Bagas terus-terusan merengek di dalam selimut. Dia juga memeluk kaki ku, seperti gulingnya. Aku memandangi jendela yang gordennya terbuka setengah itu, samar-samar ada bayangan seseorang disana. Ku sipitkan mata, untuk memperjelas, siapakah yang ada disitu. Setelah ku titik fokuskan pandangan, ternyata seseorang itu ialah pak satpam. Beliau menyalakan senter, dan menyorotkan sinarnya ke arahku. Otomatis, aku melindungi mata dengan pergelangan tangan. Silau.
"Maaf jika kehadiran saya membuat anda kaget, maaf juga atas ketidaknyamanannya, karena listrik mengalami korslet. Tapi tenang saja, nanti akan kembali terang. Para petugas PLN masih dalam perjalanan kesini. Tunggu sebentar disana, saya akan memberikan senter ini," titahnya, seraya mengangkat senter satunya lagi yang ada ditangannya.
Bagas langsung keluar dari persembunyiannya setelah mendengar suara pak satpam. Cowok apaan dia ini, dasar si penakut. Gaya aja sok iya, nyatanya orang yang penakut. Seperti anak kecil yang takut badut saja.
"Astaga, Pak, kenapa nggak lewat pintu depan? Harus banget ngetuk di jendela?" tanya Bagas agak ngegas. Meskipun cuma dibekali sinar senter, aku masih bisa melihat keringat yang bercucuran di pelipisnya.
"Lho, ada dua orang ternyata ... itu saya pikir pasien yang ada di ruangan ini sudah tidur, makanya saya nggak mau bangunin tidurnya. Oleh karena itu saya ingin memastikannya lewat jendela sini. Ternyata kalian belum tidur. Maaf soal itu."
"Seharusnya, ya, Pak, bangunin aja. Ntar kalau si pasiennya bangun dari tidurnya, eh, dia nggak bisa liat apa-apa. Dia juga bisa berfikiran kalau dia buta, lebih parahnya lagi, bisa saja dia pikir ada di alam baka," Ku cubit pinggangnya, mengakibatkan dirinya melotot ke arahku. Ku balas juga dengan tatapan sengit.
"Pak, bisa hantarkan senternya ke sini?"
"Bisa Dek, sebentar, ya."
Setelah kepergian pak satpam, aku mendorong Bagas yang keenakan duduk di atas pahaku. Dia kira, ini paha sofa apa? Bukan Bagas namanya kalau sifatnya itu alay bin lebay, di dorong sedikit aja dilebih-lebihkan rengekannya.
"Huwa Ray, ente jahat banget ahhh!" ujarnya manja, sembari mengusap-usap bokongnya yang tidak berisi itu. Kayaknya.
Aku berdecih menanggapi kealayannya yang setinggi menara eiffel. "Cowok, tapi penakut," gumam ku agak pelan. Sepersekian menit, aku tidak mendengar suaranya ataupun pergerakannya. Adanya hanya bunyi jangkrik malam dan para cicak saling bersahut-sahutan. Kecemasan tiba-tiba menghampiri, apa dia pingsan?
"Bagas, are you ok?"
"..."
"Gas?"
"..."
Shut ...
Aku merasakan ada hembusan nafas seseorang di belakang leher. Seketika bulu roma pada meremang, ku usap-usap kedua tangan secara perlahan. Entah kenapa, hawanya jadi dingin begini. Lama-kelamaan hembusan nafas itu kian nampak terasa. Aku menoleh ke samping, dan hanya kegelapan yang ku dapatkan. Perasaan ku langsung berubah tidak enak, terlebih lagi, Bagas tidak membunyikan tanda-tanda kehadirannya. Ah, aku harus positif thinking, mungkin Bagas iseng. Supaya aku takut, ya, benar.
"Apapun yang kamu lakukan, aku tidak takut seperti mu. Hentikan!"
"..."
Lagi-lagi ucapan ku tidak dihiraukan. Yang ada, tiupan di leher makin menjadi-jadi, sepertinya anak ini minta di tonjok. "Ku bilang hentikan bo---"
'Cklek!
Pintu terbuka lebar, dimana pak satpam ada disana, beliau mengucapkan salam terlebih dahulu. Kemudian masuk, ingin memberikan senter. Sorot cahaya senter diarahkan beliau ke lantai, saat itu juga beliau berlari kecil menghampiri. Sebelah alisku terangkat, ku lirik ke bawah juga. Bertepatan dengan apa yang kulihat, mulutku menganga lebar. Pasalnya, Bagas tergelatak disitu.
"Dek, ini temannya kenapa? Kok sampai pingsan begini?"
Pertanyaan beliau tidak dapat ku jawab, lidahku terasa kelu untuk diajak kerjasama. Kalau Bagas pingsan, terus siapa tadi yang meniup belakang leherku? Tiba-tiba saja pandangan ku berubah jadi buram, lambat laut semuanya berubah jadi gelap gulita.
"Dek, kenapa, Dek?!"
Samar-samar aku masih bisa mendengar suara pak satpam yang memanggil-manggil ku. Bagaikan terbawa angin, suaranya lenyap seketika.
Pukul 08.30 WIB.
"Eh Ray, lo tau nggak, kenapa nih rumah sakit buka waktu hari raya?"
Aku menutup novel, setelah melipat ujung kertasnya, sebagai tanda, untuk bisa melanjutkannya nanti. Ku lirik Bagas yang lagi minum. Minuman siapa lagi kalau bukan punyaku. Emang manusia nggak punya modal. "Kau pikir, semua manusia di bumi ini agama Islam?"
Pertanyaan barusan disambut Bagas dengan cengiran kuda. Aku hanya merolling eyes, menanggapi.
"Hehehe ... udah, ah, gue mau potong rambut dulu. Biar makin tampan."
Aku memasang raut jijik, selain lebay, dia juga orang yang kepedean. Muka kayak kurcaci begitu dibilang tampan. Tampan darimana coba? Tampan dari belakang baru iya.
"Dah, gue mau pergi dulu. Hati-hati lho ada hantunya, bye!" Bagas mencabut charger yang mengisi daya ponselnya sampai full. Kemudian dia beranjak pergi, meninggalkan bau parfum yang dia gunakan tadi.
Aku bergidik ngeri, mengingat kejadian tadi malam. Bagaimanapun juga, aku hari ini mau pulang pokoknya. Titik, nggak pakai koma. Ku lirik ke arah jendela yang terbuka, dimana awan-awan hitam pada berkumpul, seperti lagi mengadakan reuni. Angin luar, masuk kedalam, hingga mengenai wajah beserta rambutku. Terpaan angin pagi di hari yang mendung ini ingin membuatku tidur lagi. Ada enaknya juga dapat ruangan di ujung begini, secara langsung dapat melihat pemandangan luar.
Beberapa menit telah berlalu, aku menaruh novel ke atas meja. Bosan. Dan berjalan ke arah jendela, sembari meresapi angin yang masih setia berlalu-lalang. Rintik hujan turun membasahi tanah, aku memandang ke arah pintu. Kira-kira kemana perginya Bagas? Sampai sekarang masih belum balik. Tidak mungkin potong rambut bisa selama ini, kecuali antrian panjang.
"Ah, Ray, kamu ini kenapa sih, ngapain juga mengharap dia kesini. Seharusnya kamu itu senang dia sudah pergi, nggak ada yang ganggu kamu lagi." Aku menepuk jidat pelan, lalu geleng-geleng kepala, menepis semuanya yang bersangkutan dengan Bagas.
'Cklek!
Tapi harapan ku pupus seketika, orang yang dimaksud tadi membuka pintu, dan tersenyum ke arahku. Menampilkan deretan giginya, yang bisa dikatakan rapi dan putih. Dia berjalan mendekati ku, lalu membuka topi yang dikenakannya. Entah dimana dia beli topi bergambar Mickey mouse itu.
"Makin ganteng, kan, gue?"
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️