. Tapi tadi Om Bram nelpon om kalau anaknya yang paling tua kecelakaan, habis dari rumah tantenya. Sekarang Om Bram lagi di Rumah Sakit Jaya Abadi. Alhamdulillah, katanya anaknya tidak terlalu parah, cuma perlu tiga jahitan di kepalanya, sekarang dia sudah siuman. Tapi Om tetap cemas jadinya kalau tidak melihat secara langsung. Jadi, temenin Om, ya? Tidak enak juga kalau tidak datang. Terlebih lagi om Bram itu karibnya Om," terang om Arsa panjang kali lebar. Gue hanya mengangguk mengerti, tapi yang baru gue tahu ternyata om Bram punyak anak satu lagi, gue kira anaknya cuma satu. Si Dafis.
"Owh, oke, deh. Tunggu, ya, om." Om Arsa mengacungkan jari jempolnya. Niat gue yang usil kambuhnya mulai meronta-ronta. Gue masuk sebentar ke dalam kamar mandi, lalu mengambil sabun bolong itu. Yang menurut gue tidak berharga sama sekali, dibanding dengan pemilik aslinya.
"Om, mainnya berapa jam?" tanya gue sembari menentengkan sabun penikmat nafsu jiwa para jantan. Dari sini gue lihat kedua mata om Arsa terbelalak kaget, gue yakin pasti beliau lupa menyimpannya.
Karena penasaran, gue mencium sabun yang masih ada di tangan. Gue mengendus-endus kayak Anjing, indra penciuman gue menangkap, baunya kayak lemak babi.
"BAGAS!!!!"
***
Seperti biasa, selepas mandi, gue merasa hal yang berbeda di dalam diri. Beberapa kali gue menghirup aroma sabun yang masih lengket di kulit. Merasa puas, gue mengambil helm dari dalam rumah, lalu kembali ke luar, sambil memakan sandwich.
Om Arsa yang sedari tadi menunggu kehadiran gue, langsung mengomeli, katanya gue lambat sekali kayak siput. Gue menanggapinya dengan menyengir tanpa ada rasa bersalah.
"Itu kamu ngapain bawa helm?" tunjuknya ke helm yang gue apit di ketiak.
"Lho, bukannya naik motor?"
"Yang mau pakai motor siapa? Itu mobil ada, ngapain panas-panas." Om Arsa memonyongkan bibir ke mana mobil sport miliknya yang terparkir.
Gue melirik mobil berwarna gelap itu, yang gelap seperti kehidupan masa lalu. Tanpa kata-kata lagi, om Arsa menuju mobil, mau naik. Bergegas gue menghentikan langkah beliau.
"Jangan dong, Om! Aku nggak tahan!"
"Apanya yang nggak tahan?"
"Itu ..." Gue menunjuk ke Stella jeruk yang menggantung. Banyak sekali si kuning itu bergelantungan seperti kelelawar. Melihat dari luar pun sudah bikin perut mual.
Om Arsa juga ikutan melihat si kuning, yang mana bisa di lihat dari jendelanya yang terbuka setengah.
"Itu cuma pewangi Bagas! Nggak nyakitin kamu kok kayak mantan. Sudah, jangan mengulur waktu!"
Gue mendesah kecewa. Ini, sih, namanya membunuh tanpa menyentuh, bisa mati konyol yang ada. Dengan cekatan gue mengeluarkan jurus terakhir, yaitu melengkungkan bibir ke bawah. Memasang puppy eyes, sembari menarik ujung baju om Arsa dengan bersimpuh.
"Apa tega Om sama keponakan sendiri? Hiks, Om jahat huwaaaa ...!" Gue sengaja menangis menjerit-jerit, kayak orang kurang belaian kasih sayang. Tapi emang sih, gue, kan, kurang kasih sayang. Menyedihkan.
Om Arsa menganga lebar melihat drama yang gue lakukan. Beliau melirik ke mana ada tetangga yang melongo melihat ke arah kami. Om Arsa terlihat menampilkan senyum paksa buat si ibu berbaju daster warna kuning tai.
Kemudian om Arsa melihat gue lagi, dimana ingus gue pada keluar. Ditepisnya tangan gue cepat, seakan-akan ini tangan penuh virus Corona.
"Iya-iya, kita pakai motor! Sudahlah Gas, malu-maluin!" Om Arsa membantu gue berdiri, sedangkan gue mengelap ingus pakai baju om Arsa. Beliau langsung menjijit telinga gue, hingga terasa berdenyut. Jeritan kesakitan diabaikan beliau.
Beliau ini kocak geming.
Beberapa menit kemudian ...
Selama diperjalanan menuju rumah sakit, gue merasa ngantuk sekali. Sampai-sampai helm gue bertubrukan dengan helm yang om Arsa pakai.
Tanpa perasaan, beliau meninju perut gue dengan sikunya. "Bisa diem? Ini helm bukan pintu!" ocehnya, yang gue balas dengan menguap lebar.
"Bau jigong, ntar kalau udah balik langsung sikat gigi!"
Gue segera menutup mulut, lalu meng 'hah, guna menghirup bau mulut. Oh baunya harum bunga bangkai.
"Lihat, Gas, ada kembaranmu."
Gue menoleh kemana pandangan om Arsa berlabuh. Disitu ada pentas monyet telanjang yang penontonnya lumayan banyak. Gue memasang wajah cemberut, tatkala om Arsa tertawa keras.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️