🍁Bab 33🍁

29 6 0
                                    

"Bagas tunggu!"

Merasa nama gue dipanggil, otomatis langsung nengok ke belakang. Dimana Ray berlari laju ke arah gue. Setiba di hadapan, nampak jelas dia terengah-engah akibatnya.

"Maaf soal tadi, aku ... benar-benar menyesal." Ray berbicara, sambil sesekali membuang pandang dari gue.

"Minta maaf buat?" tanya gue, dengan salah satu alis terangkat.

"Maaf atas omonganku yang terlalu pedas tadi. Dan mungkin itu menyakiti hatimu," ucapnya, disertai akan mendongakkan kepala. Menatap gue dengan raut bersalah.

Gue mengembangkan senyum simpul. "Nggak usah minta maaf, lo nggak salah apa-apa. Gue aja yang baperan, sudahlah."

"Tidak, aku yang salah. Aku minta maaf, dan aku tidak tenang ji---"

Sebelum Ray menuntaskan ucapannya, segera mungkin gue meletakkan jari telunjuk ke bibirnya yang berwarna merah muda. Insecure gue.

"Shut! Lupakan. Sekali lagi lo bilang kayak gitu, gue beneran marah lho. Dan gue nggak mau maafin lo, paham?" ancam gue ke the to point. Demikian gue mejauhkan jari telunjuk dari bibirnya.

Ray menundukkan kepala ke bawah, entah memikirkan apa, tapi yang pasti tidak ada pembicaraan lagi di antara kita. Kalau tidak diajak bicara duluan, bisa-bisa berabad-abad tahun lamanya kami diam-diaman begini sampai lumutan. "Oh ya, nomor WA lo berapa?" tanya gue basa-basi, padahal sih sudah punya nomornya. Supaya nanti gue bisa chat dia, tanpa takut.

"Untuk apa aku memberitahu? Sedangkan kamu sudah punya nomorku."

"Uhuk uhuk uhuk!" Ucapannya beberapa detik lalu sukses membuat gue terbatuk-batuk. Kedua pipi serasa memanas, bagaikan berasa di dekat api unggun. Malu, sangat teramat malu. Luar biasa. Ingin rasanya menghilang dari bumi sekarang juga.

"Ekhem, lo tau darimana?" Walaupun masih merasa malu, nggak gentle banget nunjukinnya secara terang-terangan. Gue bersikap layaknya seperti seseorang yang tidak mempunyai urat malu.

"Aku dengar sendiri waktu di rumah sakit, kamu minta nomorku dari papaku. Dan kenapa aku bilang kamu ngaco tadi, itu karena kau memang ngaco. Keliatan bohongnya."

Andai saja ginjal nih orang ada di luar, gue sentil juga lama-lama. Tadi minta maaf, eh sekarang malah ngelunjak. Maunya apa sih? Niat nggak mau minta maaf? Pertanyaan itu tidak mungkin gue utarakan, ya karena gue nggak mau kami gagal berteman. Nggak tau juga sih, kenapa gue tergila-gila ingin jadi temannya. Di hati gue seperti ada magnet kuat yang meminta gue menarik dirinya buat masuk ke dalam hidup gue.

"Hehehe, gue waktu di rumah sakit itu sebenarnya mau minta nomor lo langsung. Tapi gue pikir kayaknya lo nggak mungkin kasih nomor lo ke gue."

"Nah itu kau tau jawabannya, kenapa nanya tadi, mau minta nomorku?"

Gemes banget si Ray anjir. Banyak tanya kayak Dora. "Ya udah, lagian gue juga sudah punya nomor lo," ucap gue, bernada sombong.

"Ya udah, ku ganti nomor saja."

"Eh, jangan ngeselin lo jadi orang!" tunjuk gue tepat ke batang hidungnya, sampai bersentuhan langsung. Dia menarik jari telunjuk gue, lalu memasukannya ke dalam lubang hidung gue.

"Itulah gunanya jari." Jari yang masih tertancap di lubang hidung, memberikan kenikmatan yang luar biasa. Gue menatap kepergian Ray yang berjalan layaknya teletubbies. Imut, pendek, gemoy lagi. Baru pertama kali gue nemu cowok kayak gitu imutnya. Pasti dia sangat disayang mamanya. Beruntung jadi dia.

Tak lama kemudian, dikit lagi gue sampai ke kost. Tapi sebelum itu, gue singgah dulu ke supermarket. Bukan mau belanja, melainkan ingin ngadem di lantai paling atas. Malam-malam gini enak banget ngadem di rooftop, apalagi dari atas sini bisa melihat pemandangan lampu-lampu rumah atau lampu jalanan. Jadinya, seperti melihat kumpulan kunang-kunang, terlebih lagi  semilir angin malam yang menghinggapi rongga tubuh. Rasanya, beban di punggung dikit-dikit pada hilang dibawa angin.

Tak butuh lama, gue sudah ada di rooftop. Menikmati suasana malam. Indahnya dunia, yang mana tidak selamanya kita nikmati. Angin malam yang berlalu-lalang mengolah rambut gue jadi berantakan. Bukan masalah, yang penting gue merasa nyaman.

"Kira-kira gue bisa nggak ya kesini lagi waktu tua nanti? Apa gue masih diberi umur tua?" Entahlah. Pertanyaan itu hanya tuhan yang tahu, gue sebagai umatnya hanya menjalankan takdir.

Gimana kabar Joni ya? Gue yakin banget, dia pasti sakit hati karena kelakuan orang tua gue. Buktinya dia sampai kabur begitu. Walaupun gue sering bertengkar dengannya, gue sangat sayang sama dia. Bagaimanapun juga, dia akan selamanya jadi adik gue. Dan gue sebagai abangnya, harus menjaganya. Itulah tugas anak pertama, yaitu menjaga adik-adiknya. Tapi apa gue? Gue belum bisa menjadi kakak yang baik. Gue tidak ada di sampingnya disaat dia memerlukan gue.

"Maafin gue Jon, gue janji akan kembali. Gue harap lo bisa jaga diri disana, gue sayang sama lo. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa." Gue mendongakkan kepala, memandang langit malam. Bintang-bintang berkilauan berhamburan di atas sana. Serta bulan purnama yang terlindung awan. Senyum terbit dengan sendirinya.

"Gas."

Tepukan kecil mendarat di pundak. Kontan saja gue menoleh ke belakang, dan ada Azam yang ditangannya ada kantong belanja. Dia berdiri di samping gue.

"Ternyata benar itu lo."

"Hah?" Dahi gue mengkerut, tidak paham yang dia maksud.

Azam menatap gue dengan senyuman. "Gue tadi nggak sengaja liat lo jalan ke atas dari belakang, buat mastiin itu lo benar Bagas atau bukan, gue ikutin aja. Eh ternyata benar, lo ngapain kesini?"

"Pengen ngadem aja, kalau lo sendiri?"

"Nih." Azam sedikit mengangkat kantong belanjanya sebentar.

"Beli popok sama minyak telon buat adek gue."

Gue tertawa pelan mendengarnya.
"Kasian jadi babu."

"Yeeee ... lo mah!" Azam menyikut siku gue pelan. Gue hanya geleng-geleng kepala kecil menanggapi.

"Sendirian aja? Mana Jamal sama Siti?"

"Ada di kost, gue aja yang mau sendirian kesini." Gue lihat Azam hanya ber 'oh ria.

"Kenapa lo?"

"Apanya?" Gue bertanya tanpa melirik kearahnya sedikitpun. Gue hanya lurus ke depan, menyaksikan kembang api, yang entah siapa yang menyalakannya.

"Lo kayak berbeda dari dulu, maksud gue disini, lo nggak aktif lagi. Sampai-sampai kita berfikir, lo ini Bagas atau bukan? Habisnya lo jadi agak pendiam. Kalau boleh tahu, lo lagi mikirin apa?"

Pertanyaan barusan berhasil membuat gue menoleh ke arahnya. Dimana dia menatap gue akan tampang erius. Apa gue terlihat berbeda dari biasanya?

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang