🍁24🍁

30 9 0
                                    

Tidak sampai berjam-jam lamanya gue keringetan dingin. Gue akhirnya bisa bernafas normal lagi, ternyata Caca yang ini Caca asli, bukan Caca jadi-jadian. Gue memakan sup buatannya yang super duper enak, sampai-sampai gue rebutan sama Jamal dan Siti. Bodo amat gue makannya kayak orang nggak makan setahun.

"Kok bawanya cuma satu mangkok, sih, Ca? Kita, kan ada tiga orang, mana cukup ini."

'Plak!

Tamparan keras Jamal menghantam dasar pipi gue. Pipi gue yang tidak salah apa-apa langsung merasa berdenyut-denyut akibatnya. Gue mengusap-usap pipi yang pastinya sudah berwarna merah.

"Nggak tau terimakasih njir, masih mending dibawain. Syukur napa, dah, syukur!" omelnya yang nggak terlalu gue pedulikan. Jujur aja, sih, gue orangnya kalau ngomong suka blak-blakan.

"Ha-ha-ha, aku sengaja bawain satu mangkok doang, biar kalian rasain dulu enak atau enggak. Karena kalian kayaknya suka, ntar sore aku bikinin lagi. Biar ku suruh mas Bram nganterin kesini."

"Bikinnya yang banyak ya Ca. Ntar gue tungguin abang lu nganterin, di depan gerbang," sahut gue, sambil menggigit ceker, yang enaknya bukan main.

'Buk!

"Nggak ada malu-malunya, nih, anak njir!"

Ceker yang menggoyang lidah gue, langsung keluar dari mulut, karena ulah Jamal asal-asalan mendorong gue tanpa perasaan. Akibatnya, ceker di mulut tadi jatuh ke lantai.

Gue melotot tajam ke arah Jamal yang mukanya nggak ada rasa bersalahnya.

"Apa lo?!"

"Ampun bos!" Gercep gue menangkupkan kedua tangan. Sangar juga si Jamal.

"Ih Jamal malu-maluin, deh. Maaf, ya, Ca, Bagas ini kehabisan obat kewarasannya. Jadi, maklumi aja," timpal Siti menambahkan. Kalau bukan cewek, gue gigit juga lehernya. Enak aja gue yang ganteng abis ini dikatain gila.

"Sialan lu!"

Siti menggidikan bahu, ini anak nggak ada bedanya sama Jamal. Emang jodoh ya gitu.

"Santai aja, lagian aku juga kok yang nawarin tadi. Nggak usah sungkan, kayak sama siapa aja."

Gue mengacungkan jari jempol, menanggapi ucapan Caca barusan. "Nah, dianya aja nggak keberatan, malah kalian yang sewot. Awas aja lo berdua nanti kalau dibawain sup-nya, kalian bakalan minta!" ancam gue muncrat-muncratan. Terlihat Siti sama Jamal langsung terdiam.

Caca tertawa sendiri. Nih anak berdua malu pastinya, sampe pipinya sama-sama memerah. "Dam, terdiam. Tertampar fakta."

"Apaansih sok asik."

"Heleh, lo-nya aja yang nggak asik Mal."

"Sudah-sudah, jangan ribut. Oh iya, aku mau nanya sama kalian, maaf kalau pertanyaan ini menyinggung perasaan kalian, terutama kamu Siti." Caca menampilkan tampang serius, dia menatap kami berdua bergantian, lalu berhenti memandangi Siti.

"Siti? Kenapa Ca? Mau nanya apaan emang?" Seperti halnya dengan rasa penasaran Siti, gue sama Jamal ikut penasaran juga.

"Itu, maaf."

"Yailah Ca, ngomong aja apa susahnya?" Duh, geregetan gue. Please, deh, kalau mau nanya itu ya tinggal ngomong. Kayak kami bertiga anggota DPR aja.

"Bener tuh, santai aja Ca, kami nggak nelen lu kok," sahut Jamal memantapkan.

"Oke, aku mau nanya sama kalian. Kenapa kalian ngekost bertiga? Maksudku, kalau sama-sama laki-laki sudah biasa. Tapi kenapa kalian bisa sekost bareng? Kan Siti perempuan, kenapa bisa dibolehkan?"

Gue, Jamal, maupun Siti saling berbagi pandang sekejap.

"Maaf, bukannya aku ikut campur masalah kalian. Tapi, aku penasaran aja, apa alasannya."

"Jawabannya mudah kok, walaupun kami berdua laki-laki, sedangkan Siti perempuan, kami tidak pernah sesekali melakukan tarik lubang. Dan kami saling mempercayai satu sama lain, tidak mungkin melakukan hal yang tidak senonoh disini. Kami ngekost bareng dibawa happy aja, nggak kepikiran sampe kesana. Lagian, kami tidurnya tidak sekamar. Tiap mau tidur pun, kami selalu ngunci pintu kamar, supaya apa? Supaya nanti semisal salah satu di antara kami berdua yang tidurnya jalan, bisa saja, kan, masuk ke kamar Siti, berabe ntar. Bukan itu saja, disini memang cukup banyak kost, tapi sunyi, jarang ada orang ngekost. Mahasiswa pun kebanyakannya diam di asrama. Di kost itu sunyi, takutnya ada begal kalau Siti pulang malam, terus siapa yang jagain dia? Kami bertiga ini sudah lama saling mengenal, dan gue rasa tidak masalah," jawab gue apa adanya, bukan ada apanya.

"Sekarang lo ngerti, kan Ca?" tanya Jamal ke Caca yang diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

"Ca?" Siti menepuk pundak Caca, alhasil Caca tersentak kaget.

"Eh? Um, begitu, ya. Sebegitu besar kamu peduli sama Siti, ya, Gas?"

Dahi gue mengernyit, kenapa Caca nanya begitu coba? Seolah-olah gue melakukan kesalahan yang fatal. "Kenapa lo nanya begitu? Kami bertiga saling peduli, karena kami sahabat," tambah gue lagi. Aneh benar sikap Caca hari ini, entah kenapa gue rada-rada tidak suka kehadirannya, setelah tahu bahwa dia sudah punya pacar.

"Enggak papa, maaf jika pertanyaan ku tadi menyinggung kalian. Aku mau pulang dulu." Caca bangkit dari kursi, dia melemparkan senyum seperti penuh tekanan ke kami.

"Lho, cepat amat mau balik."

"Ada tamu di rumah Mal, kasian sama bunda, pasti kecapekan."

Jamal ber'oh ria, dia pun turut berdiri. "Mari gue antar ke depan."

Caca menatap gue datar, hingga dia mengulas senyum kecil. Gue membalasnya dengan senyuman juga. Mereka berdua pun sudah tidak kelihatan lagi punggungnya.

"Caca kenapa nanya begitu tadi, ya, Gas?"

Gue menggidikan bahu menanggapi pertanyaan Siti. Emang benar kok, gue juga nggak tau Caca itu kenapa. Daripada memusingkan kepala, gue mengambil teko berisikan limus rasa jeruk, lalu dituangkan kedalam cangkir keramik. Gue meminumnya begitu nikmat, rasa jeruk menggoyang di indera perasa gue.

"Apa jangan-jangan Caca itu cemburu kali sama Bagas karena peduli sama Siti!"

Uhuk uhuk uhuk

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang