🍁Bab 35🍁

25 7 0
                                    

•Keesokan paginya.

"Gas."

"Gas."

"Bagas bangun."

"Bangun cui."

"WOI KEBAKARAN!"

"HAH?! MANA API MANA API?!"

"DISINI!"

"MANA?!"

Terdengar nyaring suara tawa Jamal, gue mengerjap-ngerjapkan kedua mata. Mengumpulkan nyawa. Kesadaran sudah pulih kembali, bahwa tidak ada api, bahkan asapnya pun juga tidak ada. Sadar sudah di tipu, gue membalikkan badan, lalu mengambil bantal. Dan melemparkannya ke Jamal yang tertawa terbahak-bahak di sofa. Lemparan mengenai sasaran, bantal itu menampar wajahnya keras. Sampai dia jadi terdiam. Kali ini gue yang tertawa terpingkal-pingkal, itulah akibatnya mengerjai gue.

"Bangke, bisa pesek hidung gue!" gerutunya, sambil menyibak bantal dari mukanya. Gue masih saja terkikik geli, tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Habisnya sih, lo sendiri yang gangguin gue tidur. Untung gue nggak ada riwayat penyakit jantung, kalau ada, bisa death gue!" ketus gue, Jamal malah menyengir kuda. Kadang heran sendiri, dia itu teman atau lawan?

"Eh Gas, lo tau nggak kenapa Mas Bram nggak kesini kemarin?"

"Ya mana gue tau, gue bukan Tuhan," jawab gue, seraya menaiki ranjang lagi. Ingin melanjutkan tidur yang sempat tertunda tadi.

"Ck! Jangan tidur dulu ngapa sih?! Gue ini masih ngomong."

Tanpa melirik Jamal sedikitpun, gue malah menarik selimut agar menutupi seluruh badan. Membiarkan Jamal yang mengoceh di pagi hari, layaknya ibu-ibu menagih uang kost. Perlahan-pahan gue merasa kedua kaki jadi dingin, segera gue menyibakan selimut, terlihat Jamal yang sedang menarik selimut gue.

"Ah lo ngeselin amat!" Beberapa kali gue menggertak, berusaha menonjok tangannya pakai kaki. Namun yang ada, kaki gue di sergap Jamal kuat. Dia merenggangkan kedua kaki gue, jadi ngangkang.

"Eh lo mau ngapain?! Mau perkosa ya?! Astaga Jamal, lo gay?!"

"Iya gue gay, Ganteng Amat Ya gue. Sudahlah Gas jangan aneh-aneh lo, itu abangnya Caca kecelakaan sampai harus operasi!"

"Hah?! Cius?!" Gue segera bangkit dari ranjang. Menutup mulut yang menganga lebar, terkejut mendengarnya.

"Apa muka gue terlihat tidak meyakinkan?" Jamal menunjuk wajahnya, gue mendekatkan wajah ke dirinya. Sehingga mata kami saling bertamu.

"Ini mataku mata kanan mataku, mata kiri mataku, mata-mata rawrrr ..." Gue menunjuk mata kanan sama kiri bergantian, sembari berjoget, menyesuaikan irama. Jamal ikutan berdiri, dia juga menyesuaikan gerakannya dengan gue.

"Rawrrr ..."

"Please deh, jangan gila dulu. Emangnya abangnya Caca operasi apa?" Gue bertanya setelah mendudukan diri ke sofa. Jamal pun juga turut duduk di samping gue. Dia mengambil ponselnya dari kantong celana, dan dia menyodorkan HP itu ke gue. Karena penasaran, gue mengambil alih hp-nya. Seketika itu juga, kedua bola mata melotot total. Buru-buru gue mengembalikan HP itu ke Jamal.

"Bangsat lo Jamal!" Gue menutup kedua mata, foto tadi jadi terbayang-bayang di otak. Layaknya biang lala, yang berputar-putar.

"Kan lo sendiri tadi yang nanya, operasi apa. Ya sudah gue tunjukin aja fotonya."

"Ya bukan kayak gitu juga kali, 'kan lo bisa ngasih tau nggak usah pake tunjukin foto segala! Lo tau sendiri, gue nggak bisa liat begituan," omel gue blak-blakkan. Ingin rasanya menangis sekarang juga. Trauma gue liat yang remuk-remuk, apalagi darahnya banyak.

"Iya-iya maaf."

"Dia kecelakaan kapan?"

"Kata Caca sih, waktu mas Bram mau nganterin sup ke kost kita."

"Hah iyakah? Astaga ngerinya." Gue jadi merasa bersalah. Ini salah gue, andai saja gue nggak minta anterin sup kesini. Pasti mas Bram nggak bakalan kecelakaan, sampai harus operasi tangan. Yang ngerinya, tangannya yang remuk itu apa kudu di potong? Kalau iya, ntar jadi buntung. Bisa-bisa mas Bram benci banget sama gue. Ah sial, nggak bisa tidur gue kek gini.

"Kita jenguk yuk, nggak enak hati juga nggak kesana. Lagian juga, beliau kecelakaan karena mau nganterin sup buat kita."

Gue menoleh ke arah Jamal, dia nampak merasa bersalah juga. Kami berdua terdiam, tak berucap sepatah kata. Andai saja ada Doraemon, gue akan minta pengulangan waktu, supaya tidak usah anterin sup kesini. Pasti mas Bram nggak bakal kenapa-kenapa. Jadi nggak enak hati gue sama Caca, apa dia marah sama gue? Dan nggak mau maafin gue. Ngeri banget sih kalau itu terjadi.

'Cklek!

"Hai, Siti sudah pulang, di cariin tadi kesana-kemari tau-taunya kalian berdua ada di---"

Kami berdua serentak melabuhkan pandang ke Siti yang membeku di depan pintu, sambil memperhatikan kami satu persatu.

"Kalian kenapa? Kok sedih gitu mukanya?" Siti meletakkan barang belanjaannya ke atas meja, lalu mendekati kami berdua. Dia duduk di tengah-tengah. Memandangi kami bergantian. Kami menundukkan kepala lagi ke bawah, penyesalan memang selalu ada di akhir. Seperti pepatah bilang, nasi sudah menjadi bubur.

"Abangnya Caca kecelakaan, sampai harus operasi tangan. Dan itu gara-gara kita, asal mau aja menerima tawaran Caca agar abangnya yang nganterin sup. Dan sekarang, dia kecelakaan. Biaya operasinya pun juga enggak main-main lho." Jamal menjawab. Menatap gue sama Siti gantian.

Gue lihat Siti langsung menutup mulutnya. "Astaghfirullah, kasian sekali. Pasti Caca sedih banget, Siti jadi nggak tega. Gimana kalau kita jenguk ke rumah sakit sekarang? Tapi sebelum itu kita makan dulu. Bentar ya, Siti mau masak. Kalian siap-siap aja duluan." Tak berselang lama, Siti sudah menghilang dari pandangan.

"Huh, mending lo mandi dulu Gas. Bau bangkai badan lo." Jamal juga ikut keluar, menyisakan gue seorang diri. Gue menoleh ke kanan, dimana ada kaca panjang yang menempel di lemari. Di situ gue melihat penampilan diri sendiri, seperti seorang gelandangan.

Bersambung ... 

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang