🍁Bab 53🍁

19 7 0
                                    

Tok tok tok


"Masuk."

Sesampainya di depan ruangan pribadi dokter Stefan, langsung saja Jamal mengetuk pintunya tak sabaran. Hingga yang di dalam pun mungkin agaknya sedikit terkejut karena gedoran keras dari Jamal. Setelah di suruh masuk, kami berdua masuk ke dalam ruangan tersebut, sedangkan Siti lagi pergi ke toilet sewaktu dalam perjalanan ke sini, jadi tinggalah kami berdua. Dokter Stefan melemparkan senyum kecilnya ke arah kami, yang ku balas juga akan senyuman, namun Jamal ku lihat di bibirnya sama sekali tidak tertarik sebuah senyum di kedua sudut bibirnya itu. Yang ada hanya ekspresi khawatir campur ketakutan.

"Bagaimana tentang kondisi sahabat saya Dok? Dia baik-baik saja 'kan?" Baru saja duduk, Jamal sudah memberikan sebuah pertanyaan mendesak. Dokter Stefan menyuruhnya agar bersikap tenang.

"Bagaimana saya bisa tenang Dok, ini sahabat saya masih belum juga siuman!" Jamal menghentakkan kedua kakinya keras ke dasar lantai keramik. Terlihat jelas kedua bola matanya melotot kemerahan.

"Tolong tenanglah, kita bisa bicarakan baik-baik, bukan membentak-bentak seperti ini. Ingat, sekarang ini anda ada di rumah sakit, jadi jagalah attitude anda," kata dokter Stefan dengan raut datarnya, namun ucapannya barusan terdengar menusuk di hati.

Aku mengusap bahu kanan Jamal pelan beberapa kali, sampai dia bisa mengatur emosinya. Akhirnya dia sudah terkontrol, dilihat dari deru nafasnya. Melihatnya, dokter Stefan mulai membicarakan terkait Bagas secara serius.

"Apakah bisa menghubungi orang tua teman anda agar datang kemari untuk menemui saya?" tanyanya, sama persis seperti pertanyaan yang dia berikan kepadaku sejam yang lalu.

"Tidak bisa, orang tuanya Bagas ada di luar negeri karena ada pekerjaan. Semisal di telpon untuk mengasih tahu kabar ini yang ada orang tuanya akan khawatir disana."

Mendengarnya, refleks dahiku mengkerut heran. Perasaan ibunya Bagas masih ada di sini, bukan di luar negeri, jadi kenapa Jamal berbohong? Pertanyaan ini malah memenuhi pikiran. Sontak saja hasrat ingin bertanya itu muncul.

"Bukannya ib---" Belum sampai ucapan tuntas, Jamal sudah memberikan tatapan tajam bagaikan elang. Alhasil aku mengurungkan niat untuk bertanya, sepertinya Jamal sengaja berbohong agar orang tuanya Bagas tidak merasa cemas. Tapi bagaimanapun juga berbohong itu tidak baik, ujung-ujungnya juga akan tahu kebenarannya, lebih baik berkata jujur saja sekarang daripada disembunyikan.

"Sebelum itu saya mau bertanya, apakah anda sudah tahu tentang penyakit yang diindap oleh saudara Bagas sebelumnya?" tanya dokter Stefan penuh selidik, aku pun turut memfokuskan pandang ke arah Jamal.

"Ya, makanya itu saya sangat khawatir sama dia," jawabnya dengan raut sendu.

"Sejak kapan anda sudah mengetahuinya?"

"Kemarin."

"Apakah saudara Bagas juga baru mengetahui soal penyakitnya ini atau sudah lama dia tahu tapi dirahasiakan?"

"Baru saja, karena itulah dia merasa sangat terpuruk."

Cukup dari jawaban Jamal ini sudah menjawab pertanyaan di dalam otakku. Ternyata penyebab Bagas sedih kemarin di rumah sakit karena mengetahui penyakit yang dia derita, dan kemungkinan besar dia sulit untuk menerimanya. Ku lihat dokter Stefan menganggukan kepalanya sebentar.

"Sebenarnya Bagas sakit apa Dok? Apakah sangat berbahaya?" Dua pertanyaan sekaligus ku keluarkan, dokter Stefan beralih menatapku. Mulutnya mulai bergerak ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Jamal menghentikannya.

"Lo itu orang asing, ngapain nanya-nanya?!"

Aku menatap Jamal yang terlihat jelas bahwa dia terpancing emosi atas pertanyaanku barusan.

"Bagaimanapun juga aku ini teman Bagas, aku murni khawatir sama dia, makanya aku bertanya, karena sewaktu di taman tadi dia sangat merasa sakit kepala luar biasa. Bahkan bukan hanya itu saja, dia juga mimisan, darah yang keluar juga tidak terbilang sedikit. Maka dari itu aku ingin mengetahuinya, bukan berarti aku hanya ingin tahu tapi tidak peduli, malahan yang ada aku betul-betul peduli dengannya, kalau tidak ngapain aku membawanya ke sini dan capek-capek mendatangimu untuk memberitahu soal ini? Semisal aku tidak peduli dengannya, kau tidak mungkin ada disini." balasku tetap tenang.

"Bentar-bentar, sejak kapan lo temenan sama Bagas?!"

"Apa kau lupa bahwa kita pernah bertemu sebelumnya di Caffe? Dimana Bagas meninggalkan kalian dan dia malah menemuiku, apakah kamu tidak ingat atau pura-pura tidak ingat?" Tergambar jelas Jamal sedang mengingatnya, tak lama dia membuang nafas kasar, lalu membuang muka. Itu sudah ku anggap bahwa dia sudah ingat denganku.

"Berhenti, ini tempat saya, bukan tempat debat kalian!" tegas dokter Stefan kepada kami berdua, aku hanya bisa mengucapkan maaf, yang dibalasnya akan gelengan kepala kecil dalam sebentar.

"Saya sarankan, agar anda secepatnya mengasih tahu soal ini ke orang tuanya teman anda, lebih cepat lebih baik. Dilihat dari gerak-gerik anda seperti ini sudah terlihat jelas bahwa anda sengaja merahasiakannya agar tidak ketahuan orang tuanya ataupun orang terdekatnya selain kamu seorang bukan? Saya cuma mengasih peringatan bahwa tidak ada gunanya menutup-nutupi hal ini, karena ujung-ujungnya mereka akan tahu. Dan mereka kemungkinan besar akan marah kepadamu karena sudah merahasiakannya, terutama bagi orang tuanya teman anda itu. Apakah anda sudah memikirkannya sampai kesitu? Apakah anda tidak takut terus-terusan disalahkan?" Jamal menundukkan kepalanya ke bawah, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sepertinya dia tengah merenungi ucapan dokter Stefan barusan. Tak berselang lama, Jamal menaikkan kepalanya, menatap dokter Stefan intens.

"Baik, saya akan memberitahukan hal ini kepada orang tuanya, dan saya akan memintanya untuk menemui anda."

Aku bernafas lega, akhirnya dia mau juga menurut. Dokter Stefan pun juga ikut menghembuskan nafas lega sambil tersenyum simpul. "Keputusan yang tepat, saya berterimakasih kepadamu."

"Tidak, saya yang seharusnya berterimakasih kepada anda. Baiklah kalau begitu, saya pamit keluar dulu." Dokter Stefan menganggukan kepalanya tanda setuju, selepasnya kami berdua keluar dari ruangan tersebut. Dan menemui Siti lagi duduk di kursi tunggu depan ruangan. Ketika melihat kami, dia langsung bangkit dari duduknya.

"Bagaimana Jamal? Siti tadi pengen masuk tapi nggak enak, karena sudah ada dua orang di dalam, jadinya Siti nunggu disini nggak apa 'kan?"

Jamal menganggukan kepalanya tanpa senyuman. Disaat dia ingin pergi, aku mencegatnya dengan sebuah pertanyaan. "Sebenarnya Bagas itu sakit apa?"

Jamal memutar badannya ke belakang, menghadapku. Tercetak jelas kedua matanya berkaca-kaca.

"Bagas itu kena kanker darah, puas lo?!"

"Apa?"

Bersambung...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang