Di kantin rumah sakit, gue melamun saja daritadi. Memikirkan ucapan bokap yang mengelilingi pikiran gue. Katanya dia akan kesini, sudah dipastikan akan terjadi perang besar nantinya. Takutnya perkelahian mereka bakal didengar sama orang banyak. Malu? Tentu saja. Siapa yang tidak malu orang tuanya bertengkar di muka umum.
Kata bokap juga mau menceraikan nyokap, gue sih terserah aja. Mau bercerai ya sudah, lagian buat apalagi dipertahankan keluarga ini? Semuanya sudah hancur, tidak harmonis seperti dulu lagi. Tidak ada yang perlu diharapkan untuk kembali ke masa-masa indah kebersamaan seperti dulu lagi, karena itu tidak mungkin terjadi. Mereka juga tidak peduli dengan gue sama Joni yang jelas-jelas anak kandungnya sendiri. Mereka tidak pernah memikirkan perasaan kami berdua yang sakit hati dengan sikap mereka. Terutama nyokap, baru kali ini gue benar-benar benci dengan orang tua sendiri. Kenapa coba nyokap itu harus selingkuh? Apa gunanya? Apa ini jalan yang bagus untuk menenangkan diri?
Menurut gue itu adalah hal gila. Bokap juga sama salahnya, terlalu tergila-gila sama pekerjaan. Ya gue tau dia bekerja untuk menafkahi kami sekeluarga, tapi bagi sedikit waktu untuk kami. Ini tidak ada waktu sedikitpun. Setiap kali gue ingin bercerita, bokap selalu bilang 'Jangan sekarang!' begitulah terus nggak ada habisnya. Dia berubah 100% bahkan gue sendiri sering berfikir 'apa dia benar-benar bokap gue?'
Gue berfikir sampai kesitu karena gue sendiri pun sebagai anaknya tidak mengenali bokap lagi. Dia jarang ada di rumah. Dia berangkat pagi sekali dan pulang larut malam. Datang ke rumah hanya untuk tidur, habis itu berangkat ke kantor lagi. Jadi, buat apa lagi bertahan keluarga ini? Dipikirkan terlalu larut malah membuat gue makin sakit.
"Gas, kuy pulang. Kita pamitan dulu ke Caca." Jamal menepuk pelan pundak kiri gue. Kursi kosong di samping ditariknya, lalu Jamal duduk disitu. Dia memperhatikan gue dengan seksama, gue mengabaikan itu.
"Apa ada masalah lagi Gas? Habisnya muka lo keliatan bete banget. Kalau ada, cerita aja, gue pasti dengerin."
Gue menengok ke samping, dimana Jamal menunggu-nunggu gue bercerita. "Gue sedih Mal." Kedua mata gue terasa memanas, ada air yang menampung di kelopak mata. Gue dapat merasakannya, terlebih lagi tatapan ke orang-orang juga nampak buram. Air mata menetes begitu saja, padahal gue tidak ingin menangis dihadapan Jamal. Kenyataannya, malah meluncur tanpa disuruh.
Jamal merangkul gue, sedangkan gue berusaha menutupi mata yang merah karena menangis. "Sudah jangan ditahan, kalau mau nangis, nangis aja biar lo jadi tenang. Nggak perlu malu, disini cuma sedikit orang."
Akibat omongan Jamal, gue jadi menangis lagi. Berulang kali dia mengusap punggung belakang gue, seperti kebiasaan orang-orang yang lagi menenangkan temannya yang sedang bersedih. Gue menutup wajah dengan kedua telapak tangan, rasanya kini betul-betul sakit. Apa salah keinginan gue yang mau orang tua gue tidak bertengkar lagi? Gue cuma mau itu saja. Tapi kenapa mereka berdua egois? Mereka juga melampiaskan amarahnya ke gue terus, memangnya gue salah apa? Apa karena mereka pikir gue anak yang kuat, jadi mereka memanfaatkannya untuk hasrat diri? Sebenernya tidak mau melihat orang tua bercerai, tapi mereka itu tidak bisa diajak bicara damai. Mereka tidak ada yang mau duluan meminta maaf. Gue juga tidak tau harus berbuat apa.
"Bagas, hidung lo berdarah!"
***
Sesampainya di tempat yang diberi Dafis, aku mencari-cari keberadaanya. Seperti apa yang dia bilang di telpon, disini masih ada beberapa polisi yang berjaga dekat kecelakaan itu terjadi. Ku perhatikan mobil itu sangatlah hancur, apalagi bagian depannya yang sudah tidak berbentuk lagi. Pasti sangat mengerikan bagi saksi mata yang melihat kejadian ini. Pantesan Dafis jadi lemas sampai tidak bisa berdiri. Tapi, dimana kiranya anak itu? Dari tadi aku mondar-mandir mencari, tak kunjung juga ku lihat barang hidungnya.
"Nak, lagi nyariin Nak Dafis ya?"
Seseorang mengajakku berbicara, kontan saja aku memutar badan kebelakang, dan menjumpai sesosok wanita paruh baya dengan memakai daster bunga-bunga dan memakai sanggul itu tersenyum kepadaku.
"Ah iya, apa ibu tau dimana adik saya?"
"Tau, Nak Dafis ada di rumah saya. Dia juga yang nyuruh saya kesini, katanya kalau liat Nak ..."
"Ray." Ibu itu terkekeh pelan karena tidak mengingat namaku. Aku pun sedikit tertawa juga.
"Nak Dafis kasih liat foto nak Ray, katanya kalau liat langsung suruh datang ke rumah. Dia tadi mau nelpon Nak Ray kalau dia ada di rumah saya, tapi hp-nya habis paket."
Aku geleng-geleng kepala kecil, perasaan baru empat hari yang lalu beli paket 100 gb, tau-taunya sudah habis saja. Heran juga, memangnya dia pakai buat apa paket sebanyak itu, jadi bisa habis dalam jangka waktu belum seminggu. Sedangkan ku saja, 5 gb mampu sampai seminggu lebih.
"Maaf sebelumnya, apa Dafis sudah baik-baik saja?"
"Alhamdulillah, dia sudah tenang. Nak Ray nggak usah khawatir. Mari saya antar ke rumah."
Aku mengangguk mengiyakan, syukurlah Dafis tidak kenapa-kenapa, hatiku jadi lebih tenang. Di perjalanan, sesekali kami bercanda dan tertawa. Layaknya lagi mengobrol dengan seseorang yang sudah lama di kenal. Baik itu cerita lucu ataupun cerita tentang asal usul diberi nama komplek ini. Komplek Mangga.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️