🍁Bab 47🍁

25 9 3
                                    

"Gue ada dimana?" Baru saja membuka mata, gue sudah sadar kalau tempat ini adalah tempat asing. Perlahan-lahan pandangan gue yang awalnya buram jadi mulai jernih. Objek pertama yang gue lihat adalah langit-langit plafon, kemudian disusul dengan keberadaan kedua teman gue yang berdiri di samping gue. Mereka adalah Jamal dan juga Siti.

"Gimana keadaan lo Gas?"

"Ish Jamal baru aja Bagas sadar sudah di intruksi aja. Sekarang Bagas ada di rumah sakit, soalnya Bagas tadi pingsan kedua kalinya."

"Hah?" Ucapan Siti sukses membuat gue langsung ubah posisi jadi duduk. Gue merasa sakit kepala luar biasa, seakan-akan kepala gue ditusuk-tusuk beribu jarum tiada henti. Gue juga merasakan kondisi tubuh yang panas tinggi.

"Eh Bagas, rebahan dulu! Kondisi Bagas masih belum stabil, kudu banyak istirahat!" Siti membantu merebahkan gue kembali, mau tidak mau gue menurut saja. Lagian juga kalau duduk penglihatan pada putar-putar kayak biang lala.

Menyadari ada yang kurang, dahi gue mengernyit otomatis. "Dimana Ray? Bukannya dia bersama gue tadi." Jamal maupun Siti pada bertukar pandang, lalu kembali memandangi gue.

"Dia pergi duluan, katanya ada urusan," sahut Jamal menjawab pertanyaan gue, yang diangguki Siti mantap.

Gue menghempaskan nafas berat, padahal gue mau berterimakasih sama dia. "Mana ya ponsel gue?"

"Oh iya ini ponsel lo, untung aja nggak mati habis kena hujan." Jamal menyerahkan ponsel gue, dan gue segera mencari nama seseorang disitu buat dihubungi. Siapa lagi kalau bukan nomor Ray. Akan tetapi nomornya malah tidak aktif, sudah tiga kali lebih gue menghubunginya masih saja tidak aktif.

"Mungkin ponselnya lowbat kali Gas, ntar dia balik hubungin lo lagi kok. Percaya deh sama gue."

Gue memijit batang hidung sebentar. "Caca nggak taukan soal ini?" tanya gue kepada mereka.

"Lo tenang aja, kondisi lo cuma kami berdua yang tau. Iya 'kan Ti?" Siti menganggukkan kepalanya setuju. Gue menghela nafas lega jadinya, gue tidak mau menambahkan pikiran Caca. Urusan abangnya aja masih belum lurus, masa iya nambah lagi.

"Tapi dia nggak tau 'kan kalau kita masih ada disini?" Keduanya kompak menggeleng, gue pun bernafas lega kedua kalinya.

"Tadi Siti sudah bilang ke Caca kalau kita pulang duluan. Tadi Caca sempat nanya dimana Bagas, soalnya tadi cuma Siti sama Jamal doang yang pamit ke mereka," terang Siti.

"Nanya apa?"

"Cuma nanyain lo dimana, gue bilang kalau lo pulang duluan nggak bisa pamitan karena ada urusan mendadak. Beruntung Caca nggak naruh curiga."

Gue mengacungkan kedua jari jempol ke mereka. Memang, dua kecebong ini betul-betul teman setia. "Satu lagi, gue mohon sama kalian jaga rahasia ini rapat-rapat tanpa diketahui sama yang lain, terutama keluarga gue ataupun teman-teman yang lain. Penyakit gue cukup kalian yang tau."

"Apa nggak salah Gas? Seharusnya kasih tau soal penyakit lo ini ke orang tua lo, biar dapat penanganan cepat. Kalau dirahasiakan gini, penyakit lo makin parah. Kita berdua nggak bisa bantu lo apa-apa Gas, kami cuma bisa nemanin doang."

"Siti setuju sama Jamal, Bagas jangan main rahasia-rahasia gini. Orang tua Bagas harus tau penyakit Bagas."

"Gue nggak mau mereka tahu penyakit gue!" ketus gue bernada tinggi. Tidak terima dengan hasutan mereka.

"Terus, lo mau kayak gini terus? Lo nggak mau sembuh gitu?"

"Bukan begitu Mal, gue mau kok sembuh, tapi gue nggak mau melibatkan kedua orang tua gue. Lagian juga percuma, mereka tidak peduli dengan anaknya, mereka itu lebih mementingkan diri sendiri. Egois memang, jadi buat apa dikasih tau? Gue bisa kok jaga diri. Kalau kalian tidak mau temenan sama orang yang penyakitan, silahkan pergi, sama sekali gue nggak melarang kalian buat menjauhi gue." Kedua mata gue mulai berkaca-kaca sambil memandangi mereka berdua yang lagi menatap gue tanpa ekspresi. Lagi-lagi gue merasa berada di titik terendah. Menyadari kenyataan bahwa gue mengidap penyakit mematikan.

"Lo ngomong apasih?! Tarik ucapan lo barusan, kita berdua sedikitpun tidak pernah berfikiran buat ninggalin lo! Malahan kami peduli, makanya kami meminta lo buat kasih tau hal ini ke orang tua lo. Apapun itu alasannya, tetap harus dikasih tau mereka, bagaimanapun juga mereka itu orang tua lo. Gue yakin, sangat yakin orang tua lo itu sayang sama lo Bagas, kalau tidak sayang, lo tidak akan sebesar ini."

Gue terdiam membeku meresapi ucapan Jamal. Dia berbicara dengan deru nafas yang tidak stabil, dapat gue lihat matanya berkaca-kaca. Siti mengusap punggung Jamal berulang kali, lalu menatap gue dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Siti mohon sama Bagas, kasih tau aja ya ke orang tua Bagas soal penyakit ini. Biar Bagas lekas diobati, kan orang tua Bagas orang kaya. Mereka pasti akan melakukan apapun demi anaknya bisa sembuh. Sebelum Bagas menyesal di kemudian hari, kami melakukan ini demi kesembuhan Bagas biar kita dapat bersama-sama terus. Kami sayang sama Bagas, makanya kami peduli. Siti mohon sekali lagi, nurut ya sama kami. Habis dari sini, kita ketemuan sama mama Bagas dulu."

Tak dipungkiri lagi, tangisan gue memecah seketika. Dalam hitungan detik, gue mendapat pelukan hangat dari kedua teman gue.

"Kita akan selalu bersama lo Gas."

Bersambung ...

TACENDA [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang