Setelah kepergian Joni, Jamal maupun Siti mendekati gue dan ikutan duduk di sofa.
"Lo kenapa nggak jujur aja sih Gas sama adek sendiri juga pake bohong," cerocos Jamal dengan raut kesal. Tidak suka akan keputusan gue yang menutupi kenyataan.
"Gue nggak mau aja bikin dia khawatir.
"Hadeh Bagas mah gitu orangnya, emangnya Bagas nggak mikir apa kalau Joni tau dari mulut orang lain bahaya loh, dia pasti sakit banget hatinya. Lebih baik jujur aja, daripada di tutupi begini nggak ada gunanya," sahut Siti membela Jamal. Gue memijit batang hidung sebentar, berfikir apa gue jujur aja sama Joni atau tidak? Tapi gue nggak mau bikin dia kepikiran sama gue.
"Nggak usah lah, gue nggak mau bikin beban pikirannya bertambah, ntar yang ada dia nggak fokus sama sekolahnya. Omong-omong hari ini nggak magang?" tanya gue di akhir, sekalian mengubah topik pembicaraan.
"Kata Bu Puput beliau sama keluarganya lagi liburan, jadi semingguan ini kita cuti juga magangnya," jawab Siti.
"Ah sudah, terserah lo Bagas! Keras kepala emang!" Dengan perasaan gondok akan sikap gue yang kekeuh akan pendirian, Jamal beranjak pergi, lalu menutup pintu kamar kencang sampai suaranya lumayan memekikan telinga.
"Yang sabar ya Bagas, ntar Jamal nggak akan marah lagi kok. Jamal juga akan mengerti nanti mengapa Bagas memilih untuk merahasiakan ini, apapun keputusan Bagas ya sudah kami ikuti," final Siti sambil tersenyum, gue hanya bisa membalasnya akan senyuman paksa.
Tok tok tok
"Bagas, Siti, Jamal, ini kita ada di depan!"
Tok tok tok
"Kayak suara Adit."
"Emang suara Adit, bukain Ti, gue males berdiri." Siti langsung menurut, dia membukakan pintu berwarna coklat itu. Suara-suara ribut mulai terdengar jelas ketika pintu di buka. Sepertinya teman-teman gue pada berdatangan.
"Eh kalian, yuk masuk!" titah Siti ramah, mereka yang ada di luar segera masuk ke dalam, dan duduk di sofa.
"Tumben datang ke sini," sindir gue ke mereka berempat. Ya siapa lagi kalau bukan Azam, Hendra, Adit, sama Alvin.
Sebelum duduk, Adit meletakkan bingkisan buah ke atas meja.
"Sesekali jalan-jalan ke sini, entah kenapa kami berempat kompak mau main kemari."
"Heeh, lagian sudah lama juga kita nggak kumpul seperti ini," sahut Azam, sembari menyenderkan punggung belakang ke sofa, di mana peluh mengalir di pelipisnya. Agaknya dia kelelahan, entah karena apa, mungkin kepanasan jalan ke sini. Mengingat cuaca di luar panasnya luar biasa.
"Siti mau buatin minum dulu ya."
"Nah gitu dong Ti, peka jadi cewek," cerocos Alvin sambil diiringi tawa kecil, yang di balas Siti akan senyuman lebar, lalu dia sudah menghilang dari pandangan.
"Omong-omong Jamal mana? Kok nggak keliatan dari tadi?" Azam celingak-celinguk mencari keberadaan Jamal yang masih merajuk di kamar kayak bocah.
"Nggak tau, palingan tuh anak tidur," jawab gue ngasal.
"Buset hari panas gini tidur di kamar, emangnya di kamar ada AC?"
"Jangankan AC, kipas angin aja rusak," ucap gue menjawab pertanyaan Hendra. Bukannya menaruh simpati ke teman sendiri, yang ada mereka malah tertawa di atas penderitaan orang lain.
"Malah ketawa, emang benar-benar lo pada."
"Lo juga lawak bro, panas-panas gini pake baju lengan panjang, mana pake celana panjang juga, kena angin apa lo? Tumben-tumbenan banget kayak cowok feminim," semprot Alvin akan kata-kata pedasnya menurut gue.
Akibat ucapan Alvin, mereka bertiga kompak melabuhkan pandang ke arah gue. "Lah iya, gue baru sadar, tumben banget lo pake baju panjang begini, biasanya cuaca dingin aja pake baju pendek," ujar Adit sembari memperhatikan gaya pakaian gue hari ini.
"Terserah gue lah, mau pake baju kek mana juga, kok kalian yang ribet?"
"Bukan begitu, cuma heran aja, nggak biasa-biasanya gitu lho, iya 'kan bro?" Pertanyaan Azam serentak mendapatkan balasan dari mereka berupa anggukan kepala kecil.
"Sudah ah, kok malah membahas pakaian gue hari ini, apa kalian ke sini cuma mau meroasting baju gue gitu?" Mereka ini baru juga datang sudah bikin sebal saja, pertanyaan unfaedah gitu pake diperpanjang, kayak tidak ada pembahasan lain.
Bukannya minta maaf, mereka lagi-lagi tertawa, gue pun memutar kedua bola mata malas. Bisa-bisanya gue punya teman model laknat seperti mereka ini.
"Ini minumannya di minum, Siti mau keluar dulu." Siti sudah berganti rok, di mana di tangan kanannya lagi memegang dompet. Setelah meletakkan lima buah cangkir di atas nampan, Siti mengambil payung lipat dari balik pintu yang berwarna kuning.
"Buru-buru amat kayaknya, mau ke mana Ti?" tanya Adit penasaran, begitu pula dengan kami.
"Mau ke warung, soalnya gula sama garam habis."
Kami ber'oh pelan sebentar, setelah itu Siti sudah benar-benar pergi. Sedari tadi Alvin tiada henti memperhatikan Siti sampai Siti sudah hilang total dari pandangan, mana sambil senyum-senyum lagi. Ternyata bukan hanya gue yang sadar akan hal itu, tapi Adit juga sadar. Dia melirik ke arah kami, dan memberi kode lewat ekor matanya mengarah ke Alvin yang masih tersenyum sambil terus menatap ke depan.
"Woi ngapain senyum-senyum? Jangan-jangan lo naksir ya sama Siti?! Oemji hellow, tbl-tbl banget lho!" tuding Azam heboh sendiri.
"Mana ada njir, orang gue dari tadi liatin nyokapnya Bagas, makin lama makin cantik aja nyokap lo Gas, andai gue bokap lo."
Dengan senang hati gue melempar bantal sofa ke arah Alvin yang sedang berangan-angan. Karena ucapannya itu, gue dengan yang lain serentak melihat ke depan pintu yang masih terbuka, dari sini gue dapat melihat nyokap berjalan kemari, makin lama makin dekat, dan melemparkan senyum palsunya ke teman-teman gue setelah berdiri tepat di ambang pintu.
Gue menghembuskan nafas berat, lalu bangkit dari kursi, menemui nyokap yang senyumnya perlahan memudar ketika berhadapan dengan gue. Seandainya jika tidak ada teman-teman gue di sini, sudah gue pastikan tidak akan menghadapi nyokap. Bukannya durhaka, gue lagi bete aja sama sikapnya yang terlalu egois.
"Ayo ikut mama, biar masalah keluarga kita selesai, mama juga sudah bcara baik-baik dengan papa."
Nyokap asal meraih tangan gue, lalu mengalihkan pandang ke arah teman-teman gue yang sedang diam-diaman. "Tante bawa Bagas dulu ya sebentar."
"Iya tante."
Ingin rasanya gue memaki Azam sekarang juga, asal mengiyakan saja. Apalah daya, gue hanya bisa menyorotkan mata sinis.
"Ayo Bagas."
Mau tidak mau gue ikut saja, lagian gue juga sudah muak akan hal ini, entah apa yang akan terjadi selanjutnya nanti, gue sudah tidak ada niatan mau ikutan berdebat. Sebelum beneran pergi, gue melihat Jamal lagi berdiri dekat lemari kayu bercorak bunga, belakang sofa. Menatap gue dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️