Ketika di dalam kamar rawat sudah ada Caca, nyokapnya, Jamal, Siti, sama mas Bram yang lagi rebahan santui. Yaiyalah Mas Bram ada, 'kan dia yang sakit, ada-ada aja lo Bagas.
Gue hanya bisa melemparkan senyum ke mereka, sekalian basa-basi nanyain gimana kondisi mas Bram. Alhamdulillah, dia baik-baik aja katanya, cuma tangannya doang yang bisa dikatakan tidak baik-baik. Nggak tau juga sih bentuknya kek gimana, apa lebih mengerikan difoto atau aslinya. Gue juga nggak mau kepo minta dilihat, biarin aja ditutup pakai perban.
"Kapan dimulai operasinya?" tanya gue penasaran. Gue juga baru ingat nggak bawa bingkisan ke sini, bisa-bisanya gue lupa soal itu. Datang kesini cuma memenuhi ruangan doang.
"Sudah di operasi malam tadi," jawab Mas Bram, sembari melirik tangannya yang diperban rapi. Gue mangut-mangut mengerti.
"Oh ya Mas Bram, maaf karena saya Mas Bram jadi kecelakaan."
"Hah? Kamu ini ngomong apa Gas? Ini bukan salahmu, ini sudah takdir."
"Betul tuh Nak Bagas, Nak Bagas nggak ada salah ada-ada, buat apa minta maaf?" sahut nyokap Caca, beliau geleng-geleng kepala kecil.
"Karena saya minta Caca buat anterin ke kost, jadinya mas Bram malah kecelakaan. Saya jadi tidak enak hati."
"Astaghfirullah Bagas, kok kamu mikir kesitu? Tidak perlu minta maaf, kamu tidak salah apa-apa. Ini salah Mas sendiri yang nggak hati-hati."
"Tapi tetap saja saya merasa salah."
Tiba-tiba saja Caca menepuk pundak kiri gue. Dia melemparkan senyum, sebuah senyuman yang mengunggah hati gue jadi teduh. Hingga gue pun juga ikut tersenyum. "Jangan menyalahkan diri, kamu tidak salah," ucapnya lembut, sungguh, gue betul-betul larut dalam tatapannya. Ternyata perasaan suka itu masih ada.
"Maaf sebelumnya, Gas ada yang mau gue bicarain di luar bentar." Jamal mendekati gue, ekor matanya mengarah ke pintu. Gue mengangguk kecil, lalu menatap Caca.
"Tunggu sebentar." Dia menganggukkan kepalanya setuju. Gue pun mengikuti Jamal ke luar, sesudah pintu tertutup sempurna. Jamal menarik lengan gue, membawa lumayan jauh dari ruangan rawat mas Bram.
"Ada apa?" Gue langsung mengutarakan pertanyaan, habisnya muka Jamal nampak serius. Nggak seperti biasa.
"Lo kemana aja tadi, kok baru sampai?"
"Motor gue mogok, gue mau minta tolong sama lo tapi lo cepat banget bawa motor, kayak Rossi. Terus gue ke bengkel aja," jawab gue agak ketus, rasa sebal ditinggalkan sendirian masih membekas di hati. Si Jamal bukannya minta maaf kek, ini malah ketawa, jadi makin sebal gue sama dia.
"Sorry soal itu, tapi lucu juga sih hahaha ..."
"Lucu-lucu, pala lo lucu!"
"Eh Gas, tadi sebelum lo sampai sini nyokap lo nelpon gue."
"What?!"
***
"Papa mau berangkat sekarang?" Baru turun dari tangga, aku berpapasan dengan papa yang baru keluar dari kamarnya. Ku teliti penampilannya lebih rapi dibanding pergi ke kantor. Bau parfum juga lumayan menyengat di hidung, biasanya papa tiap pergi kemanapun itu tidak pernah memakai parfum dengan bau yang sangat mencolok ini. Rasanya tidak mungkin mau ketemuan teman serapi ini.
"Iya, kamu istirahat di rumah ya. Papa cuma sebentar kok."
"Oh oke, hati-hati." Papa tersenyum lebar, sambil mengusap rambutku. Aku memperhatikan belakang punggungnya yang mulai menghilang dari pandangan.
"Apa benar papa mau ketemuan sama temannya? Kenapa aku merasa dibohongi, lebih baik ku ikuti saja." Sebelum papa benar-benar pergi, secepat kilat aku berlari ke atas. Di kamar, aku langsung menyambar cardigan abu-abu, beserta topi, dompet dan masker. Tak ingin kehilangan jejak, aku berlari cepat sampai hampir saja terjatuh di tangga. Beruntung aku bisa menahan beban tubuh.
Bunyi deru mesin mulai terdengar, aku menunggu-nunggu papa keluar dari gerbang. Setelah benar-benar keluar, aku lari lagi ke arah pangkalan ojek, yang kebetulan mangkal di dekat rumahku. Pada akhirnya aku memakai jasa ojek, ku suruh dia buat cepat-cepat mengendarai motornya, supaya tidak kehilangan jejak. Sesekali aku bersembunyi di balik badan abang ojek, agar papa tidak mengetahui keberadaan ku yang lagi mengikutinya dari spion mobil.
"Bang, bisa lebih cepat?" pinta ku was-was, takut jikalau kehilangan keberadaan papa. Yang ada, nanti aku tidak tahu kenyataan sebenarnya.
"Ini sudah cepat Dek, kalau cepat banget nanti bahaya sama keselamatan kita. Biar pelan asal selamat."
Aku hanya memutar kedua bola mata jenuh. Tanpa di peringati aku juga tau, tapi masalahnya ini penting. "Ini penting Bang! Kalau gitu biar saya yang bawa motornya. Berhenti!" Ku tepuk pundaknya agak kencang. Awalnya abang ojek nggak mau, tapi aku tetap bersikeras biar aku saja yang membawa. Ujung-ujungnya abang ojek mau juga, sebelum menjauh total mobil papa, aku langsung tancap gas setelah ganti posisi.
'Brum!
"ASTAGHFIRULLAH DEK! KALAU MAU MATI JANGAN NGAJAK-NGAJAK SAYA WAAAAAAAAAAA!!!!"
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️