"Ray, tungguin! Huh ... hah ... huh ...!" Akibat lari maraton, mengejar Ray, nafas gue jadi tidak beraturan. Tersengal-sengal seperti sesak nafas, ya, sesak nafas. Sesak nafas karena kehadiranmu di sisiku. Eaaaaa.
Ray akhirnya mau berhenti jalan juga, gila amat ini anak. Badan doang kecil, tapi langkahnya panjang. Minuman yang ada di tangan Ray, gue ambil. Buat menghilangkan kekeringan di tenggorokan, gue meminumnya begitu nikmat. Minum minuman dingin waktu panas-panas begini emang cocok buat menemani saat istirahat, sambil makan pentol pedas. Beuh nikmat mana yang engkau dustakan.
"Ah, nikmatnya. Nih, makasih, ya." Gue mengembalikan minumannya lagi, yang kapasitas isinya menurun drastis.
"Aku baru beli dan kamu asal ambil saja tanpa ijin. Dasar manusia zaman sekarang, tidak ada etika.* Gue cuma bisa menggaruk tengkuk leher, serta terkekeh pelan. Pada dasarnya, apa yang dikatakan Ray barusan emang benar, sih.
Gue juga yang asal-asalan minum minuman punya orang, mana nggak ijin sama pemiliknya lagi. Tapi ya gimana ya, gue tadi haus banget, nggak bisa ditahan-tahan lagi. Lagipula, gue yakin, semisal minta ijin, dianya nggak akan mau kasih. Palingan dia bilang gini 'Beli saja sendiri'. Huh, sudah ketebak. Nggak sampai berbulan-bulan lamanya, gue sudah sedikit tahu sikapnya itu gimana. Walaupun begitu, gue suka sama sikapnya, karena terasa lebih menantang.
"Hehehe sorry." Dua jari diangkat, membentuk huruf V besar.
"Ada-ada saja."
"Eh, eh, mau kemana? Gue baru sampe loh, tadi gue dikatain nggak punya etika. Lah, lo sendiri juga nggak ada etikanya. Jangan kemakan omongan lo." Tunjuk gue ke mukanya. Ray mendongakkan kepalanya menatap gue. Kasian pendek, mending jadi toples aja. Ingin rasanya bilang demikian.
"Apa?!" tanyanya yang membentak, alias tidak santai.
"Wei kalem dong, gue cuma mau tanya, lo itu sekolah dimana, sih?"
"Urusan denganmu apa?"
"Ya ... gue cuma pengen tau aja, siapa tau, kan, kita sama-sama satu sekolah, hanya saja kita nggak pernah saling ketemu," jawab gue seadanya, emang iya sih, gue penasaran dia ini sekolahnya dimana. Kalau jalannya searah, bisa gue ajakin berangkat bareng.
"Semisal aku ngasih tau, kau mau apa?"
Ini anak benar-benar banyak tanya, jawab aja apa susahnya, sih? Sebegitu private banget, ya, sampe nggak mau kasih tau nama sekolahnya. Kalau ini orang si Jamal, gue tarik juga pentilnya. Biar kendor.
"Nggak apa-apa, sih."
"Percuma tanya!" Ray berlalu, melalui gue. Gue membalikan badan, melihat dirinya yang mulai berjalan jauh.
"Eh, tunggu dulu!" Tanpa basa-basi, gue langsung tancap gas menyusulnya. Baju pergelangan Ray gue tarik, alhasil dia menghentikan langkahnya.
"Ada apa lagi?!" ketusnya, seraya menepis tangan gue yang nangkring di bajunya. Dikira tangan gue ini kuman kali, ya.
"Lo kenapa, sih, nggak suka banget ketemu sama gue? Padahal, kan, gue mau ngajak lo temenan," tanya gue serius, nggak percaya? Lihat saja, nih, muka, pakai mata batin.
Ray menatap gue intens, dari manik-manik matanya gue bisa menangkap ada sesuatu hal yang bersembunyi didalamnya. Tatapan yang beda dari biasanya, kali ini tatapannya nampak sayu. Dia membuang pandangannya ke sembarang tempat.
"Aku tidak suka punya teman." Ray kembali memandangi gue. " ... aku suka sendiri, jadi, jangan pernah berharap kita bisa temenan, paham?" lanjutnya.
Gue terdiam sesaat. "Gue yakin, lo ada masalah di masa lalu, makanya jadi begini. Ingat Ray, walaupun gue nggak tahu masalah apa itu, tapi gue saranin jangan terlalu dalam mengingat masa lalu yang buruk. Imbasnya, lo akan selalu merasa terpuruk. Episode perjalanan lo masih panjang, jangan sia-sia, kan, itu. Lo harus bisa bangkit, pikirkan masa depan yang gemilang. Sekali lagi gue peringati, jangan berlarut-larut dalam kesedihan di masa lalu." Entah apa yang merasuki jiwa gue kini, sampai bisa ngomong bijak seperti itu. Buset, keren beut gue.
Ray masih setia melabuhkan tatapannya ke gue. Yang membuat gue heran, kedua matanya nampak memerah. Apa gue salah omong tadi?
"Kau tidak tau apa-apa, urus saja dirimu, jangan mengurusi hidup orang lain!"
"Gue cuma kasih saran Ray! Come'on men!"
"Aku tidak butuh saran darimu, kau ini siapa ku, hah? Orang tuaku? Temanku? Saudaraku? Tidak! Kau bukan siapa-siapa. Kau itu hanya orang luar yang cuma ingin tahu urusan orang lain."
"Gue itu peduli sama lo, bukan hanya ingin tahu doang. Lo-nya aja yang berfikiran buruk tentang gue, karena apa? Karena lo belum tahu siapa gue, dan gue belum tahu siapa lo. Makanya itu, gue mau lo jadi teman gue." Kali ini gue berbicara dengan nada agak tinggi, supaya dia mengerti kalau gue memang serius ingin jadi temannya.
Ray geleng-geleng kepala sebentar, lalu dia beranjak pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Gue masih berdiri di tempat, terus memandangi dia yang mulai menjauh dari gue.
"GUE TIDAK AKAN PERNAH MENYERAH RAY! GUE AKAN TERUS BERADA DI HIDUP LO!" teriak gue teramat nyaring. Walaupun dia masih saja berjalan tanpa memalingkan mukanya ke belakang, tapi gue yakin dia masih bisa mendengarnya. Toh, orang-orang yang berjalan di depan Ray aja pada nengok ke arah gue sebentar.
"Gue tidak akan pernah menyerah Ray," gumam gue, dimana Ray sudah mulai jauh dari pandangan.
"Woi, asu!"
Gue kaget bukan main, habisnya dari belakang Jamal menepuk pundak gue. Semisal gue punya riwayat penyakit jantung, bisa inalillahi.
"Kaget gue sialan! Apasih?!"
"Lah, pake nanya, nih, bocah ingusan! Lo tuh kenapa tinggalin gue sendirian bangke! Tau-taunya disini, ngapain sih?" Gue masih menatap lurus ke depan. Dari ekor mata, Jamal ikut-ikutan melihat ke depan.
"Lagi liatin apaan lo? Cewek seksi, ya?" Jamal menaik-turunkan kedua alisnya, sambil melemparkan senyum aneh.
"Seksi-seksi, pala lo seksi!"
"Halah!"
Tak lama kemudian, gue bareng Jamal balik ke kost. Sampai sudah di kost, ada seorang perempuan yang lagi berdirinya membelakangi kami. Dimana perempuan itu lagi berbincang dengan Siti.
"Siapa itu Gas?"
Gue hanya menggidikan bahu tidak tahu. "Samperin." Jamal menganggukan kepalanya. Sampai kami sudah dekat, tiba-tiba saja Siti menunjuk gue.
"Itu Bagas sudah pulang, Tan."
"Tan?" gumam gue teramat kecil.
Perempuan tadi memutar badannya ke belakang, seketika itu juga bola mata gue melebar sempurna.
"Mama."
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
TACENDA [End]✓
Teen FictionStory 4 (Bromance, no BL!) ❝𝓚𝓲𝓽𝓪 𝓼𝓪𝓶𝓪-𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓳𝓾𝓽𝓪 𝔀𝓪𝓻𝓷𝓪. ❞ "Lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan." 🄳🄾🄽 🄲🄾🄿🅈 🄼🅈 🅂🅃🄾🅁🅈 🄿🄻🄴🄰🅂🄴‼️