🍁Bab 45🍁

16 9 0
                                    

Malam tadi habis dari caffe, aku pulang ke rumah. Jadi tidak perlu heran mengapa aku tiba-tiba saja ada di rumah, padahal habis dari taman pulangnya ke kost. Setelah mengantarkan Dafis ke kamarnya, aku kembali ke kamar pribadi. Kemungkinan besar anak itu tertidur kembali, dilihat dari kedua matanya tadi yang nampak sayu. Ku rebahkan diri di atas kasur, sambil merentangkan kedua tangan, menatap langit-langit kamar. Padahal seharusnya aku bisa mengetahui siapa orang yang papa temui, apa benar om Davin sama anaknya si Kayla? Atau ketemuan dengan orang lain?

"Apa yang kamu pikirkan Ray, tidak mungkin papa bohong." Ku gelengkan keras pikiran buruk itu, memikirkan yang tidak-tidak tentang papa jatuhnya malah jadi fitnah nantinya. Dipikir-pikir tidak mungkin papa berani membohongi anaknya sendiri, seharusnya aku berfikir positif. Bukannya negatif thinking terus. Omong-omong hari ini aku sama sekali tidak bertemu Bagas, semenjak kenal dengannya, kalau tidak ada dia sehari rasanya ada yang berbeda. Memang sih itu anak mengesalkan, tapi dia suka melawak walaupun garing.

Kira-kira dia lagi dimana? Kenapa juga dia tidak menghubungiku sama sekali, padahal dia punya nomornya. Apa jangan-jangan dia mau menjauh dariku, karena malam tadi di cafe? Tetapi bukannya aku sudah minta maaf, mengapa dia masih kesal?

"Apasih Ray, ngapain mikirin Bagas!" Aku mengacak rambut frustasi. Otak rada-rada panas emang, mending bawa mandi keramas aja biar dingin.

Ku ambil handuk yang menggantung di pintu depan kamar mandi, lalu masuk ke dalam dan melakukan ritual beberapa menit lamanya. Habis mandi tubuh jadi lebih segar ketimbang tadi, bahkan kepala pun juga jadi dingin. Adem.

"Hari ini ke mana ya enaknya? Apa di rumah aja? Di rumah terus bosan, ah iya, apa lebih baik ku susul papa lagi di restaurant lentera itu? Hm, boleh juga daripada grasak-grusuk di kamar tidak jelas mending ke sana. Bodo ah kalau ketahuan papa."

Belum sampai sejam berfikir positif tentang papa, tau-taunya malah kembali negatif thinking. Entah kenapa kurang yakin aja kalau tidak ada buktinya.

"Eh tunggu dulu, apa papa masih ada di sana atau tidak? Lah, iya juga. Ntar kalau aku kesana, rupanya papa sudah tidak ada lagi." Aku menghembuskan nafas pasrah, ya sudahlah daripada buang-buang tenaga mending rebahan di kamar sambil scroll reels ig sambil ngadem di bawah AC. Nikmat mana yang engkau dustakan ya rab.

Sebelum mager-mageran, aku pergi ke dapur untuk mengambil cemilan berupa keripik singkong yang ku beli kemarin di depan komplek. Dilihat dari luar jendela hari terlihat mendung, angin yang masuk ke dalam mampu membuat rambut ku berkibar. 

"Jadi pengen ziarah ke makam mama." Tidak sampai bermenit-menit lamanya menimbang keputusan. Bergegas aku naik ke atas dan mengambil jaket serta jas hujan supaya ditengah perjalanan menuju pemakaman tidak kebasahan.

Meskipun mama tidak bisa menerima kehadiranku sebagai anaknya, bagaimanapun juga dia adalah seseorang yang sudah melahirkan ku ke dunia ini. Tapi aku yakin, sebenernya mama sayang denganku. Buktinya, dia sama sekali tidak menggugurkan kandungannya dan tidak berencana membunuhku. Cuma karena malu saja, makanya mama pergi meninggalkan. Mungkin.

"Mau kemana Kak?"

Dafis berdiri di hadapanku, dimana di tangan kirinya ada secangkir susu hangat. "Oh, mau keluar sebentar."

"Iya kemana?"

"Ada deh, sana pergi ke kamar istirahat." Dafis memanyunkan bibirnya, menanggapi ucapan ku barusan.

"Iya-iya bawel!"

Aku terkekeh pelan, habisnya dia benar-benar lucu saat ngambek. Melihat Dafis yang sudah menghilang dari pandangan, aku kembali melanjutkan langkah. Di motor, jas hujan tadi dimasukkan ke dalam jok. Lalu langsung tancap gas, sebelum hujan turun. Agaknya bentar lagi air dari atas akan jatuh.

Dan benar saja, di tengah jalan tetesan air hujan perlahan-lahan turun dan makin lama makin deras. Ku putuskan untuk menepi sebentar di rumah sakit. Niatnya mau pakai jas hujan, tapi tidak jadi. Karena aku lupa kalau jas hujan yang ku bawa adalah jas hujan yang sobek.

"Sialan!" umpatku, ingin rasanya membakar jas hujan itu sekarang juga. Lagian, kenapa bisa aku salah ambil jas hujan. Huh, menjengkelkan!

Angin yang berhembus berhasil menusuk tulang belulang, maka lebih baik masuk ke dalam. Menunggu hujan reda, sekalian biar tidak kedinginan di luar. "Mending ke kantin beli minuman panas." Karena tidak tahu letak kantin dimana, suster yang kebetulan lewat langsung ditanyakan saja dimana kantin itu berada. Setelahnya, aku bergegas pergi ke sana. Saat menuju kantin, tiba-tiba saja ada seseorang yang menabrak bahuku. Akibatnya, hampir saja mau jatuh.

Aku mendongakkan kepala ke atas, detik itu juga aku terkejut melihatnya. "Bagas." Orang yang menabrak barusan ialah Bagas nyatanya. Di lihat raut wajahnya nampak sayu, bahkan kedua mata serta hidungnya terlihat memerah. Bukan itu saja, mataku malah fokus ke bibirnya yang pucat pasi. Dia menatapku lekat dengan dada yang kembang-kempis.

Tanpa berkata sedikitpun, Bagas pergi meninggalkan ku begitu saja. Dia berlari entah mau pergi ke mana, tapi yang pasti dia seperti terburu-buru. Lambat laun belakang punggungnya sudah menghilang dari pandangan. "Itu anak kenapa?" tanyaku pada diri sendiri. Pasalnya, dia seperti bukan Bagas yang ku kenal.

"Heh, lo liat cowok pakai baju warna krim sama celana hitam nggak?"

Belum juga mengerti apa yang sedang terjadi, satu orang menambah pikiran saja. Di ingat-ingat orang ini seperti teman Bagas. Ya benar, dia memang teman Bagas yang waktu itu ku lihat di caffe. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku hanya memberi kode dengan menunjuk ke arah terakhir Bagas berlari.

"Ouh kesana, thanks!"

Aku mangut-mangut saja. Sialan, bikin jiwa keingintahuan ku kambuh saja. Ah sudahlah ngapain di pikirin, toh bukan urusanku. Belum juga satu langkah berjalan, hampir saja aku bertubrukan dengan seorang cewek.

"Eh maaf, Siti nggak sengaja! JAMAL TUNGGUIN SITI!"

Mulutku melongo melihatnya. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus tahu apa yang terjadi. Habisnya, mereka bertiga benar-benar membuatku penasaran setengah mati. Supaya tidak kehilangan jejak, secepat kilat aku menyusul cewek tadi.

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang