Lama nungguin Siti masak di dapur, dikira dapat jatah ayam goreng. Tau-taunya dapat mie sukses rebus, tiga mangkok, tanpa telor ceplok. Muka gue sama Jamal jadi masam total, seperti buah asem. Tentu saja kami mengoceh, bukannya minta maaf, si Siti malah tertawa nyaring. Tapi ya syukuri aja udah, daripada nggak makan sama sekali. Selesai makan mie tanpa lauk, gue membereskan piring-piring dan membawanya ke wastafel. Memang, kami bertiga berbagi tugas tiap harinya, supaya tidak ada satupun yang nganggur. Keenakan banget kalau nggak bagi tugas harian, dia untung, kami yang buntung. Apalagi si Jamal, dia itu tipe orang pemalas akut.
Usai sudah kami bersiap diri, kami bertiga rencananya mau naik motor aja. Jamal berboncengan sama Siti, sedangkan gue sama bayangan diri sendiri. Miris.
"Mal buruan pakai helm-nya, malah bengong!" Gue menyenggol lengannya, akibatnya si Jamal tersentak kaget.
Siti tertawa melihatnya, dia pun juga ikut-ikutan menyenggol lengan Jamal yang satunya lagi. Akan tetapi dengan tenaga yang lebih kuat di banding gue. Jamal yang jadi bahan pelampiasan kegabutan kami di pagi hari ini mendengus kesal. "Kalian mah jangan ngeselin napa dah?" omelnya, bernada lesu. Persis orang nggak makan setahun.
"Emangnya Jamal mikirin apa, sampai melamun gitu. Kayak kucing ngidam aja." Siti berbicara, sembari memasang helm stiker jari tengah ke kepalanya.
"Heran aja sih, gue sudah makan mie sukses, tapi belum sukses juga." Tanpa pikir panjang, gue menampar pipi Jamal. Dia pun jadi cemberut, alay emang. Gitu doang bibir manyun. Laki apa bini? Lagian juga tamparannya nggak sekeras tamparan betina waktu ketawa.
"Atit tau, Agas mah ebelin!"
"HUWEK!" refleks gue maupun Siti mau muntah rasanya. Si Jamal lagi dalam mode ragil. Rada-rada gila.
"Jamal jangan gitu, Siti jijik sama Jamal, Siti jijik!"
Untuk kedua kalinya, gue mengeluarkan kata 'HUWEK! Dua kecebong ini tidak ada bedanya. Sama-sama gila, bedanya cuma satu, yaitu beda kelamin. Mereka berdua ini kayaknya sudah ditakdirkan bersatu sejak dari zigot.
Dipikir-pikir gue ini ganteng, tapi kenapa ya gagal mulu dalam soal percintaan. Apa karena gue orang yang milih-milih? Hah, enggaklah! Gue orangnya nggak mandang fisik ataupun harta. Gue lebih dulu melirik cewek itu, dari attitude. Percuma cantik kalau kelakuannya kayak sampah. Kerjaannya jadi bahan asupan lelaki belang di malam hari. Jauhkan jauh-jauh ya Allah, semoga jodoh gue orang yang baik-baik.
"Nah sekarang lo yang ngelamun, tadi ngatain gue. Hayo loh lagi mikirin apa?" Jamal menoel dagu gue. Buru-buru gue tepis, ntar dikira orang yang lewat jalan sini gue ini gay. Tau gay? Buat yang nggak tau, gay itu laki-laki mencintai sesama jenis. Kalau lesbi, artinya cewek suka sama cewek.
"Bagas kenapa? Akhir-akhir ini suka ngelamun. Bagas sakit?" Sedikit lagi tangan Siti ingin menyentuh dahi gue. Sebelum itu terjadi, gue segera menjauhkan diri. Nampak Siti memanyunkan bibir, mungkin dia berfikir kalau dirinya layaknya kuman, yang patut di jauhi.
"Nggak usah khawatir, gue sehat-sehat aja. Gue itu lagi mikir, mau kawin dimana ya nanti?"
"Hah?!" Sudah diduga, dua kecebong pada membulatkan bibirnya membentuk huruf 'O besar.
"Emang ada yang mau sama lo?" Jahat banget omongan Jamal, pedasnya melebihi omongan para tetangga. Dia aja yang nggak tau, sebenarnya gue ini banyak diperebutkan cewek-cewek di luar sana. Cuma guenya aja yang diam-diam aja. Apalagi tuh di Bogor, sampai nenek-nenek aja suka merayu gue. Apalagi para gadis-gadis ayu disana.
"Ya adalah yang mau kawin sama gue."
"Siapa?" Kali ini Siti yang bertanya. Mereka berdua terlihat penasaran siapa seseorang yang beruntung mau gue kawinin.
"Kanna Chan."
Siti ataupun Jamal pada melongo tak percaya mendengar nama yang barusan gue sebut. Dengan mulut masih menganga lebar, Jamal menepuk pundak gue. "Nggak nyangka gue punya teman stres akut. Impiannya mau kawin sama anime, si tokoh kartun gepeng itu. Turut berduka cita sama stres lo yang setinggi puncak ini." Dengan dramatis, Jamal menutup mulutnya.
"Astaghfirullah, Siti turut bersuka cita atas kegilaan Bagas. Bagas kenapa nggak bilang ke kita-kita, kalau sudah gila? Kan kalau diberitahu, kami bisa anterin Bagas ke rumah sakit jiwa pakai gerobak," sahut Siti sok dramatis. Jadinya, gue malah terbawa suasana.
Gue menatap lurus ke depan. Angin pagi berhembus membuat rambut gue bergoyang. Sungguh suasana pas buat mengeluarkan kata bijak di pagi hari yang cerah ini. "Jutaan orang tidak menyadari bahwa punya waifu lebih berarti, daripada punya pacar asli tapi selalu membuat sakit hati, hiks." Gue menaruh kepalan tangan ke dada kiri. Seperti seorang lagi mengucapkan sumpah pemuda.
"Hiks, turut bersedih." Dua kecebong memeluk gue di sisi kanan sama kiri. Jamal meneteskan air mata haru, sedangkan Siti sampai mengeluarkan air hingus. Dan disapukannya ke lengan baju gue. Beginilah hidup.
"DIBELI-DIBELI SEMPAK MURAH TAPI NGGAK MURAHAN! MAS, MBAK, MAU BELI SEMPAK? BUAT MENGGANTIKAN SEMPAK YANG SUDAH BERURAI DI JEMURAN? MAU GAMBAR HELLO KITTY ADA, DORAEMON ADA, POWER RANGERS JUGA ADA, BUAT MAS YANG BERDUA. BIAR LEBIH MENAWAN, DI PASANG DI BAWAH PUSAT."
Kami bertiga sama-sama menolak penawaran beliau, dengan cara menggelengkan kepala. Si penjual sempak di daerah sini meneruskan berjualan, dimana beliau teriak-teriak begitu nyaring. Berbakat sekali beliau. Beliau bukan sembarang beliau.
Gue memejamkan mata, masih menikmati pelukan dari dua kecebong. Hangat juga rasanya."Heh kok jadi peluk-pelukan gini sih? Lo gay ya Gas?"
'Plak!
Dengan senang hati gue menggeplak jidat Jamal sampai tersungkur ke belakang. Mampus. Siti yang melihat pasangan kecebongnya jatuh cepat-cepat membantu. Enaknya punya pasangan.
"Ente kadang-kadang!" ketus Siti sambil berkacak pinggang, setelah membantu pasangannya berdiri. Tanpa mempedulikannya, gue menatap Jamal yang lagi mengusap jidatnya.
"BANGSAT LO BAGAS, LO NAMPAR DAHI GUE KENA JERAWAT ANJIR!"
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️