🍁Part 50🍁

18 8 0
                                    

"Untung ada Jamal kemarin," gumam gue, teringat di rumah sakit kemarin.

"Bagas, are you okey?"

Gue mendapati Caca yang tepat berdiri disamping gue. Mampus. Apa dia mendengar semua obrolan tadi? Caca melihat gue meminta jawaban, gue jadi bingung sendiri. Tidak mungkin gue cerita sama dia tentang masalah pribadi keluarga gue. Untungnya disaat kebingungan mau jawab apa, di belakang Caca ada Jamal. Dia menatap gue sambil meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, menyuruh gue untuk diam.

"Gas, ke kantin yuk, gue haus nih mau beli minuman," ucap Jamal buka suara, Caca menoleh ke belakang, menatap Jamal dengan melontarkan senyuman kecil, begitu juga dengan Jamal.

"Ah iya gue juga haus nih, kuy! Eh lo mau ikut kita ke kantin nggak?" tawar gue yang dibalasnya akan celengan kepala kecil.

"Tidak, kalian saja. Aku mau kembali ke ruangan, nanti kalian nyusul aja kesana." 

Kami berdua mengacungkan jari jempol, sebentar Caca mengembangkan senyum kecilnya lagi, dia pun sudah meninggalkan kami. Akhirnya gue bisa bernafas lega, beruntung ada Jamal yang datang tepat waktu, kalau tidak mau jawab apa gue nanti?

"Makasih bro." Gue menepuk pelan pundak Jamal sekejap.

"Yo sama-sama."

"Btw lo darimana? Kok lama banget baru nyusul gue kemari." Pertanyaan gue barusan ditanggapi Jamal cengengesan, sembari menggaruk tengkuknya yang entah gatal atau tidak.

"Gue tadi kebelet, makanya ke toilet dulu."

Mendengarnya, gue hanya bisa merolling eyes. "Dasar, kirain pergi duluan ninggalin gue sama Siti."

"Enggak lah yakali, yuk ke kantin."

"Gaskeun." Gue sama Jamal saling berangkulan, sesekali kami bercanda dalam perjalanan menuju kantin rumah sakit.

Gue mengubah posisi jadi duduk, belum juga beberapa jam, gue sudah bosan aja diam doang di kamar nggak ngapa-ngapain. Enaknya ngapain ya biar nggak merasa bosan gini?

'Tring!

Gue menoleh ke sumber suara, ternyata bunyi barusan asalnya dari HP gue. Dimana layar HP di atas meja menyala, langsung saja gue mengambil benda pipih itu, dan melihat siapa yang baru saja mengirimkan gue sebuah pesan.

"Ray?" gumam gue, lantaran orang itu ialah Ray seorang. Gue mengklik aplikasi warna hijau, untuk melihat lebih detail pesan dari Ray.

Ray

Kau dimana?
Aku sudah sampai di taman.

Gue menepuk jidat pelan, kok bisa-bisanya gue lupa sama janji sendiri yang ngajak dia ketemuan hari ini di taman. Gue melihat jam di layar HP pojok kiri, disitu sudah menunjukkan pukul 09.05. Itu tandanya gue sudah terlambat. Mau jujur kalau gue masih di kost bisa marah tuh anak, mau tidak mau gue bohong aja.

Anda

Bentar-bentar, ini gue lagi di jalan. Lo tunggu dulu sebentar, jangan pergi duluan!

Ray

Oke, cepatlah.

Anda

Sip!

Gue melirik ke arah pintu, sembari memasang gendang telinga baik-baik. Barang kali aja Siti mau kesini, tapi tidak ada tanda-tanda suara langkah kaki yang mendekat kemari. Untuk lebih jelasnya, gue harus memeriksanya. Baru saja satu langkah, kepala gue bertambah pusing. Gue geleng-geleng kepala kecil, upaya menghilangkan pandangan yang berkunang-kunang. Sebenarnya gue sangat kesakitan kepala, bukan hanya itu saja, perut gue kembali bergejolak.

"Tidak! Gue nggak boleh nyerah, kasian Ray sudah nungguin gue disana." Sekuat tenaga gue berusaha mengalahkan rasa sakit yang menusuk-nusuk ini. Sambil berpegangan dengan tembok, akhirnya gue bisa sampai di pintu. Tanpa basa-basi gue membuka pintu kamar setengah secara perlahan, ekor mata gue berjalan kesana-kemari, mencari keberadaan Siti tapi tak kunjung gue temui batang hidungnya.

Semisal gue bilang ke dia mau nyusul Ray di taman sudah pasti Siti bakalan melarang gue, bisa juga dia langsung mengadu ke Jamal, biasalah si Siti anaknya pengaduan. Tak mau buang-buang waktu, gue menutup kembali pintunya. Gue memperhatikan jendela kamar yang terbuka, senyum sungging pun terbit dengan sendirinya. Bergegas gue mengarah ke jendela itu dengan tertatih-tatih, sebelum loncat dari jendela gue memperhatikan sekitar. Siapa tau Siti lagi di luar buang sampah. Ternyata hasilnya sama saja, tidak ada Siti ataupun orang lain. Syukurlah.

Sebentar gue meminum air putih, dan menggosokkan minyak kayu putih ke kedua sudut pelipis gue, itung-itung sekedar meringankan rasa sakit di kepala meskipun sedikit. Sebelum ketahuan, gue secepat kilat meloncati jendela. Cepat-cepat gue berlari sembari memegang perut, dalam pelarian ini gue berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakit. Hingga sudah lumayan jauh dari kost, gue berhenti sejenak, mengontrol pernafasan. Gue memegang kedua lutut yang gemetaran, seraya menatap lurus ke depan. Gue melihat orang-orang yang berlalu lalang nampak ada dua bayangan, buru-buru gue mengucek-ucek kedua mata.

'Tring!

Gue merogoh HP di dalam kantong celana, membalas chat dari Ray.

Ray

Aku tunggu lima menit lagi, kalau kau tidak datang aku akan pergi.

Anda

Eh jangan pergi duluan, ini bentar lagi gue sampai.

Tanpa menunggu balasan, gue kembali berlari meski sempoyongan. Pada akhirnya usaha gue tidak sia-sia, gue sekarang sudah ada di taman. Lagi gue membuka HP.

Anda

Lo ada dimana? Ini gue sudah sampai.

Ray

Lihat ke belakang.

Kontan saja gue melakukan permintaannya, saat itu juga kedua mata gue saling bertamu dengan matanya. Terlihat Ray lagi duduk di kursi taman, melihatnya gue tersenyum lebar. Gue pun langsung berlari kecil ke arahnya, sesampainya di depannya, gue jadi agak tak enak hati.

"Sudah lama nunggu?" tanya gue basa-basi.

"Menurutmu?"

Gue cuma bisa menampilkan senyum canggung atas pertanyaannya itu.

"Duduk, pantatmu nggak bisul 'kan?"

"Ya enggak lah, bisa juga ya lo melawak," ujar gue diselingi tawa kecil sembari duduk disampingnya.

"Ada apa kau menyuruh ketemuan disi---"

Ray menatap gue begitu intens, sehingga  mengolah dahi gue mengkerut. "Kenapa lo liatin gue kayak gitu?" tanya gue heran. Emangnya apa yang salah sama penampilan gue?

"Bibirmu sangat pucat."

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang